Senin, 11 Februari 2008

Hadits Shahih / MS2F

HADITS SHAHIH
Kriteria Penerimaan Hadits
oleh: Drs. M. Syakur Sf., M.Ag.
(Dosen FAI Universitas Wahid Hasyim Semarang, Mahasiswa Program Doktor (S3) IAIN Sunan Ampel Surabaya)

Pada bab sebelum ini telah diketengahkan klasifikasi hadits yang pembahasannya secara singkat dan selintas telah menyangkut hadits shahih, hadits dla’if, dan hadits hasan. Ketiga jenis hadits tersebut diketahui pada dasarnya terbentuk dari dua segi, yakni segi kwantitas sanad dan segi kualitas sanad. Dan kedua segi tersebut sama-sama bermuara dari satu aspek hadits, yakni sanad. Kecuali tiga jenis tersebut juga ada Hadits Maudlu’ sebagai jenis lain. Dan masing-masing akan dibahas dalam bab tersendiri, insya Allâh.

A. PENGERTIAN HADITS SHAHIH DAN KRITERIANYA
1. Pengertian
Kata shahih (صحيح) berasal dari kata shahha (صحّ) dan shihhah (صحّة) yang berarti sehat, tidak cacat, lawan kata dari sakit (saqim, سقيم). Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa suatu hadits dinyatakan sebagai shahih jika hadits yang dimaksud adalah valid sumbernya, dapat dipertanggung-jawabkan validitasnya. Secara umum Hadits Shahih (الحديث الصحيح) dipahami dengan definisi sebagai berikut:
الحديث الصحيح ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله وسلم من شذوذ وعلّة
(Hadits Shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung proses periwayatan oleh orang yang adil, dan kuat daya ingatnya dari orang yang serupa sifatnya, serta terbebas dari keganjilan dan cacat)
Dr. Mahmud Thahhan menawarkan definisi Hadits Shahih yang agak mirip dengan definisi di atas, yakni sebagai berikut:
الحديث الصحيح ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ ولا علّة [1]
(Hadits Shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung proses periwayatan oleh orang yang adil, dan kuat daya ingatnya dari orang (sana) yang serupa sifatnya hingga akhir sanad terakhir tanpa keganjilan dan cacat)

Menurut ibn al-Shalah, definisinya sebagai berikut:
فهو الحديث المسند، الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذا، ولا معللاً [2]
(Hadits Shahih adalah hadits musnad, yakni hadits yang sanadnya bersambung dengan proses periwayatan oleh orang yang adil, dan dlabit melalui orang yang adil dan dlabith hingga akhir sanad, tidak syadz, dan tidak pula cacat)
Dengan memperhatikan beberapa definisi di atas, maka hadits shahih diketahui memiliki sifat-sifat yang jauh dari sifat mursal, munqathi’, mu’dlal, syadz, dan jarh. Kiranya hadits yang demikian telah menjadi kesepakatan umum di kalangan Ahli Hadits untuk bisa dijadikan hujjah dalam agama dan diamalkan isinya. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan keshahihan (validitas) suatu hadits masih diperdebatkan oleh mereka karena perbedaan tingkat validitasnya, atau karena perbedaan dalam menentukan kriteria. Maka muncul banyak terma seperti hadits shahih, atau hadits ghair shahih.
Jika dikatakan hadza hadits shahih (هذا حدبث صحيح), maka yang dimaksudkan adalah bahwa hadits yang diriwayatkan adalah hadits yang sanadnya bersambung (muttashil) dan memiliki sifat-sifat sebagai tersebut dalam definisi di atas. Dan jika dikatakan hadza ghair shahih (الحديث غير الصحيح), maka maksudnya adalah sesungguhnya haditsnya tidak pasti, karena –mungkin—sanadnya tidak bersambung (muttashil), terdapat rijal dalam sanad yang berdusta, atau pun karena faktor lainnya.
Syekh Umar ibn Futuh penulis buku Mandhumah al-Baiquni fi ‘Ilm Mushthalah al-Hadits menilai Hadits Shahih sebagai hadits yang tertinggi nilai validitasnya. Hingga dengan demikian beliau meletakkannya pada urutan pertama dalam pembahasan jenis-jenis hadits, yaitu melalui gubahannya sebagai berikut:
أولها الصحيح وهو ما اتصل * اسناده ولم يشذ ولم يعل
يرويه عدل ضابط عن مثله * معتمد في ضبطه ونقلـه
(Jenis pertama adalah Hadits Shahih, yaitu hadits yang sanadnya bersambung, matannya tidak aneh dan tidak pula cacat, yang diriwayatkan oleh orang yang adil, dan yang dlabit dari orang yang serupa, serta daya ingat dan pola periwayatannya mendapat pengakuan)

