Senin, 11 Februari 2008

hadits historis


HADITS
dalam Kajian Historis

oleh:

Drs. M. Syakur Sf., M.Ag.

(Dosen FAI Universitas Wahid Hasyim Semarang, mahasiswa program Doktor (S3) IAIN Sunan Ampel Surabaya)



Hadits merupakan produk sejarah yang bersumber dari Nabi Muhammad saw. yang telah melewati liku-liku sejarah ummat Islam. Paling tidak membutuhkan waktu 200 tahun untuk memasuki pintu kodifikasinya. Sisi historis ini perlu diketahui agar ummat Islam mampu membaca hadits yang berupa teks secara lebih teliti, dan tidak mudah terjebak oleh situasi stekstualitasnya.
Nabi saw. sebagai pusat produksi hadits wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 11 H./ 8 Juni 632 M. Dan kira-kira satu abad kemudian Imam Malik ra.[1] (97-179 H.)[2] baru mengumpulkan hadits yang diberi nama al-Muwattha` (الموطأ).[3] Sedangkan penulisan hadits secara resmi dan pembukuannya dimulai pada masa kepemimpinan ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz yang dinobatkan sebagai khalifah dari Dinasti ‘Amawiyah pada tahun 99 H.[4] dengan menyerahkan tanggungjawabnya pada ibn Hazm dan al-Zuhri (w. 123 H.).
Adapun al-Bukhari ra.[5] (194-256 H./ 810-870 M.)[6] yang hidup pada sekitar 200 tahun setelah nabi merupakan generasi berikutnya yang mampu menunjukkan kepiawaiannya di bidang kodifikasi hadits secara sukses dengan bukunya yang diberi judul al-Jami’ al-Shahih (الجامع الصحيح).[7] Begitu pula yang dilakukan oleh al-Imam Muslim ra. dan imam-imam lainnya. Dengan demikian jarak antara masa kodifikasi dan produksi hadits, baik antara tahun wafat nabi saw. dan penulisan al-Muwatha`, maupun antara tahun wafat nabi saw. dan masa al-Bukhari adalah sekitar 100 tahun, bahkan lebih.
Hadits ditinjau dari segi historiografinya secara garis besar dibagi menjadi tiga masa, yakni masa Pra Tadwin, masa Tadwin, dan masa Pengembangan. Adapun Masa Pra Tadwin (ma qabl al-tadwin, ما قبل التدوين) adalah masa Rasul dan Khulafa` al-Rasyidin, Masa Tadwin (‘ashr al-tadwin, عصر التدوين) adalah masa Tabi’in, dan masa Pengembangan (‘ashr iktsar al-hadits atau ‘ashr tathwir al-hadits, عصر إكثار الحديث atau عصر تطووير الحديث) adalah masa Tabi’ al-Tabi’in. Masing-masing pereode memiliki spesifikasi dan karakteristik yang berbeda-beda.
A. MASA PRA TADWIN HADITS

Hadits sebelum dibukukan mempunyai tiga pereode, yaitu masa nabi saw., masa shahabat dan masa tabi’in besar. Masa-masa tersebut dikenal dengan pereode pra tadwin hadits (qabla tadwin al-hadits = قبل تدوين الحديث), karena ketika itu sesungguhnya hadits belum terhimpun dan dibukukan dengan berbagai alasan. Perhatikan uraian berikut ini !
1. Periode Rasul
Pereode ini merupakan masa pembibitan hadits. Pada masa ini tingkahlaku Rasul Allâh saw., ucapan dan sikapnya dengan semua kapasitasnya[8] dianggap sebagai ajaran agama. Kecuali itu ia bersifat tabligh yang mampu menyadarkan diri bahwa ajaran yang diterima dan dibawanya harus disampaikan kepada ummatnya hingga terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Maka setiap kesempatan digunakan sebaik-baiknya, baik oleh nabi sendiri maupun para shahabatnya. Nabi saw. menggunakan setiap kesempatan untuk menyampaikan ajaran, dan para shahabat menggunakannnya untuk belajar dan mengambil ajaran agama darinya untuk diteruskan kepada lainnya. Hadits ibn Mas’ud ra. menjelaskan demikian:
حدثنا محمد بن يوسف قال: أخبرنا سفيان، عن الأعمش، عن أبي وائل، عن ابن مسعود قال: كان النبيّ صلى الله عليه وسلّم يتخوّلنا بالموعظة تلو الموعظة في الأيام كراهة السأمة علينا (رواه البخاري عن ابن مسعود) [9]
(Nabi saw. senantiasa menggunakan kesempatan yang baik di hari-harinya untuk menyampaikan nasehat kepada kami agar kami tidak bosan) HR. al-Bukhari dari ibn Mas’ud.

Di antara media yang efektif untuk menyampaikan hadits adalah pertemuan-pertemuan seperti khutbah dan halaqah. Kecuali itu media yang berperan dalam kelancaran penyebaran hadits adalah:
a. peristiwa yang dijumpai langsung oleh Nabi saw.;
b. peristiwa yang dijumpai langsung oleh shahabat yang dilaporkan pada nabi saw.[10]
Perlu diketahui di sini bahwa masing-masing shahabat memiliki perbedaan dalam menerima hadits, baik karena tingkat intensitas maupun tingkat intelektualitas mereka.

a. Penyebaran Hadits
Al-Qur`ân dan al-Hadits merupakan substansi ajaran Islam. Oleh karena itu tersebarnya Islam ke seluruh pelosok berarti pula tersebarnya al-Hadits. Penyebaran hadits pada masa awal Islam tersentral pada diri nabi. Kemudian pada masa-masa selanjutnya tanggungjawab penyebaran ajaran Islam termasuk melalui hadits adalah Nabi saw. dan seluruh ummatnya. Dan Ummat Islam merasa terpanggil untuk menyebarluaskan hadits karena terilhami oleh sabda-sabdanya, antara lain melalui hadits sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّ حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي كَبْشَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال بلغوا عني وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ ... [11]
(…. Bahwa nabi saw. bersabda: “Sampaikan apa saja yang datang dari walaupun hanya satu ayat. Dan sampaikanlah hadits tentang Bani Israil …” )

Al-Imam Ahmad ra. mempunyai catatan tentang hadits tersebut dengan sanad sanad lain sebagai berikut:
حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّ حَدَّثَنِي حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ حَدَّثَنِي أَبُو كَبْشَةَ السَّلُولِيُّ أَنُّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي يَقُولُ بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ ... [12]

Atau terilhami oleh hadits lainnya sebagai berikut:
ألا ، ليبلّغ الشاهد منكم الغائب (رواه ابن عبد البرّ عن أبي بكرة ) [13]
(Perhatian! Hendaklah orang yang mengetahui (hadits) menyampaikannya kepada orang yang tidak hadir (pada periwayatan hadits) HR. ibn Abdil Bar dari Abu Bakrah
Hadits senada juga terdapat pada riwayat yang lebih lengkap sebagai berikut:
ليبلغ الشاهد منكم الغائب فرب مبلغ أوعى من سامع
(Hendaklah orang yang mengetahui hadits menyampaikannya kepada orang yang tidak hadir pada periwayatan hadits. Barangkali orang yang menyampaikan hadits lebih baik daripada orang yang (hanya) mendengarnya)
Berikut ini saya kutipkan pula hadits serupa yang lengkap dengan sanadnya dan redaksi yang berbeda.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا بِشْرٌ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ ذَكَرَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَعَدَ عَلَى بَعِيرِهِ وَأَمْسَكَ إِنْسَانٌ بِخِطَامِهِ أَوْ بِزِمَامِهِ قَالَ أَيُّ يَوْمٍ هَذَا فَسَكَتْنَا حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ سِوَى اسْمِهِ قَالَ أَلَيْسَ يَوْمَ النَّحْرِ قُلْنَا بَلَى قَالَ فَأَيُّ شَهْرٍ هَذَا فَسَكَتْنَا حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ فَقَالَ أَلَيْسَ بِذِي الْحِجَّةِ قُلْنَا بَلَى قَالَ فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا لِيُبَلِّغ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَإِنَّ الشَّاهِدَ عَسَى أَنْ يُبَلِّغَ مَنْ هُوَ أَوْعَى لَهُ مِنْهُ [14]

Sanad hadits di atas adalah Musaddad dari Bisyr dari ibn ‘Aun dari ibn Sirin dari Abdurrahman ibn Abi Bakrah dari ayahnya yang menjelaskan keadaan Nabi saw. Hadits riwayat tentang Zaid ibn Tsabit ra. berikut ini disinyalir juga memberikan isyarat akan perintah penyebaran hadits, yaitu sebagai berikut:
نضّر الله امرءا سمع مني مقالتي فحفظها ووعاها فأدّاها كما سمع فرُبّ مبلّغ أوعى من سامع (رواه أبو داود والترمذي)
(Mudah-mudahan Allâh mengindahkan seorang yang mendengarkan ucapan dariku lalu menghafalnya, memahaminya dan menyampaikannya (kepada orang lain), karena barangkali orang yang menyampaikan hadits lebih baik daripada orang yang (hanya) mendengarnya) HR. Abu Dawud dan al-Tirmidzi

Secara pribadi al-Tirmidzi ra. meriwayatkan sebuah hadits senada dengan hadits di atas sebagai berikut:
سَأَلَنَا عَنْ أَشْيَاءَ سَمِعْنَاهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ.
وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَجُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ وَأَنَسٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ [15]
(ketika ditanya, Zaid ibn Tsabit ra. menjawab: Kami menanyakan beberapa hal yang kami dengar dari Rasul Allâh saw., hal mana aku mendengar Rasul Allâh saw. bersabda: Mudah-mudahan Allâh mengindahkan seorang yang mendengarkan hadits dariku lalu menghafalnya, hingga menyampaikannya kepada orang lain. Betapa sedikit orang yang menghafal fiqh yang menyampaikannya kepada orang yang lebih berfiqh, dan betapa sedikitnya penghafal fiqh yang bukan ahli fiq). Hadits tersebut juga diriwayatkan melalui Abdullah ibn Mas’ud, Mu’adz ibn Jabal, Jubair ibn Muth’im, Abu Darda`, dan Anas. Menurut Abu ‘Isa, hadits Zaid ibn Tsabit tersebut adalah Hadits Hasan Shahih.
Sejak itulah para shahabat menanamkan tradisi semangat penyampaian setiap ajaran yang mereka terima dari nabi saw. kepada ummat Islam lainnya yang tidak berkesempatan menerimanya langsung dari nabinya. Kira-kira hal yang juga menjadi motivasi penggerak bagi mereka untuk melakukannya adalah bahwa kegiatan mencari hadits dan menyampaikannya kepada yang lain tersebut merupakan proses pengajaran yang sangat bermanfa’at dan memperoleh pahala yang tak kunjung henti karena merupakan ilmu yang bermanfa’at sebagaimana tersirat dalam hadits Nabi saw. yang sangat terkenal di kalangan ummat Islam berikut ini:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ يَعْنِي ابْنَ سَعِيدٍ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ هُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث أشيآء صدقة جارية أوعلم ينتفع به بعده أوولد صالح يدعو له (رواه البخاري ومسلم وأبو داود والنسائي والترمذي عن أبي هريرة)[16]
(Ketika manusia meninggal dunia amalnya terputus (pahalanya) kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfa’at setelah (kematian)nya, atau anak shalih yang berdo’a untuknya)