2. Kriteria Hadits Shahih
Berdasarkan beberapa definisi yang terpapar di atas dapat ditarik sebuah simpulan mengenai kriteria hadits shahih yang sekaligus menjadi cirinya, bahwa hadits akan dinilai valid (shahih) jika telah memenuhi lima kriteria sebagai berikut:
a. Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad, اتّصال السند);
b. Diriwayatkan oleh perawi yang bersifat adil (‘adalah al-ruwah, عدالة الرواة);
c. Para perawinya bersifat dlabith, sangat kuat hafalan (daya ingatnya) (dlabth al-ruwah, ضبط الرواة);
d. Tidak memiliki cacat dan cela (‘adam al-‘illah, عدم العلّة atau ghair al-mu’allal, غير المعلّل ), baik dalam sanad maupun matannya;
e. Tidak ada keganjilan (‘adam al-syudzudz, عدم الشذوذ atau ghair al-syudzudz, غير الشذوذ), terutama dari segi matan.

Jika salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi, maka haditsnya tidak dapat dikatakan sebagai hadits shahih, tetapi mungkin menjadi hasan atau dla’if, bahkan maudlu’.
Yang dimaksud dengan sanad bersambung (ittishal al-sanad, اتّصال السند) adalah pertalian atau rangkaian sanad dari nabi hingga sanad terakhir atau perawi (pengumpul hadits) itu bersambung (muttashil, متّصل), tidak terjadi keguguran atau tidak terputus (ghair munqathi’). Masing-masing rijal dalam sanad dipastikan telah mendengarkan sendiri suatu hadits dari gurunya. Hal tersebut dapat diketahui melalui kata-kata yang lazim dipergunakan oleh para perawi dalam meriwayatkan haditsnya, seperti kata akhbarana (أخبرنا), haddatsana (حدّثنا), dan sami’tu (سمعت), atau adanya kata sambung yang dipergunakan oleh perawi terakhir dalam menerangkan haditsnya, yakni seperti kata sambung ‘an (عن) atau min (من).[3] Hadits yang sanadnya terjadi keterputusan (inqitha’) maka statusnya turun menjadi beberapa macam hadits, seperti Hadits Munqathi’, Hadits Mu’allaq, Hadits Mu’adlal, dan Hadits Mursal.
a. I Syarat ittishal sanad
Dalam menentukan syarat ketersambungan sanad (ittishaliyyah sanad) Imam Muslim berbeda dengan al-Bukhari. Menurut al-Bukhari ra., sanad hadits dikatakan muttashil jika di antara perawi yang terdekat (murid dan gurunya) adalah para rijal yang pernah bertemu langsung (muwajahah, مواجهة) meskipun hanya sekali selama hidupnya. Guru dan murid hidup dalam satu masa (mu’asharah, معاصرة) sekaligus bertemu (liqa`, لقاء). Beliau juga menyatakan, “Aku tidak memasukkan dalam al-Jami’ kecuali hadits yang shahih”.[4] Dengan meletakkan bengunan riwayat dengan syarat yang begitu ketat maka kitabnya oleh para ulama diposisikan sebagai Kitab Hadits yang paling shahih setelah al-Qur`ân.[5]
Sedangkan menurut al-Imam Muslim ra., sanad hadits dikatakan muttashil apabila di antara para rijal pernah hidup dalam satu masa (mu’asharah), dan tidak harus terjadi pertemuan (ijtima’, اجتماع) antara perawi (الراوي) dan orang yang diambil riwayatnya (marwi ‘anh, المروي عنه) sebagai layaknya guru dan murid.[6]
Yang dimaksud dengan sifat ‘adil (عادل) dalam hal ini adalah sifat-sifat yang positif dalam hal riwayat, yakni sebagai muslim, sudah baligh, tidak pernah melakukan dosa besar maupun dosa kecil (fasiq), dan menjaga kepribadian (muru`ah = مروءة, ‘iffah = عفّة) dari kebiasaan yang dianggap bernuansa kurang laik, baik secara etik maupun estetik, baik secara moral maupun sosial, seperti kebiasaan makan di pinggir jalan atau di warung umum, kebiasaan tidak menutup kepala, dan sebagainya. Maka orang yang bersifat kafir, fasiq, gila, dan tidak terkenal (majhul) tidak bisa disebut sebagai seorang yang adil, [7] hingga riwayatnya tertolak (mardudah al-riwayah, مردودة الرواية).
Yang dimaksud dengan sifat dlabith (ضابط) bagi perawi dalam kaitan ini adalah kepemilikan seseorang akan daya ingat yang kuat, tingkat auditasnya tinggi, sekira apa yang didengar dari orang lain adalah benar-benar terekam dalam memorinya dan siap direproduksi sewaktu-waktu. Dengan demikian seorang pelupa (mughaffal, مغفّل) dan sering salah dalam menyampaikan kata-kata atau informasi lain akan gugur validitas riwayatnya secara automatis meskipun ia telah diketahui sebagai seorang perawi yang jujur dan adil.