Dalam waktu yang relatif singkat hadits-hadits nabi telah tersebar ke berbagai daerah. Percepatan penyebaran hadits (dan ajaran Islam secara umum) pada masa Rasul saw. didukung oleh beberapa faktor utama, yaitu:
a. Rasul saw. bersikap proaktif;
b. Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat para shahabat untuk selalu bertanya tentang kandungannya, dan hal demikian berjalan secara berkesinambungan;
c. Para isteri nabi ra. juga ikut mengambil peranan. Hal-hal menyangkut wanita (dan sangat rahasia) akan ditanyakan pada nabi saw. melalui isterinya;[17]
d. Para utusan yang diperintahkan oleh nabi saw. dan para utusan kabilah yang datang kepada nabi saw. seperti Sa’ad ibn Abi Bakar, Abdul Qais dan lainnya berperan menyebarkan hadits ke pelosok Jazirah Arab.

Namun demikian penyebaran hadits tidak boleh semabarangan, tetapi harus dilakukan secara hati-hati dan teliti, setiap periwayatan harus dikoreksi dan diseleksi. Dalam konteks ini Nabi saw. telah berpesan dengan nada serius agar hadits disampaikan dengan hati-hati seraya bersabda dalam hadits sebagai berikut:
كفى بالمرء إثما أن يحدّث بكل ما سمع (رواه مسلم عن أبي هريرة) [18]
(Cukup bersalah orang yang meriwayatkan semua apa yang didengarnya) HR. Muslim dari Abu Hurairah
Kelengkapan hadits tentang hal di atas dapat pula disimak riwayat berikut ini dengan sedikit perbedaan (إثما dan كذبا). Kecuali itu, jalur sanadnya bukan Abu Hurairah tetapi Hafsh ibn ‘Ashim. Inilah haditsnya:
وحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبِي ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ [19]
Berangkat dari warning dari nabi saw. tersebut para sahabat sangat berhati-hati dan teliti dalam menerima hadits dari shahabat yang lain dan menyampaikannya kepada lainnya.

b. Penulisan Hadits
Hadits pada masa nabi belum banyak yang ditulis, bahkan dalam kaitan ini Nabi saw. pada suatu kesempatan melarang para shahabatnya untuk mencatatnya. Hal tersebut menunjukkan perbedaan sikap beliau dalam menghadapi hadits sebagaimana yang terjadi pada al-Qur`ân.[20] Di kesempatan yang berbeda Rasul Allâh saw. memperbolehkan menuliskannya. Secara tegas Rasul Allâh saw. melarang dalam hal ini. Perhatikan hadits-hadits berikut ini!

1) Tentang Larangan Penulisan
Sekiranya penulis perlu menginformasikan kepada para pembaca secara umum bahwa ada hadits yang menjelaskan tentang larangan menulis hadits pada masa Nabi saw. Di antaranya adalah sebagai berikut:

a) hadits Abu Sa’id al-Khudri:
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الأََزْدِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيّ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لاتكتبوا عني ومن كتب عني غير القران فليمحه وحدّثوا عني ولا حرج ... (رواه مسلم) [21]
(….. Bahwa Rasul saw. bersabda: Janganlah mencatat (apa yang datang) dariku. Barangsiapa mencatat (apa yang datang) dariku selain al-Qur`ân hendaklah ia menghapusnya. Riwayatkanlah (apa yang datang) dariku (tiada mengapa). Barangsiapa berdusta kepadaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari (bahan api) neraka). HR. Muslim


Menurut Abu Hatim ra., Rasul saw. melarang penulisan apa pun ketika itu kecuali al-Qur`ân, agar para Shahabat secara serius memelihara al-Sunnah tanpa tercampurkan dengan kitab-kitab lainnya, terutama dengan al-Qur`ân, dan bersungguh-sungguh memahaminya.

b) Hadits Abu Hurairah ra. dalam catatan al-Khathib:

خرج رسول الله صلى الله عليه وسلّم ونحن نكتب الأحاديث فقال ما هذا الذي تكتبوه؟ فقلنا أحاديث نسمعها منك ، فقال كتاب غير كتاب الله؟ أتذرون ما ضلّ الأمم قبلكم إلا بما اكتتبوا من الكتب مع كتاب الله؟ [22]
(Nabi saw. keluar sedangkan kami menulis beberapa hadits. Maka nabi bertanya: “Apa yang kalian tulis?” Kami menjawab: “Hadits-hadits yang kami dengar dari Paduka.” Nabi bertanya: “Kitab selain Kitab Allâh? Bukankah kalian tahu bahwa ummtat-ummat terdahulu sebelum kalian tersesat tidak lain karena kecerobohan mereka mencatat apa saja yang datang dari kitab-kitab bersama Kitab Allâh?”

2) Tentang Izin Menulis Hadits
Adapun keterangan dari hadits yang menjelaskan tentang tidak adanya larangan menulis hadits pada masa Nabi saw. di antaranya adalah sebagai berikut:
a) Hadits dari ibn Amr:
قال عبد الله بن عمرو بن العاص: كنت أكتب كل شيء أسمعه من رسول الله صلى الله عليه وسلم أريد حفظه فنهتني قريش وقالوا: تكتب كل شيء سمعته عن رسول الله ورسول الله بشر يتكلم في الغضب والرضا فأمسكت عن الكتابة فذكرت ذلك لرسول الله فأومأ بأصابعه إلى فيه وقال: اكتب عني فوالذي نفسي بيده ما خرج من فمي إلا حق (رواه الدارمي)[23]
(Abdullah ibn Amr ibn al-‘Ash[24] berkata: Aku mencatat setiap keterangan yang aku dengar dari Rasul Allâh saw. aku hendak menghafalnya, orang Quraisy mencegahku. Mereka berkata: Anda menulis apa saja yang Anda dengan dari Rasul saw., sedangkan Rasul saw. adalah manusia (biasa) berbicara dalam keadaan marah dan lega. Maka aku tidak mau mencatatnya. Hal tersebut kulaporkan pada nabi. Beniau menunjuk mulut dengan jari telunjuknya seraya bersabda: Tulislah, demi Allâh tidak ada yang keluar dari mulutnya kecuali kebenaran) HR. Al-Darimi

Abu Dawud ra. meriwayatkan hadits serupa dengan redaksi yang berbeda dan sanad yang lengkap sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالا حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الأَخْنَسِ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي ُغِيثٍ عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظَهُ فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ وَقَالُوا أَتَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا فَأَمْسَكْتُ عَنْ الْكِتَابِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ فَقَالَ اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلاّ حَقّ [25]


b) Hadits Abu Hurairah ra. :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُوسَى وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ قَالَا حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عن أبي هريرة رضي الله عنه أنه لما فتح الله على رسول الله صلى الله عليه وسلّم مكة قام الرسول صلى الله عليه وسلّم وخطب في الناس فقام رجل من أهل اليمن يقال له أبو شاه فقال يا رسول الله اكتبوا لي فقال اكتبوا لأبي شاه ... [26]
(Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa ketika Allâh membukakan (pintu) Makkah untuk Rasul saw., beliau berdiri dan berkhotbah kepada masyarakat, lalu seorang pemuda dari Yaman bernama Abu Syah berkata: “Ya Rasul Allâh, berikan catatan kepadaku”. Maka Rasul bersabda: “Tuliskanlah untuk mereka”)

Hadits berikut ini juga memberikan isyarat adanya izin penulisan hadits bagi shahabat nabi yang rajin menuliskan ilmu:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا عَمْرٌو قَالَ أَخْبَرَنِي وَهْبُ بْنُ مُنَبِّهٍ عَنْ أَخِيهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ: ما من أحد من أصحاب التبي صلى الله عليه وسلم أكثر حديثا عنه مني إلا ما كان عند عبد الله بن عمرو بن العاص فإنه كان يكتب ولا أنا أكتب [27]
(…. Abu Hurairah ra. berkata: “Tidak seorang pun dari kalangan shahabat Nabi saw. yang mempunyai hadits lebih banyak daripada aku, kecuali milik Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash, karena ia menulisnya sedangkan aku tidak menulisnya”)
Dalam sejarah telah tercatat, bahwa nabi saw. pernah mengirimkan surat-surat kepada Raja Rum, Hercolus yang berisi seruan tentang keimanan.[28] Ketika kita memahami secara umum bahwa apa yang datang dari nabi saw. adalah hadits maka surat-suratnya yang ditulis oleh para shahabat dan diedarkan oleh mereka pun merupakan hadits.
Bagaimana dengan dua hadits yang berbeda tersebut? Dua hadits tersebut perlu ditarik benang merahnya agar mendatangkan pemahaman yang sempurna, tidak lagi parsial. Yakni perlu ada sikap kompromis dari pemerhati hadits terhadap perbedaan yang ada, yakni:
1) Sebagian ahli hadits berpendapat bahwa hadits Abu Sa’id al-Khudri ra. tersebut mauquf sehingga tidak dapat lagi digunakan sebagai hujjah. Demikian pendapat yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya;
2) larangan penulisan hadits terjadi pada masa-masa awal Islam karena kekhawatiran bercampurnya hadits dengan al-Qur`ân, dan ketika jumlah ummat bertambah dan mereka telah mampu memahami al-Qur`ân secara baik dan mampu membedakannya dari hadits maka terhapuslah larangan penulisan hadits;
3) bahwa larangan menulis hadits hanya ditujukan kepada orang-orang yang sangat kuat daya auditasnya (dlabith = ضابط), sedangkan izin penulisan hadits diberikan kepada siapa saja yang lemah hafalannya, seperti Abu Syah;
4) bahwa larangan penulisan hadits bersifat umum, sedangkan izin menuliskannya bersifat khusus, yakni mereka yang pandai membaca dan menulis, tidak melakukan kesalahan menulis dan tidak dikhawatirkan berbuat kekeliruan, misalnya ‘Abd Allâh ibn ‘Amr ibn al-‘Ash ra.


Secara umum metode pengumpulan hadits pada masa Rasul Allâh saw. adalah tradisi menghafalkannya (hifdhuhu fi al-shudur = حفظه في الصدور),[29] tetapi di sisi lain ternyata tidak kurang dari 50 shahabat dari 100.000 shahabat[30] yang memiliki catatan hadits, meskipun sebagian mereka telah membakarnya sebelum wafat. Catatan mereka disebut dengan shahifah. Di antaranya adalah catatan milik Abdullah ibn Amr ibn al-‘Ash (7 SH.-65 H.) dengan nama al-Shahifah al-Shâdiqah ( الصحيفة الصادقة).[31]
Di antara para shahabat yang menuliskan hadits pada masa nabi saw. adalah ‘Abdullâh ibn ‘Amr ibn al-‘Ash ra., Ali ibn Abi Thalib kw., dan Anas ibn Malik ra.




DAFTAR MUHADDITS TERKENAL PADA MASA NABI
NO
NAMA
TAHUN
HADITS
KET.
1
Abu Bakr ra
w. 13 H.
2630
Al-Sabiqun al-Awwalun. Mereka tidak diketahui jumlah hadits yang diriwayatkan
2
‘Umar ibn al-Khatthab ra.
w. 23 H.

3
‘Utsman ibn ‘Affan ra.
w. 35 H.

4
‘Ali ibn Abi Thalib kw.
w. 40 H.

5
‘Abdullâh ibn ‘Amr ibn al-‘Ash ra.
7 SH.- 65 H.
100

6
Abu Hurairah ra.
21 SH. – 58 H.
5374
Haditsnya diriwayat-kan oleh 300 org. atau lebih
7
‘Abdullah ibn Mas’ud ra.
w. 32 H.
848

8
‘Aisyah Ummul Mu`minin ra.
w. 57 H.
2210

9
Anas ibn Malik ra.
w. 93 H.
2286

10
‘Abdullah ibn ‘Abbas ra.

1660

11
‘Abdullah ibn ‘Umar ra.
w. 72 H.
2630

12
Jabir ibn Abillah

1540


2. Periode Shahabat dan Tabi’in
a. Pengertian Shahabat
Shahabat secara harfiah mempunyai arti teman. Secara linguistik kata shahabat (صحابة) merupakan bentuk mashdar dengan makna shuhbah (صحبة), shahabi (صحابي), dan shahib (صاحب). Sedang bentuk jamaknya adalah Ashhab (أصحاب) dan Shahb (صُحب). Adapun yang paling terkenal dipergunakan adalah kata shahabat (صحابة) dan jamaknya adalah ashhab (أصحاب).
Dalam batasan terminologis shahabat adalah orang yang hidup di masa Nabi Muhammad saw., bertemu dengannya, beragama Islam dan mati dalam keadaan sebagai muslim meskipun pernah murtad.[32] Definisi tentang shahabat secara umum adalah sebagai berikut:
من لقي البيّ مؤمنا به ومات على الإسلام [33]
(orang yang bertemu nabi saw. dan beriman kepadanya, serta mati dalam keadaan Islam)
Periode Shahabat merupakan generasi terbaik setelah Nabi Muhammad saw. wafat. Keadaan demikian itu dinyatakan oleh beliau saw. dalam sabdanya sebagai berikut:
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ حَدَّثَنَا النَّضْرُ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي جَمْرَةَ سَمِعْتُ زَهْدَمَ بْنَ مُضَرِّبٍ سَمِعْتُ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ [34]
(Aku memperoleh hadits dari Ishaq dari al-Nadlar dari Syu’bah dari Abu Jamrah dari Zahdam ibn Mudlarrib dari ‘Imran ibn Hushain ra., katanya bahwa Rasul Allâh saw. bersabda: “Sebaik-baik ummatku adalah (mereka yang hidup di) Masaka, kemudian orang-orang yang hidup di masa berikutnya, kemudian yang hidup setelah mereka).
Adapun orang yang hidup di masa Jahiliah kemudian menemui masa kehidupan Nabi Muhammad saw. serta memeluk agama Islam tetapi tidak pernah berjumpa dengannya saw. Maka ia disebut sebagai Muhadlramun (محضرمون), seperti Basyir ibn ‘Amr ra., Abu ‘Utsman al-Nahdi dan al-Aswad ibn Yazid al-Nakha’i.[35] Demikian pula orang yang lahir di masa Nabi saw., tetapi tidak sempat mengambil hadits dari nabi, seperti Abdullah ibn Abi Thalhah, Abu Usamah, As’ad ibn Sahal ibn Hunai, dan Abu Idris al-Khaulani.
Menurut al-Imam Muslim ra., jumlah kaum Muhadlramun diperkirakan ada 20 orang. Sedangkan mengenai jumlah shahabat para ahli berbeda-beda dalam menentukannya. Sebagian mereka menyatakan, 100.000 orang. Menurut pendapat Abu Zur’ah, yang dipandang sebagai yang lebih terkenal, jumlah mereka adalah 114.000 orang.[36]

b. Metode mengenali Shahabat
Orang-orang yang diketahui sebagai shahabat dengan alternatif kriteria sebagai berikut:
a) adanya riwayat mutawatir yang menerangkan mereka, seperti Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar ibn al-Khathab, serta 8 orang lainnya yang dijamin masuk surga (al-‘Asyarah al-Mubasysyarun bi al-Jannah = العشرة المبشرون بالجنة);[37]

b) adanya riwayat masyhur tentang keadaan shahabat, seperti Dhimam ibn Tsa’labah dan ‘Ukkasya ibn Mihsham;
c) Berita tentang seorang shahabat dari shahabat yang lain, seperti Hammah ibn Abi Hamamah al-Dawsi yang diakui oleh Abu Musa al-Asy’ari ra.;
d) Berita yang terpercaya dari golongan Tabi’in; dan
e) Berita dari seorang shahabat tentang dirinya sendiri jika pribadinya seorang yang adil (dapat dipertang-gungjawabkan secara moral),[38] dan jika pengakuannya terjadi sebelum tahun 110 H.[39]
Shahabat yang dikhabarkan paling akhir tutup usianya adalah Abu Thufail ‘Amr ibn Wailah al-Laitsi ra. (w. 100 H. di Mekkah), dan Anas ibn Malik ra. (w. 93 H. di Bashrah)[40]. Menurut al=Imam Muslim ra., beliau wafat pada tahun 100 H. di Makkah. Sedangkan shahabat yang wafat di Madinah adalah al-Sa’id ibn Yazid ra., yaitu pada tahun 91 H. (menurut sebagian pendapat).
Adapun shahabat yang hidup 60 tahun pada zaman Jahiliah dan 60 tahun dalam era Islam, kemudian wafat di Madinah (th. 54 H.) adalah Hakim ibn Hizam ra. dan Hisan ibn Tsabit ra.[41]

DAFTAR NAMA SHAHABAT YANG PANJANG USIA
No
Nama
Tahun Wafat
Keterangan
1
Abu Thufail ‘Amr ibn Wailah al-Laitsi ra.
100 H.
Di Mekkah
2
Anas ibn Malik ra.
93 H.
Di Bashrah[42]
3
al-Sa’id ibn Yazid ra.
91 H.
Di Madinah


c. Tingkat Pengetahuan Shahabat terhadap Hadits
Secara umum para shahabat dipastikan pernah menerima hadits dari Nabi Muhammad saw., tetapi tingkat pengetahuan mereka berbeda-beda, karena di antara mereka ada yang hidup berdekatan dengan Nabi saw., ada yang tinggal di desa jauh dari kota nabi, ada yang hidup di kota, ada yang berdagang, ada yang sering melakukan perjalanan jauh, ada yang tinggal di masjid dan senantiasa beribadah, dan ada pula yang tidak punya pekerjaan seperti Abu Hurairah ra.. Di lain pihak Nabi saw. tidak selalu mengadakan ceramah terbuka, kecuali sesekali, berkala seperti pada hari Jum’at, hari Raya, atau waktu-waktu yang telah ditentukan jika dikehendaki sebagai waktu yang baik. Perhatikan hadits riwayat al-Bukhari ra. yang bersumber dari ibn Mas’ud ra. berikut ini menerangkan keadaan tersebut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِي الْأَيَّامِ كَرَاهَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا[43]
(Nabi saw. senantiasa menggunakan kesempatan yang baik di hari-harinya untuk menyampaikan nasehat kepada kami agar kami tidak bosan) HR. al-Bukhari dari ibn Mas’ud.

Kondisi tersebut merupakan realitas yang berpengaruh terhadap sikap dan kesanggupan para shahabat dalam menrima hadits, sehingga kapasitas mereka dalam mengeuasai hadits pun berbeda-beda.

d. Penerima Banyak Hadits
Para shahabat menerima hadits dari nabi saw. dalam jumlah yang berbeda-beda berdasarkan kedekatan mereka dengannya dan atas tingkat auditas masing-masing. Setidaknya mereka dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:
1) shahabat generasi awal (al-Sabiqun al-Awwalun = السابقون الأولون),[44] yaitu Khulafa` al-Rasyidun, dan ‘Abdullah ibn Mas’ud ra.[45] (sebanyak 848 hadits);
2) shahabat yang senantiasa bersanding dengan Nabi saw. dan secara serius menghafalkan pelajaran dari Nabi Muhammad saw., seperti Abu Hurairah ra.[46] (sebanyak 5374[47] hadits dan diriwayatkan oleh lebih dari 300 perawi), dan shahabat yang selalu menulis hadits, yaitu ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash ra. (sebanyak 100 hadits);
3) shahabat yang panjang usianya setelah Nabi saw. wafat, dan juga menerima hadits dari shahabat yang lain, seperti Anas ibn Malik ra.[48] (sebanyak 2286 hadits) dan ‘Abdullah ibn Abbas ra. (sebanyak 1660 hadits);
4) shahabat yang berhubungan erat dengan Nabi saw., yakni para isteri Nabi saw. (Ummahat al-Mu`minin = أمهات المؤمنين), seperti ‘Aisyah ra. (sebanyak 2210 hadits) dan Ummu Salamah ra.