b. Klasifikasi Dlabith
Kriteria dlabith dibedakan menjadi dua, yaitu dlabith fi al-shadr dan dlabith fi al-kitab.
1) Dlabith fi al-shadr (ضابط في الصدر); adalah akurasi cara periwayatan dalam memori ingatan, periwayatan dengan mengandalkan hafalan, bukan lewat tulisan. Cara ini merupakan karakteristik sekaligus kebiasaan bagi kebanyakan bangsa Arab.
2) Dlabith fi al-kitab (ضابط في الكتاب); yaitu akurasi cara periwayatan melalui teks. Sifat ini merupakan wujud ketelitian dan kejelian seorang rijal dalam meriwayatkan hadits kepada lainnya.

c. Cara Mengetahui ke-dlabith-an Rawi
Para Muhadditsun telah memberikan keterangan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai perawi yang dlabith apabila ia diketahui mempunyai beberapa indikator sebagai berikut:
1) adanya kesaksian para ‘ulama; atau
2) adanya relevansi riwayatnya dengan riwayat ‘ulama lainnya yang telah dikenal sebagai Muhaddits Dlabith.

Terkumpulnya dua sifat ‘adil dan dlabith tersebut merupakan wujud sifat tsiqah (ثقة), yakni sifat dapat dipercaya, diakui, kredibel, mendapat pengakuan dari khalayak.
Hadits Shahih pasti tidak terdapat cacat (‘adam al-‘illat, عدم العلّة) di dalamnya. Maksudnya adalah bahwa haditsnya yang diriwayatkan tidak diketahui cacat isinya maupun lafadhnya. Sifat ini terkadang dikatakan dengan sebutan ghair mu’allal (غير معلّل). Dan kebalikan dari sifat cacat (‘illah, علّة ) adalah sifat sehat (shihhah, صحّة). Keduanya pasti berlawanan.
Dan yang dimaksud dengan ungkapan tidak syadz atau tidak syudzdudz (‘adam al-syudzudz, عدم الشذوذ atau ghair al-syudzudz, غير الشذوذ ) adalah bahwa perawi hadits maupun hadits yang diriwayatkan tidak dinilai janggal atau aneh oleh para perawi lainnya. Kriteria inilah yang disebut dengan terma ghair al-syudzudz (غير الشذوذ). Sifat ini merupakan kebalikan dari makna kata tsiqah (ثقة) yang berarti terpercaya, mantap, credible.
Dengan memperhatikan elaborasi tentang hadits shahih di atas, maka apabila diketahui salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi, hilang, maka hadits yang tersampai pada kita tidak dapat dikatakan sebagai hadits shahih, menjadi merupakan hadits dengan kemungkinan sifat-sifat lainnya.