DAFTAR NAMA SHAHABAT PERAWI HADITS
No
NAMA
Tahun
Hadits
KET.
1
Abu Bakr al-Shiddiq ra.
w. 13 H.
2630
Al-Sabiqun al-Awwalun. Sebagian mereka tidak diketahui jumlah hadits yang diriwayatkan
2
‘Umar ibn al-Khatthab ra.
w. 23 H.

3
‘Utsman ibn ‘Affan ra.
w. 35 H.

4
‘Ali ibn Abi Thalib kw.
w. 40 H.

5
‘Abdullah ibn Mas’ud ra.
w. 32 H.
848
6
Abu Hurairah ra.
21 SH. -59 H.
5374
Selalu bersanding Nabi
7
‘Abdullâh ibn ‘Amr ibn al-‘Ash ra.
7 SH. – 65 H.
100
8
‘Aisyah ra.
w. 58 H.
2210
Keluarga dekat Nabi saw.
9
Ummu Salamah ra.

-
10
Anas ibn Malik ra.
10 SH. -93 H.
2286
Panjang usia
11
‘Abdullah ibn ‘Abbas ra.
5 SH. – 68 H.
1660
12
‘Abdullah ibn ‘Umar ra.
10 SH. -73 H.
2630

13
Jabir ibn ‘Abdillah ra.
16 SH. -78 H.
1540

14
Abu Sa’id al-Khudri ra.
w. 74 H.
1170



Di antara mereka yang meriwayatkan lebih dari 1000 hadits disebut sebagai Bendaharawan Hadits. Melihat data di atas kita dapat memahami betapa tinggi tingkat hafalan hadits bagi Abu Hurairah ra. (21 SH.-59 H.).
Menurut pendapat umum, para shahabat yang menghafal banyak hadits dalam urutan setelah Abu Hurairah ra. secara berurutan adalah:
1) ‘Abdullah ibn ‘Umar ra.[49] sebanyak 2630 hadits;
2) Anas ibn Malik ra.[50] sebanyak 2286 hadits;
3) ‘Aisyah ra.[51] sebanyak 2210 hadts;
4) ‘Abdullah ibn ‘Abbas ra.[52] sebanyak 1660 hadits;
5) Jabir ibn ‘Abdillah ra.[53] sebanyak 1540 hadits; dan
6) Abu Sa’id al-Khudri ra.[54] sebanyak 1170 hadits.

Menurut keterangan al-Dzahabi jumlah shahabat yang meriwayatkan banyak hadits ada 31 orang. Meskipun demikian, secara umum periwayatan hadits pada masa shahabat sangat dibatasi atau diperketat dengan maksud agar terhindar dari usaha-usaha pemalsuan hadits dari kalangan orang-orang murtad. Adapun di antara para shahabat yang menyedikitkan periwayatan hadits adalah al-Zubair ra., Zaid ibn Arqam ra., dan Imran ibn Husain ra. Pada umumnya mereka punya reasoning yang sama dalam menyedikitkan riwayat hadits, yakni rasa khawatir akan salah ketika meriwayatkan banyak hadits, sehingga harus berhati-hati.


e. Hadits di Masa Shahabat
Untuk mengetahui kondisi hadits pada masa Shahabat diperlukan pengetahuan hadits secara historis.

1) Periodisasi
Hadits pada masa shahabat dikelompokkan menjadi beberapa periode sebagai berikut.
a) Masa Abu Bakar dan ‘Umar ra.
Setelah nabi saw. wafat (tahun 11 H.) wilayah kekuasaan Islam telah meliputi seluruh jazirah Arab. Para shahabat tidak lagi hidup menetap di Madinah, tetapi mengembara ke berbagai kota lain. Hadits pun mulai tersebar dari kota ke kota lainnya. Namun demikian pada masa-masa awal penyebarannya sangat terbatas, hadits hanya disampaikan kepada orang yang memerlukannya saja, dan belum merupakan pelajaran.
Shahabat nabi Abu Bakar al-Shiddiq ra. (wafat pada bulan Jumada al-Ula tahun 13 H.) wafat dalam usia ke 63 tahun. Informasi ini diperoleh dari keterangan Anas ibn Malik ra. tentang usia nabi saw. sebagai berikut:
حَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الرَّازِيُّ مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا حَكَّامُ بْنُ سَلْمٍ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ زَائِدَةَ عَنْ الزُّبَيْرِ بْنِ عَدِيٍّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ ابْنُ ثَلَاثٍ وَسِتِّينَ وَأَبُو بَكْرٍ وَهُوَ ابْنُ ثَلَاثٍ وَسِتِّينَ وَعُمَرُ وَهُوَ ابْنُ ثَلَاثٍ وَسِتِّين [55]
(…… Nabi saw. wafat pada usia 63, Abu Bakar ra. wafat pada usia 63, dan Umar ra. wafat pada usia 63)

Selama menjadi khalifah (11-13 H.) senantiasa menge-luarkan perintah mengenai penyelidikan riwayat hadits. Beliau tidak setuju dengan sikap yang memperbanyak periwayatan hadits. Setiap orang yang meriwayatkan hadits harus menunjukkan sanad dan saksi. Beliau hanya menekankan penyebaran al-Qur`ân dengan menjaga tajwidnya, karena ketika itu sedang berlangsung kodifikasi al-Qur`ân pada tahap awal. Kecuali itu beliau ra. bersikap itba’ pada larangan Nabi saw. tentang penulisan hadits di atas.
Nemun demikian bukan berarti beliau ra. anti penulisan hadits. Indikatornya adalah bahwa beliau ra. pernah mengirimkan surat kepada Anas ibn Malik ra. tentang kewajiban zakat dengan mencantumkan beberapa hadits. Belaiau juga pernah mengirim surat kepada ‘Amr ibn al-‘Ash ra. yang di dalamnya tertulis beberapa hadits.[56]
Sedangkan Sayyiduna ‘Umar ibn al-Khatthab ra. (wafat pada bulan Dzul Hijjah tahun 23 H.) ketika menjadi khalifah (13-23 H.) lebih keras lagi dan lebih ketat dalam periwayatan hadits. Setiap orang tidak diizinkan meriwayatkan banyak hadits. Dalam konteks ini Abu Hurairah ra. pernah menjawab pertanyaan Abu Salamah ra.: “Sekiranya aku banyak riwayat, niscaya ‘Umar telah mencambukku”.[57] Ibn Mas’ud, Abu Darda`, dan Abu Dzar al-Ghifari dikabarkan pernah dipenjarakan oleh Khalifah ‘Umar ra. karena memiliki banyak riwayat hadits. Namun berita tersebut didustakan oleh ibn Hazm.[58]
Menurut riwayat dari ‘Urwah ibn al-Zubair ra., Sayyiduna ‘Umar ibn al-Khatthab ra. telah merintis penulisan hadits pada masanya. Hal tersebut dapat dipahami melalui ungkapan Sayyidina Umar ra. yang diriwayatkan melalui Ma’mar dari al-Zuhri dari ‘Urwah ra. sebagai berikut:
إني كنت أريد أن أكتب السنن وأني ذكرت قوما كانوا قبلكم كتبوا كتبا فأركبوا عليها وتركوا كتاب الله وإني والله لاأشوب كتاب الله بشيء أبدا [59]
(Sesungguhnya aku hendak menulis sunnah-sunnah Rasul Allâh, namun aku teringat akan kaum sebelum kamu yang telah menulis banyak tulisan. Mereka senantiasa melakukan kegiatan tersebut dan meninggalkan Kitab Allâh, sedangkan aku demi Allâh tidak akan mencampur-adukkan Kitab Allâh dengan suatu apa pun selamanya).
Hadits berikut ini juga mengisyaratkan betapa penulisan hadits ketika itu telah dilakukan:
و حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ الْمَكِّيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ أَبِي لُبَابَةَ وَعَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عُمَيْرٍ سَمِعَا وَرَّادًا كَاتِبَ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ يَقُولُ: كَتَبَ مُعَاوِيَةُ إِلَى الْمُغِيرَةِ اكْتُبْ إِلَيَّ بِشَيْءٍ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَكَتَبَ إِلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا قَضَى الصَّلَاةَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ (رواه مسلم)
(…. Mu’awiyah menulis surat kepada al-Mughirah “Kirimkan kepadaku apa saja yang engkau dengar dari Rasul Allâh saw. bersabda!” Maka ia membalasnya (melalui surat): “Aku mendengar Rasul Allâh saw. jika selesai (mendirikan) shalat membaca لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ ) HR. Muslim

Ketika itu di antara para shahabat juga banyak yang memperketat periwayatan, dan memperkecil kwantitas riwayat hadits seperti Shahabat al-Zubeir, Abu ‘Abdillah dan ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthallib, bahkan ada yang nyaris tidak pernah meriwayatkan hadits sepotong pun, seperti Sa’id ibn Zaid ibn ‘Amr ibn Nufail dari kelompok 10 shahabat yang dijamin masuk surga.[60]
Masa-masa Khalifah Abu Bakar dan Umar ra. inilah yang disebut dengan Masa Pengetatan terhadap Periwayatan Hadits (‘Ashr Taqlil Riwayah al-Hadits = عصر تقليل رواية الحديث). Hal tersebut bukan berarti tidak ada periwayatan hadits tetapi sebagai bentuk kehati-hatian, apalagi ketika itu terjadi proses kodifikasi al-Qur`ân, di samping itu telah muncul isu datangnya Nabi palsu (mutanabbi, متنبّي).
Menurut Shahabat Mu’awiyah ra. masa ‘Umar ra. adalah masa yang paling kondusif dalam pemeliharaan dan penyebaran hadits. Dalam hadits berikut ini beliau berkata:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ أَخْبَرَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنِي رَبِيعَةُ بْنُ يَزِيدَ الدِّمَشْقِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرٍ الْيَحْصَبِيِّ قَالَ سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ يَقُولُا إِيَّاكُمْ وَأَحَادِيثَ إِلَّا حَدِيثًا كَانَ فِي عَهْدِ عُمَرَ فَإِنَّ عُمَرَ كَانَ يُخِيفُ النَّاسَ فِي اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (رواه مسلم)