Berikut ini adalah contoh Hadits Shahih yang telah memenuhi kriteria sebagaimana keterangan di atas.:
البخاري: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ [8]
Setelah diteliti secara seksama dengan memperhatikan aspek-aspek yang ada, maka menurut banyak sumber hadits tersebut diketahui sebagai Hadits Shahih koleksi al-Imam al-Bukhari ra., karena didapati indikator sebagai berikut:
a. sanadnya bersambung (muttashil), indikatornya adalah adanya unsur ‘an’anah (عنعنة), yakni menggunakan perangkat huruf ‘an (عن) atau min (من) sebagai alat penyambung antar perawi, yang berarti melalui atau dari;
b. para perawinya adalah dlabith dan ‘adil berdasarkan penilaian para ‘ulama, berupa para rijal ternama, yaitu:
1) Abdullah adalah terpercaya (tsiqah);
2) Malik adalah ibn Anas, seorang penghafal hadits (al-Hafidh);
3) Ibn Syihab al-Zuhri adalah seorang ahli fiqh kenamaan, dan ­al-Hafidh,
4) Muhammad ibn Jubair adalah tsiqah;
5) Jubair ibn Muth’im adalah seorang shahabi yang juga terkenal di bidang hadits.
c. Tidak memiliki indikasi syadz, karena tidak ada riwayat lain yang lebih kuat;
d. Tidak ada cacat (‘illah), baik dari aspek sanad maupun matan.

B. TINGKATAN HADITS SHAHIH
Hadits Shahih dapat ditemukan dengan mengetahuinya dari segi sistem sanad (isnad, اسناد). Dari isnad kashahihan sebuah dapat diketahui tingkatannya. Para muhadditsun telah mengklasifikasi tingkatan validitas hadits berdasarkan sistem sanad menjadi tiga, yaitu:
1. tingkatan tertinggi (a’la al-maratibah, أعلى المرتبة); yakni hadits shahih yang diriwayatkan dengan sistem sanad (isnad) yang paling valid (ashah, ), seperti isnad Malik dari Nafi’ dari ibn ‘Umar.
2. tingkatan menengah (al-rutbah al-mutawassithah, الرتبة المتوسّطة), yaitu hadits yang mempunyai sistem sanad di bawah standar isnad tingkat pertama, seperti riwayat shahih dengan isnad Hammad ibn Salamah dari Tsabit dari Anas.
3. tingkatan rendah (al-rutbah al-sufla, الرتبة السفلى), yaitu hadits yang mempunyai sistem sanad yang bersifat tsiqah tingkat rendah, seperti hadits shahih yang diriwayatkan oleh Suhail ibn Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.