(….. ibn ‘Amir al-Yahshabi berkata: “Aku mendengar Mu’awiyah berkata “Berhati-hatilah kalian terhadap hadits-hadits kecuali terhadap hadits yang berkembang pada masa ‘Umar, karena ‘Umar (sangat mengajak) takut manusia kepada Allâh”) HR. Muslim

b) Masa ‘Utsman dan ‘Ali ra.
Semasa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan ra. (terbunuh pada bulan Azul Hijjah 35 H. dalam usia 82 tahun)[61] dan Sayyidina Ali ra. (terbunuh pada bulan Ramadlan tahun 40 H. dalam usia 63 tahun) hadits telah tersebar dengan pesat ke berbagai kota. Shahabat-shahabat Yunior bersemangat menerima hadits dari Shahabat-shahabat Senior dan mengumpulkannya, bahkan mereka mulai bersemangat bergerak meninggalkan desa mereka untuk mencari hadits. Masa ini dikenal dengan nama Masa Memperbanyak Riwayat Hadits (‘Ashr Iktsar Riwayah al-Hadits = عصر إكثار رواية الحديث).
Menurut riwayat al-Bukhari, Ahmad, al-Thabarani dan al-Baihaqi, bahwa Shahabat Jabir ra. pernah melawat ke Syam selama satu bulan untuk sekadar menanyakan (klarifikasi) sebuah hadits yang asing baginya pada seorang Shahabi yang tinggal di sana, yaitu Abdullâh ibn Unais al-Anshari ra. Hadits yang ditanyakan olehnya adalah sebagai berikut:
يحشر الناس عراة عُزْلا بُهْما. قلنا: وما لهم؟ قال: ليس معهم شيء ، فيناديهم نداء يسمعه من بعد كما يسمعه من قرب: أنا الملك أنا الديان لاينبغي لأحد من أهل النار ان يدخل النار وعنده مظلمة حتى أقصّها منه. ولاينبغي لأحد من أهل الجنة أن يدخل الجنة وأحد من أهل النار يطلبه بمظلمة حتى أقصها منه حتى اللطمة. قلنا: كيف وإنما نأتي الله عراة عزلا بُهْما ؟ قال: بالحسنات والسيئات
(Manusia dikumpulkan (di padang Mahsyar) dalam keadaan telanjang, tidak berkain, dan berwarna hitam. Kami bertanya: “Mengapa begitu?” Nabi saw. menjawab: “Mereka tidak punya apa-apa. Mereka dipanggil oleh sebuah panggilan yang didengar oleh orang yang berada di tempat yang jauh sebagaimana didengar oleh orang yang dekat “Saya adalah Raja, saya adalah Tuhan pemberi balasan. Tidak seorang pun dari penghuni neraka akan masuk neraka ketika ia mempunyai dosa pada orang lain hingga Aku tuntut dosanya. Dan tidak seorang pun dari penghuni surga bisa masuk surga ketika ada seseorang dari penghuni neraka menuntutnya karena dosa pada dirinya hingga Aku menuntutnya meskipun berupa tamparan”. Kami bertanya: “Bagaimana maksudnya, sungguh kami menghadap Allâh dengan telanjang, tidak berkain, dan berwarna hitam?” Nabi menjawab: “Dengan kebajikan dan kejahatan”)
Abu Ayyub al-Anshari ra. juga dikabarkan pernah melawat ke Mesir untuk menemui ‘Uqbah ibn ‘Amr ra. dalam rangka konfirmasi sebuah hadits yang asing baginya. Berikut ini haditsnya yang dkonfirmasikan oleh beliau:
من ستر مسلما في الدنيا على قربته ستره الله يوم القيامة
(Barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim atas kekuarangannya, niscaya ia akan ditutup oleh Allâh pada hari kiamat)
Hadits tersebut perlu dikonfirmasikan karena meragukan secara redaksional, hal mana dalam matan hadits yang sama dari sanad berbeda tidak ditemukan kata ‘ala qurbatihi (على قربته) maupun kata yawm al-qiyamah (يوم القيامة), tetapi kata fi al-dunya wa al-akhirah (في الدنيا والآخرة).[62]


2) Sistem Periwayatan Hadits
Ada dua metode yang digunakan untuk meriwayatkan hadits pada masa shahabat. Yaitu periwayatan bi al-lafdhi dan periwayatan bi al-ma’na.

a) Tekstual, Redaksional
Yakni para shahabat meriwayat hadits sesuai dengan lafadh secara persis yang diterima dan dihafal dari nabi saw. Inilah yang dinamakan riwayat bi al-lafdhi (رواية باللفظ). Dalam sistem ini tidak ada reserve bagi seseorang untuk menambah lafadh dan menguranginya. Kata ‘Umar ra.: Barangsiapa mendengar hadits dan meriwayatkannya sebagaimana ia mendengarnya, niscaya selamat.[63]
Shahabat yang menggunakan riwayat hadits bi al-lafdhi ini antara lain adalah ‘Abd Allâh ibn ‘Umar ra. Sedangkan dari Tabi’in antara lain adalah Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar, Muhammad ibn Sirin, Raja` ibn Haiwah, dan Thawwas. Adapun dari Tabi’ al-Tabi’in antara lain adalah Malik ibn Anas, Hammad ibn Zaid, Khalid ibn Haris dan Waqi’.[64]

b) Kontekstual, Relasional
Yakni penyampaian hadits melalui riwayat secara maknawi, makna hadits yang lebih penting disampaikan kepada orang lain bukan lafadhnya. Mungkin hal ini terjadi karena faktor lemahnya hafalan terhadap hadits bagi seseorang. Metode ini dikenal dengan istilah riwayat al-hadits bi al-ma’na (رواية الحديث بالمعنى).
Riwayat dengan metode ini akan menunjukkan pada kita adanya bentuk redaksi yang berbeda-beda pada riwayat yang berbeda, tetapi pada materi yang sama. Periwayatan dengan model ini diperbolehkan selama pelakunya tidak bermaksud mencederai hadits dan sangat kuat daya ingatnya, serta dapat dipercaya (tsiqah).
Para ‘Ulama dari generasi salaf bersilang pendapat mengenai periwayatan dengan makna. Sebagian dari mereka tidak setuju, sebagian lagi memperbolehkannya. Di antara ‘ulama yang tidak setuju adalah umumnya datang dari para pemangku hadits, pemangku fiqh, dan pemangku ushul, seperti ibn Sirin dan Abu Bakar al-Razi. Sedangkan para tokoh ‘ulama dari kelompok muhadditsin, pemangku hadits maupun fiqh yang memperbolehkan riwayat bi al-ma’na antara lain adalah empat Imam madzhab, tetapi jika perawi memastikan maknanya.[65]
Para ‘ulama yang memperbolehkan riwayat bi al-ma’na telah menetapkan kriteria, yaitu:
(1) Rawi harus memahami lafadh-lafadh dan maksudnya;
(2) Rawi harus paham betul terhadap kemungkinan perubahan makna.
(3) Rawi setelah meriwayatkan hadits harus menyatakan “أوْ كما قال”, atau “ أو نَحوَه ”, atau dengan menyatakan “أو شيهه”.
3) Pusat Penyebaran Hadits
Setelah nabi saw. wafat Khalifah Abu Bakar ra. menyerahkan tampuk pimpinan perang kepada Usamah dan memberangkatkannya ke Syam. Dalam waktu yang relatif singkat beberapa wilayah masuk Islam. Wilayah Syam sendiri meliputi Palestina, Yordania, Siria, dan Libanon. Irak pun bisa dikuasai pada tahun 17 H. Mesir dikuasai pada tahun 20 H. Kemudian pasukan menyebrangi sunngai Efrat dan mereka menaklukkan Persia pada tahun 21 H. Mereka mereka memasuki Smarkand pada tahun 56 H. Kemudian mereka bergerak menuju arah barat melalui jalur Afrika dan memasuki Andalusia (Spanyol) pada tahun 93 H. Daratan Cina pun mampu dijangkau oleh mereka pada tahun 96 H. melalui jalur darat.
Kondisi demikian menunjukkan bahwa sepanjang sejarah tidak pernah ada dinasti manusia yang memiliki kekuasaan seluas kekuasaan Islam. Maka tidak dapat dielakkan para ‘ulama pun tersebar di mana-mana untuk mengajarkan ajaran Islam. Dan terpilihlah beberapa kota sebagai pusat pengajaran agama Islam, termasuk al-Qur`ân dan al-Hadits. Kota-kota yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a) Madinah
Kota ini dikenal sebagai Kota Hijrah (Dar al-Hijrah, دار الهجرة). Kota ini menjadi pusat penyebaran hadits sejak Nabi saw. dan Khulafa` al-Rasyidin. Tidak mengherankan jika pemikiran fiqhnya pun dikenal sebagai Fiqh Ahli Hadits.[66] Mereka yang dikenal sebagai Ahli Hadits antara lain adalah:
(1) Empat orang Khalifah;
(2) Abu Hurairah ra.;
(3) Aisyah ra.;
(4) Abdullah ibn Umar ra. ;
(5) Abu Sa’id al-Khudri ra.;
(6) Zaid ibn Tsabit; dan lain-lain.


Pada masa berikutnya lahir generasi Tabi’in di kota ini, seperti:
(1) Sa’id ibn al-Musayyab ra.;
(2) Urwah ibn al-Zubair ra.;
(3) Ibn Syihab al-Zuhri ra.;
(4) Ubaidullah ibn ‘Utbah ibn Mas’ud ra.;
(5) Salim ibn Abdillah ibn Umar ra.;
(6) Muhammad ibn al-Munkadir ra.;
(7) dan lain-lain.

b) Mekkah
Untuk pengajaran hadits di kota ini Rasul Allâh saw. mengutus Mu’adz ibn Jabal ra. Seorang shahabat bernama Abdullah ibn Abbas dikabarkan sempat mengambil hadits darinya setelah kembali ke Mekkah dari Bashrah. Sedangkan dari generasi tabi’in yang menetap di kota ini antara lain adalah:
(1) Atha` ibn Abi Rabah ra.;
(2) Mujahid ibn Jabar ra.;
(3) Abu al-Zubair Muhammad ibn Muslim ra.;
(4) Thawus ibn Kaisan ra.;
(5) Ikrimah ra.,
(6) dan lain-lain.

c) Kufah
Ketika Umar ibn al-Khathab ra. berkuasa dan menaklukkan Irak, banyak shahabat yang datang ke sana. Tidak terelakkan kota Kufah yang tidak jauh dari Irak menjadi garda perluasan Islam untuk Khurasan, Persia dan India. Di antara para shahabat yang menetap di kota ini adalah:
(1) Ali ibn Abi Thalib kw.;
(2) Sa’id ibn Abi Waqash ra.;
(3) Sa’id ibn Zaid ibn ‘Amr ibn Nufail ra.;
(4) Abdullah ibn Mas’ud ra. (berjasa mengharumkan kota ini dengan pengajaran hadits dan fiqh).

Di antara para Tabi’in yang menjadi teman Abdullah ibn Mas’ud dan tinggal di kota ini adalah:
(1) ‘Amir ibn Syurahbil al-Sya’bi ra.;
(2) Sa’id ibn Jabir al-Asasi ra.;
(3) Ibrahim al-Nakha`I ra.;
(4) Abu Ishaq al-Sabi’i ra.;
(5) Abdul Malik ibn Umar ra.;
(6) dan lain-lain.

d) Bashrah
Kota ini juga menjadi pusat penyebaran hadits dengan tokoh dari golongan shahabat. Antara lain adalah:
(1) Anas ibn Malik ra. (Imam hadits);
(2) Abu Musa al-Asy’ari ra.;
(3) Abdullah ibn Abbas ra.;
(4) ‘Utbah ibn Ghazwan ra.;
(5) Imran ibn Hushain ra.;
(6) Abu Barzah al-Aslami ra.;
(7) Ma’qal ibn Yassar ra.;
(8) Abdur Rahman ibn Samurah ra.; dan lain-lain.

Di antara kelompok tabi’in yang tinggal di kota ini adalah:
(1) Hasan al-Bashri ra. (sempat berjumpa dengan 500 shahabat);
(2) Muhammad ibn Sirin ra.;
(3) Ayyub al-Sakhtiyani ra.;
(4) Yunus ibn Ubaid ra,\.;
(5) Abdullah ibn ‘Aun ra.;
(6) ‘Ashim ibn Sulaiman al-Ahwal ra.; dan lain-lain.


e) Mesir
‘Amr ibn al-‘Ash ra. adalah orang yang dipercaya oleh Khalifah Umar ibn al-Khatthab ra. untuk memimpin pasukan perang memasuki wilayah Mesir. Ia mengajarkan hadits di negeri ini dan diikuti oleh orang-orang yang dekat dengannya, misalnya adalah:
(1) puteranya sendiri, Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash. ra.;
(2) Uqbah ibn ‘Amir al-Juhanni ra.;
(3) Kharijah ibn Khudzaifah ra.;
(4) Abdullah ibn Sa’ad ibn Abi Sarah ra.;
(5) Abdullah ibn al-Haris ibn Juz` ra.;
(6) Abu Bashrah al-Ghifari ra.;
(7) Abu Sa’ad al-Khair ra.;
(8) Mu’adz ibn Anas al-Juhari ra.; dan lain-lain.

Sedangkan dari generasi yang berjuang dalam penyebaran hadits di kota ini antara lain adalah:
(1) Yazid ibn Abi Habib ra.
Beliau ra. sangat berpengaruh dalam pengajaran hadits. Muridnya antara lain adalah al-Laits ibn Sa’ad ra., Abdullah ibn Luhai’ah ra., dan lainnya;
(2) Abu al-Khair Martsad al-Yazini ra.;
(3) Umar ibn al-Harits ra.;
(4) Khair ibn Nu’aim al-Khadlrami ra.;
(5) Abdullah ibn Sulaiman al-Thawil ra.;
(6) Abdullah ibn Syuraih al-Ghafiqi ra.; dan lain-lain.
(7)

f) Syam
Kota ini merupakan daerah kekuasaan Mu’awiyah ra. ketika menjadi Gubernur untuk wilayah ini. Maka sangat wajar kota ini juga merupakan pusat pengajaran hadits bagi para shahabat. Di antara shahabat nabi saw. yang menetap di kota ini dan mengajarkan hadits adalah:
(1) Mu’adz ibn Jabal ra.;
(2) Ubadah ibn Shamit ra.;
(3) Abu Darda` ra.
Dari mereka kemudian para tabi’in di kota ini mengambil hadits. Di antara para tabi’in yang belajar hadits dan mengajarkannya di kota ini adalah:
(1) Abu Idris al-Khaulani ra.;
(2) Umar ibn Abdil ‘Aziz ra.;
(3) Qabishah ibn Dzuaib ra.;
(4) Makhul ra.;
(5) Raja` ibn Haiwah ra.



f. Keistimewaan Shahabat Nabi
Dalam Shahih al-Bukhari dijumpai beberapa teks hadits yang menjelaskan keistimewaan generasi shahabat, bahwa mereka adalah sekelompok ummat Islam yang terbaik setelah Nabi saw. wafat. Di antaranya adalah riwayat sebagai berikut:
حدثنا إسحاق: حدثنا النضر: أخبرنا شعبة، عن أبي جمرة: سمعت زهدم بن مضرب: سمعت عمران بن حصين رضي الله عنهما يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: خير أمتي قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم - [67]
(…. Rasul Allâh saw. bersabda: “Sesebagik-baik ummatku adalah.(generasi yang hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”)

Dalam Shahih Muslim terdapat keterangan mengenai keistimewaan generasi Shahabat sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَشُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ وَهُوَ ابْنُ عَلِيٍّ الْجُعْفِيُّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ السُّدِّيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ الْبَهِيِّ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ الْقَرْنُ الَّذِي أَنَا فِيهِ ثُمَّ الثَّانِي ثُمَّ الثَّالِث [68]
(…. Dari ‘Aisyah, katanya: “Seorang lelaki bertanya kepada Nabi saw. (tentang) manusia manakah yang paling baik, maka Nabi menjawab: “(Manusia yang hidup pada) masa di mana aku (masih) hidup, kemudian generasi kedua, kemudian generasi ketiga”)

Dalam hadits di atas generasi Shahabat dinyatakan sebagai generasi kedua setelah masa nabi saw.
4) Tentang Rawi
Di antara generasi shahabat telah ada yang berusaha menerangkan keadaan para perawi hadits. Mereka adalah ibn ‘Abbas (w. 68 H.), ‘Ubaidah ibn Shamit (w. 34 H.), dan Anas ibn Malik (w. 93 H.).
g. Hadits di Masa Tabi’in
Secara harfiah, kata tabi’in (تابعين) dalam bentuk jamak berasal dari kata tabi’ (تابع) yang berarti pengikut, atau berjalan di belakang seseorang. Dan secara terminologis kata tabi’in diartiakan sebagai orang yang berteman dengan shahabat (من صحب الصخابي),[69] dan dalam ‘Ulum al-Hadits didefinisikan sebagai berikut:
من لقي صحابيّا مسلما ومات على الإسلام [70]
(yaitu orang yang bertemu dengan seorang shahabat muslim dan ia mati dalam keadaan memeluk agama Islam)
Dalam sejarah hadits masa Tabi’in merupakan periode ketiga. Tabi’in adalah orang-orang yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. melalui jalur shahabat ra. Generasi tabi’in muncul di berbagai kota dan negara ketika Islam telah menjadi pilihan ummat manusia sebagai jalan terbaik. Al-Qur`ân telah mencantumkan generasi tabi’in ini sebagai generasi yang menjadi tali estafet penyebaran ajaran Islam, yaitu firman Allâh SWT.:
šcqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûï̍Éf»ygßJø9$# Í‘$ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»¡ômÎ*Î/ š†Å̧‘ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊu‘ur çm÷Ztã £‰tãr&ur öNçlm; ;M»¨Zy_ “̍ôfs? $ygtFøtrB ㍻yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkŽÏù #Y‰t/r& 4 y … (التوبة: 100)
(Dan orang-orang pendahulu yang pertama, baik dari kaum Muhajirin maupun kaum Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka secara baik-baik, yang diridlai Allâh dan meridlai-Nya, dan Allâh telah mempersiapkan bagi mereka surga-surga yang di bawahnya sungai-sungai mengalir, di sana selamanya … )
Dalam ayat di atas, menurut Abu Musa al-Asy’ari, Sa’id ibn al-Musayyab, Muhammad ibn Sirin, al-Hasan dan Qatadah ra., generasi Shahabat ditunjuk dengan ungkapan wa al-sâbquna al-awwaluna min al-muhâjirina wa al-anshâr ( والسابقون الاوّلون من المهاجرين والانصار ), yakni mereka adalah orang-orang yang telah mendirikan shalat menghadap dua qiblat bersama Rasul Allâh saw., sedangkan generasi Tabi’in ditunjukkan dengan kata wa al-ladzina ittaba’uhum bi ihsân (والذين اتبعوهم باحسان).

1) Kondisi Hadits
Jika pada masa para shahabat penulisan hadits lebih banyak disebabkan oleh kekhawatiran munculnya hadits palsu, maka penulisan hadits pada masa tabi’in justeru lebih dipengaruhi oleh kondisi telah munculnya banyak hadits palsu. Al-Zuhri ra. dalam hal ini berkata:
لولا أحاديث تأتينا من قبل المشرق ننكرها لانعرفها ما كتبت حديثا ولاأذنت في كتابه [71]
(Andaikan tidak ada hadits yang datang dari arah timur, niscaya kami mengingkarinya, tidak tahu apa yang harus kami tulis sebagai hadits, dan tidak kami izinkan orang lain menulisnya)
Pada masa tabi’in wilayah ummat Islam benar-benar telah sangat luas, meliputi semenanjung Arab, Siria, Palestina, Yordania, Libanon, Irak, Mesir, Persia, dan Samarkand. Penyebaran hadits ke wilayah-wilayah tersebut terbatas oleh kemampuan hafalan orang yang datang ke sana. Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan penyebaran hadits yang tidak merata. Hal tersebut akan menjadikan perbedaan pandang dalam memahami ajaran agama (fiqh). Perbedaan di bidang fiqh antara ‘ulama Hijaz dan ‘ulama Irak juga karena hal tersebut. Kondisi demikian itulah yang mendorong untuk segera dilakukan kodifikasi hadits pada masa generasi ini. Menurut Muhammad al-Zafzaf kodifikasi hadits pada masa tabi’in dituntut oleh keadaan sosial ummat Islam ketika itu, yakni:
a) Para ‘Ulama hadits telah tersebar ke berbagai negeri, hingga dikhawatirkan hadits akan menghilang bersama kematian mereka sedangkan generasi penerus diperkirakan tidak menaruh perhatian menjaga hadits;
b) Banyak berita yang dibuat-buat oleh kelompok Ahli Bid’ah (mubtadi’), seperti golongan Khawarij, Rafidlah, Syi’ah, dan lain-lain.[72]
Melihat realitas kondisi sosial di atas, maka dapat dipahami bahwa pada masa tabi’in awal ummat Islam telah terbagi menjadi tiga kategori, yaitu:
a) mereka yang mengakui kepemimpinan ‘Ali kw. (Syi’ah);
b) mereka yang pro terhadap pemerintahan pada masa itu (Jumhur);
c) mereka yang berada di luar barisan kedua kelompok di atas, oposisi bagi Ali dan Mu’awiyah (Khawarij).[73]