Sedangkan ditinjau dari segi rawi terakhir atau mukhrij, para muhadditsun telah membuat kriteria keshahihahn hadits terhadap apa yang mereka lakukan. Tokoh hadits yang telah memilih dan memilah hadits shahih dari yang lain pada mulanya adalah al-Bukhari ra.[9] dan Muslim ra.[10] Kedua koleksinya merupakan buku referensi yang valid setelah al-Qur`ân, dan keduanya telah disepakati untuk diterima sebagai sumber hukum Islam.[11] Demikian penjelasan menurut jumhur ‘ulama kecuali Abu Ali al-Naisaburi Syaikh al-Hakim dan sekelompok ‘ulama dari bagian barat.
Dan apa yang dilakukan oleh al-Bukhari adalah lebih shahih (ashahh, أصحّ) daripada Imam Muslim, bahkan lainnya, dengan cukup banyak alasan. Di antara banyak alasan yang diajukan oleh sebagian ‘ulama dalam hal ini adalah:
a. Hadits-hadits yang dikoleksi oleh al-Bukhari lebih kuat dan akurat ketersambungan sanadnya, dan para perawinya lebih terpercaya (kredibel, awtsaq, أوثق );
b. Dalam koleksi al-Bukhari terdapat bentuk-bentuk istinbath hukum istinbath hukum (al-istinbath al-fiqhi, الاستنباط الفقهيّ) yang tidak ditemukan dalam Shahih Muslim.
Dan secara berurutan tingkatan hadits shahih dilihat dari segi siapa perawinya (rawi) dapat diketahui melalui buku-buku koleksi hadits yang shahih sebagai berikut:
a. Hasil kesepakatan al-Imam al-Bukhari ra. dan al-Imam Muslim ra.;[12]
b. Hasil koleksi al-Imam al-Bukhari ra.;
c. Hasil koleksi Imam Muslim ra.;
d. Seluruh hadits yang yang telah memenuhi kriteria yang ditawarkan oleh keduanya tetapi belum ditakhrij;
e. Seluruh hadits yang memenuhi kriteria al-Bukhari ra. tetapi belum ditakhrij;
f. Seluruh hadits yang memenuhi kriteria Imam Muslim ra. tetapi belum ditakhrij; dan
g. Seluruh hadits yang dinilai shahih oleh selain al-Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, yakni oleh para imam seperti ibn Khuzaimah dan ibn Hibban berdasarkan ketentuan yang belum disyaratkan oleh keduanya.[13]
Jika ada hadits yang dinyatakan dengan muttafaq ‘alaih (متفق عليه), maka maksudnya adalah bahwa hadits tersebut telah memenuhi ketentuan yang disepakati oleh dua Syaikh (al-Syaikhan = الشيخان), al-Bukhari dan Muslim ra., atas kashahihan hadits. Keterangan tentang hadits shahih dan buku-buku tentangnya juga didapati pula dalam bab Kodifiksi Hadits terdahulu. Sekian.
Wa Allâh a’lam bi al-shawâb
[1] Mahmud Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, Surabaya: al-Haramain, t.th., h. 34.
[2] Baca Muqaddimah ibn Shalah, bab Ma’rifah al-Shahih min al-Hadits.
[3] ‘an (عن) berarti dari, melalui. Dan min (من) berarti dari. Tetapi keduanya sering lebih berfungsi dengan makna dari daripada dengan makna melalui.
[4] ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, h. 313.
[5] Ibid., h. 314.
[6] Ibid., h. 316.
[7] Muhammad ibn ‘Alawi al-Maliki, al-Qawa’id al-Asasiyyah fi ‘Ilm Mushthalah al-Hadits, Jakarta: Dinamika Berkah, 1397 H., h. 22.
[8] Baca Shahh al-Bukhari, hadits nomer 723.
[9] Beliau mengoleksi 7275 hadits yang diulang-ulang, dan setelah dibuang pengulangannya menjadi sekitar empat ribu hadits. Demikan menurut ibn al-Shalah.
[10] Beliau mengoleksi 12000 hadits yang diulang-ulang, dan yang dibuang sekitar empat ribu hadits.
[11] Mahmud Thahhan,.Op. cit, h. 37.
[12] Menurut al-Imam al-Dahlawi, Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim telah disepakati oleh para muhadditsun bahwa hadits-hadits yang muttashil dan marfu’ di dalamnya adalah shahih secara qath’i. Lihat Ajjaj al-Khathib, Op. Cit., h. 317.
[13] Ibn al-Shalah, Ushul al-Hadits, h. 1. Lihat pula Mahmud Thahhan, Op. Cit., h. 44.

2 komentar:

Abdul Hakim mengatakan...

Bagus dan informatif. Terima kasih

Abdul Hakim mengatakan...

Bagus dan informatif. Terima kasih