2) Perhatian terhadap Isnad
Setelah Ali ibn Abi Thalib kw. wafat terjadi fitnah dalam Islam, yakni timbul faham tasyayyu’ (Pemihak Ali) yang dikibarkan oleh pemfitnah tingkat tinggi dari Yahudi bernama Abdullah ibn Saba’. Akibat dari ulahnya adalah terjadinya penyelundupan hadits yang kian hari makin bertambah. Oleh karena itu para shahabat dan tabi’in merasa perlu berhati-hati dalam meriwayatkan dan menerima hadits. Mereka hanya siap menerima hadits yang isnadnya jelas. Menolak hadits yang datang dari golongan Ahli Bid’ah, dan menerima hadits dari Ahli Sunnah.[74]
Menurut riwayat Muslim dari Mujahid ra., bahwa Busyair al-‘Adawi datang kepada ibn ‘Abbas ra. untuk menceritakan sebuah hadits, tetapi ibn ‘Abbas tidak memperhatikannya. Maka Busyair bertanya: “Mengapa engkau tidak memperhatikan hadits-hadits yang aku riwayatkan?” Ibn ‘Abbas ra. menjawab: “Dulu aku mendengar dan memperhatikan hadits dengan sungguh-sungguh, tetapi ketika manusia telah mengendarai binatang jinak dan liar maka aku tidak lagi menerima selain hadits yang telah aku ketahui”.[75]
Mereka dalam hal isnad tidak main-main. Mereka giat melakukan perlawatan ilmiah (rihlah ‘ilmiyyah, رحلة علميّة) ke berbagai kota dan negara untuk melacak kebenaran hadits dengan klarifikasi terhadap isnad. Perhatikan apa yang telah dilakukan oleh Abu Ayyub al-Anshari ra. lawatannya ke Mesir guna menemui ‘Uqbah ibn ‘Amr ra. pada pembahasan di atas!
Sa’id ibn al-Musayyab ra. seorang dari generasi Tabi’in terkenal dalam konteks ini berkata:
إني لأسير الليالي والأيام في طلب الحديث الواحد [76]
(Aku benar-benar melakukan perlawatan dalam beberapa malam dan siang hari untuk mencari sebuah hadits)

3) Tabi’in Termuka
Menurut al-Imam Ahmad ra., seorang tabi’in yang dipandang paling utama adalah Sa’id ibn al-Musayyab ra. Sedangkan menurut al-Bulqini, orang yang paling top dari generasi Tabi’in adalah Uwais ibn ‘Amr al-Qarni dari aspek kepribadian (wara’)-nya, tetapi ibn al-Musayyab dari aspek keilmuannya.
Secara umum diketahui ada 7 orang dari tabi’in yang terkenal di bidang fiqh dari kota Madinah yang sekaligus meriwayatkan hadits, yaitu:
a) Sa’id ibn al-Musayyab al-Makhzumi (wafat di Madinah tahun 94 H.);
b) Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr al-Shiddiq (Madinah);
c) ‘Urwah ibn al-Zubair ibn ‘Awwam al-Asadi (wafat di Madinah pada tahun 94 H.);
d) Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit al-Anshari;
e) ‘Ubaid Allâh ibn ‘Abd Allâh ibn ‘Utbah ibn Mas’ud;
f) Sulaiman ibn Yassar al-Hilali;
g) Abu Salmah ibn ‘Abd al-Rahman ibn ‘Auf, Abu Bakr ibn ‘Abd al-Rahman ibn Harits ibn Hisyam ra.[77] (nama-nama yang disebut terakhir ini masih diperselisihkan. Kemungkinan posisi ketujuh ditempati oleh Salim ibn ‘Abd Allâh ibn ‘Umar ibn al-Khatthab (w. th. 106 H.).
Adapun para tabi’in dari kaum wanita yang terkenal di bidang hadits menurut Abu Bakar ibn Abu Dawud antara lain adalah:
a) Hafshah binti Sirin;
b) ‘Umrah binti Abdur Rahman; dan
c) Ibu Darda`[78]


Sedangkan di antara para tabi’in yang terkenal di bidang hadits berdasarkan tempat tinggalnya adalah sebagai berikut:
a) Di Madinah tercatat nama-nama sebagai berikut:
(1) Sa’id ibn al-Musayyab ra. (w. 94 H.), sebagai tokoh generasi Tabi’in,
(2) Urwah ra. (w. 94 H.),
(3) Abu Bakar ibn Abdur Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam ra. (w. 94 H.),
(4) Ubaidullah ibn Abdillah ibn Utbah ra.,
(5) Salim ibn Abdillah ibn Umar ra.,
(6) Sulaiman ibn Yassar ra.,
(7) al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar ra.,
(8) Nafi’ ra.,
(9) al-Zuhri ra. (w. 123 H.),
(10) Abu Zinad ra.,
(11) Kharijah ibn Zaid ra.,
(12) Abu Salamah ibn Abdir Rahman ibn Auf ra.


b) Di Makkah para tabi’in yang bergelut dengan adalah:
(1) Ikrimah ra.,
(2) Atha` ibn Abi Rabah ra.,
(3) Abu al-Zubair ra.,
(4) Muhammad ibn Muslim ra.


c) Di Kufah ada nama-nama sebagai berikut:
(1) Uwais al-Qarni ra. sebagai tokoh;
(2) ‘Amir ibn Syurahbil al-Sya’bi ra.;
(3) Sa’id ibn Jabir al-Asasi ra.;
(4) Ibrahim al-Nakha`i ra.;
(5) Alqamah al-Nakha`i
(6) Abu Ishaq al-Sabi’i ra.;
(7) Abdul Malik ibn Umar ra.
d) Di kota Bashrah dikenal nama-nama sebagai berikut:
(1) al-Hasan al-Bashri ra. sebagai tokoh,
(2) Muhammad ibn Sirin ra.,
(3) Qatadah ra.


e) Di Syam terkenal nama-nama antara lain sebagai berikut:
(1) Umar ibn Abdil ‘Aziz ra.,
(2) Qabishah ibn Dzuaib ra.;
(3) Makhul ibn Ka’b al-Akhbar ra.;
(4) Raja` ibn Haiwah ra.


f) Di Mesir terdapat nama-nama antara lain sebagai berikut:
(1) Abu al-Khair Martsad ibn Abdillah al-Yazini ra.;
(2) Yazid ibn Habib ra.,
(3) Umar ibn al-Harits ra.,
(4) Khair ibn Nu’aim al-Khadlrami ra.,
(5) Abdullah ibn Sulaiman al-Thawil ra.,
(6) Abdullah ibn Syuraih al-Ghafiqi ra.
g) Di Yaman, beberapa nama yang terkenal di bidang hadits antara lain:
(1) Thawus ibn Kaisan al-Yamani ra.,
(2) Wahb ibn Munabbih (w. 110 H.).


B. MASA TADWIN HADITS DAN TOKOHNYA

Setelah melalui perjalanan sejarah yang panjang hadits menemui masa kristalisasi dengan nama Masa Pembukuan Hadits atau Kodifikasi Hadits (‘ashr tadwin al-hadits, عصر تدوين الحديث). Ketika itu semangat para pecinta ilmu membara untuk mengumpulkan hadits dan menuliskannya dalam sebuah dokumen hingga mampu dibaca dan dianalisa. Masa ini berlangsung sejak abad II H. dan berlanjut hingga abad-abad berikutnya.


1. Masa Pembukuan Hadits pada Abad II, III, dan IV H.
a. Hadits Pada abad II H.
Pereode ini merupakan pereode keempat dalam sejarah perkembangan hadits dan ilmu hadits. Sebagaimana telah diketahui di depan, para tokoh periwayatan hadits (dari kalangan shahabat dan tabi’in) sangat berhati-hati dan teliti, serta daya hafal mereka sangat tinggi. Setiap orang yang hendak meriwayatkan hadits tentu akan melakukannya dengan mengukur kapasitas kepemilikan hadits yang ada pada mereka. Mereka mengandalkan hafalan. Riwayat hadits secara tekstual terus berlangsung, berkesinambungan, hingga belum ada dorongan dan alasan yang dominan dan kuat untuk membukukan hadits. Namun secara berangsur-angsur kondisi tersebut mulai berubah, mengarah pada tuntutan dan kebutuhan akan dibukukannya hadits. Dengan memperhatikan kondisi masyarakat muslim dan keadaan hadits yang kian hari mengindikasikan kekhawatiran, maka pembukuan hadits segera dilaksanakan, kegiatan ini dikenal dengan istilah kodifikasi hadits (Tadwin al-hadits, تدوين الحديث).
Secara resmi kegiatan ini berjalan atas inisiatif ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz yang dinobatkan sebagai khalifah di dinasti ‘Amawiyyah pada tahun 99 H. Beliau terkenal sebagai pemimpin yang adil dan wira’i.[79] Alasan yang paling kuat untuk mendorong kegiatan tersebut baginya adalah kehawatiran akan lenyapnya hadits bersama dengan berkurangnya para penghafalnya karena kematian dari hari ke hari. Namun demikian niat ‘Umar baru terlaksana pada tahun 100 H. dengan memberikan instruksi kepada gubernur Madinah Abu Bakr ibn Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm (w. 120 H.) untuk membukukan hadits-hadits dari penghafal hadits wanita terkenal sekaligus ahli fiqh murid ‘Aisyah ra., yakni ‘Amrah binti Abd al-Rahman ibn Sa’ad ibn Zurarah ibn ‘Ades, dan hadits dari al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar al-Shiddiq ra. (107 H./ 725 M.). Berikut ini instruksinya:
انظر ما كان من حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم فاكتبه فإني خفت دروس العلم وذهاب العلماء ولاتقبل إلا حديث النبيّ صلى الله عليه وسلم ولتفشوا العلم ولتجلسوا حتى يعلم من لايعلم فإن العلم لايهلك حتى يكون سرّا [80]
(Perhatikanlah hadits Rasul Allâh saw. Tuislah ia, karena aku khawatir akan hilangnya ilmu bersama kepergian ‘ulama. Janganlah engkau terima kecuali hadits Rasul saw. Hendaklah kalian menebarkan ilmu dan mengadakan kelompok pengajian hingga siapa yang tidak berilmu, menjadi berilmu, karena ilmu tidak akan rusak hingga menjadi barang antik)
Kitab hadits yang disusun oleh ibn Hazm ra. (w. 120 H.) merupakan buku hadits pertama yang ditulis atas instruksi resmi Kepala Negara, meskipun belum meliputi keseluruhan hadits di Madinah. Ironisnya kitab tersebut tidak terpelihara sebagaimana mestinya. Kodifikasi hadits yang berjalan di Madinah secara keseluruhan baru dilakukan oleh al-Zuhri ra. (w. 123 H.). Kecuali kepada ibn Hazm ra., Umar ibn ‘Abd al’Aziz juga memberi tugas kepada Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhri untuk menulis hadits. Al-Zuhri dikhabarkan telah berhasil mengumpulkan hadits dalam bentuk buku dan disebarluaskan oleh khalifah ke beberapa kota.
Para penulis hadits lainnya pada abad II H. secara umum adalah satu masa dengan al-Zuhri, dan tidak diketahui lagi setelah masanya. Yaitu:
1) Ibn Juraij ra. (80-150 H./ 669-767 M.) dari Mekkah;
2) Ibn Ishaq (w. 151 H./ 651-768 M.), Malik ibn Anas (97-179 H.) dari Madinah;
3) Al-Rabi’ ibn Shabih ra. (w. 161 H.), Hammad ibn Salamah (w. 176 H.), dan Sa’id ibn Abi Arubah (w. 156 H) dari Bashrah;
4) Sufyan al-Tsauri (w. 161 H.) dari Kufah;
5) Al-Auza’i (w. 156 H.) dari Syam;
6) Hisyam al-Wasithi (104-188 H.) dari Wasith;
7) Ma’mar al-Azdi (95-153 H.) dari Yaman;
8) Jarir al-Dlabbi (110-188 H.) dari Rei;
9) Ibn al-Mubarak (118-181 H.) dari Khurasan; dan
10) Al-Laits ibn Sa’ad (175 H.), al-Syafi’i ra. dari Mesir.

Berikut ini adalah sekilas tentang riwayat hidup para tabi’in yang terkenal sebagai tokoh hadits (Rijal al-Hadits) pada abad II H. Antara lain adalah sebagai berikut.

Ibn Juraij (80-150 H.)
Nama lengkapnya adalah Abu Khalif ‘Abd Malik ibn ‘Abd al-‘Aziz ibn Juraij al-‘Amawi al-Makki. Ia lahir pada tahun 80 H. dan wafat pada tahun 150 H. Ia meriwayatkan haditsnya dari para gurunya, antara lain adalah:
1) Hakimah binti Raqiqah;
2) Ayahnya, Abdul ‘Aziz;
3) ‘Atha` ibn Abi Rabah;
4) Ishaq ibn Abi Thalhah;
5) al-Zuhri (w. 123 H.);
6) ‘Atha` al-Khurasani;
7) Ikrimah, dan lain-lain.

Dan hadits-haditsnya diriwayatkan oleh:
1) kedua puteranya, yaitu ‘Abdul ‘Aziz dan Muhammad;
2) al-Auza’i;
3) al-Laitsi;
4) Yahya ibn Sa’id al-Anshari;
5) ibn al-Mubarak;
6) Waki’, dan lain-lain.


Ibn Ishaq (… - 151 H. / 651-768 M.)
Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad ibn Ishaq ibn Yassar al-Mutthlabi al-Madani. Ia seorang ahli sejarah terkenal yang tidak diketahui tahun kelahirannya secara pasti kecuali diperkirakan pada tahun 651 M. Ia meninggal di Baghdad pada tahun 151 H./ 768 M. dan kebumikan di Pemakaman Bab al-Khaizuran yang mana Ibn Harun al-Rasyid dimakamkan.
Ia meriwayatkan hadits dari orang-orang antara lain sebagai berikut:
1) pamannya, ‘Abdur Rahman dan Musa;
2) ’Atha` ibn Abi Rabah;
3) Ikrimah ibn Khalid al-Makhzumi;
4) al-Zuhri, dan lain-lain.
Dan hadits-haditsnya diriwayatkan oleh:
1) Yahya al-Anshari;
2) Gurunya, ‘Abdullah ibn ‘Aun;
3) Syu’bah al-Hammadani, dan lain-lain.

Malik ibn Anas ra. (97-179 H.)
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah Malik ibn Anas ibn Abi ‘Amir al-Ashhabi al-Himyari al-Madani. Ia lahir pada tahun 97 H.[81] dan wafat pada tahun 179 H. Karyanya yang terkenal adalah al-Muwattha`. Kitab ini berisi 1726 hadits, terdiri dari hadits marfu, mauquf, dan maqthu’. Yang musnad ada 600 hadits, yang mursal ada 228 hadits, yang mauquf ada 613 hadits, dan yang maqthu’ ada 285 hadits. Kitab adalah kitab yang terkenal di samping Kitab Induk pada zamannya. Dan al-Suyuthi telah memberikan komentar terhadap kitab ini dengan judul Kasyf al-Mughattha` (كشف المغطأ) yang berarti “Menyingkap Informasi Yang Tertutup”, karena kitab tersebut. Al-Imam Malik ibn Anas ra. menerima hadits dari para rijal al-hadits sebagai berikut:
1) Amir ibn Abdillah ibn al-Zubair ibn al-‘Awwam;
2) Nu’aim ibn Abdillah al-Mujammir;
3) Zaid ibn Aslam;
4) Nafi’;
5) Humaid al-Thawil;
6) Abu Hazim;
7) Salmah ibn Dinar;
8) Shalih ibn Kaisan;
9) Al-Zuhri (w. 123 H.);
10)Shafwan ibn Sulam;
11)Abu al-Zinad;
12)Ibn Munkadir;
13)Abdullah ibn Dinar;
14)Yahya ibn Sa’id
15)Ja’far ibn Muhammad al-Shadiq; dan lain-lain
Adapun orang-orang yang meriwayatkan haditsnya antara lain adalah:
1) al-Zuhri;
2) Yahya ibn Sa’id al-Anshari;
3) Sa’id ibn Abdillah ibn al-Had
(Mereka bertiga adalah guru-guru Imam Malik ibn Anas sendiri);
4) al-Auza’i ;
5) al-Tsauri;
6) Syu’bah ibn Hajjaj;
7) Al-Laits ibn Sa’ad;
8) Ibn ‘Uyainah;
9) Yahya ibn Sa’id al-Qatthan;
10) Abdur Rahman ibn Mahdi;
11) al-Syafi’i ;
12) Ibn al-Mubarak;
13) dan lain-lain



Sufyan al-Tsauri ra. (97-161 H.)
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Sufyan ibn Sa’id ibn Matsruq al-Tsauri al-Kufi. Ia lahir pada tahun 97 H. dan wafat pada tahun 161 H. Ia termasuk golongan ‘Ulama` Mujtahidin yang mempunyai aliran (madzhab) tersendiri. Ia meriwayatkan hadits dari orang-orang sebagai berikut:
1) Ayahnya;
2) Abu Ishaq al-Syaibani;
3) Abu Ishaq al-Suba’i;
4) Al-A’masy;
5) Hammad ibn Abi Sulaiman;
6) Shalih ibn Shalih;
7) ‘Ashim ibn Ahwal;
8) Humaid ibn al-Thawil;
9) Zaid ibn Aslam;
10)Abdullah ibn Dinar;
11)‘Amar ibn Dinar;
12)Abu al-Zubair;
13)Yahya ibn Sa’id al-Anshari; dan lain-lain
Dan hadits-haditsnya diriwayatkan oleh para rijal antara lain sebagai berikut:
1) Ibn Ishaq (juga guru dari Syu’bah);
2) Zaidah al-Auza’i;
3) Malik;
4) Zubair ibn Mu’awiyah;
5) Ali ibn al-Ja’li.
Ia termasuk ‘ulama mujtahid besar, tokoh dalam ilmu hadits dan lainnya. menurut Sufyan ibn ‘Uyainah, ia adalah ‘ulama tiada banding. Katanya: “Aku belum pernah melihat seorang tokoh yang lebih mengetahui tentang halal dan haram kecuali Sufyan al-Tsauri”.[82]

Abu Hanifah ra. (80-150 H.)
Secara lengkap namanya adalah al-Nu’man ibn Basyir ibn Zutha al-Taimi. Ia termasuk tabi’in karena sempat bertemu dengan para shahabat bernama Anas ibn Malik, Sahal ibn Sa’ad, Abdullah ibn Abi Aufa, dan Abu al-Thufail ‘Amir ibn Wasilah. Beliau wafat akibat dihukum cambuk dalam penjara di Baghdad pada tahun 150 H. karena tidak mau menerima hadiah secara paksa ketika menjadi hakim. Ia meriwayatkan hadits dari sebagian shahabat seperti nama-nama berikut:
1) ‘Atha’;
2) Nafi’;
3) ibn Hurmusi;
4) Amir ibn Dinar, dan lain-lain.
Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh:
1) Abu Yusuf;
2) Zufar;
3) Abu Muthi’ al-Balaki;
4) ibn al-Mubarak;
5) al-Hasan ibn Ziyad;
6) Dawud al-Tha`i;
7) Waki’, dan lain-lain.



Muhammad ibn al-Saib al-Kalbi ra. (w. 146 H.)
Nama lengkapnya adalah Abu al-Nashri Muhammad ibn al-Saib ibn Basyar abn ‘Amr al-Kalbi. Ia berteman dengan Abdullah Abu al-Dunya. Ia seorang mufassir dan ahli silsilah bangsa Arab, namun ia tidak dipandang sebagai orang yang dapat dipercaya dalam bidang hadits.
Ia meriwayatkan hadits dari:
1) Sufyan;
2) Salamah;
3) Amir al-Sya’bi; dan lain-lain.
Dan hadits-haditsnya diriwayatkan oleh:
1) puteranya, Hisyam;
2) Sufyan al-Tsauri;
3) Muhammad ibn Ishaq;
4) Hammad ibn Salamah ibn al-Mubarak;
5) Ibn Juraij;
6) Muhammad ibn Marwan al-Saddi al-Shaghir;
7) Husyaim;
8) Abu Awanah; dan lain-lain.
Muqatil ibn Sulaiman ra. (w. 150 H.)
Nama lengkapnya adalah Abu al-Husain Muqatil ibn Sulaiman ibn Basyir al-Azbi al-Khurasani al-Marwasi tinggal di Baghdad. Ia meriwayatkan hadits dari:
1) Nafi’ Mujahid ibn Jabar;
2) Atha` ibn Abi Rabah;
3) Abu Ishaq al-Suba’i;
4) Al-Dlahhak ibn Muzahim;
5) Muhammad ibn Muslim al-Zuhri; dan lain-lain
Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh:
1) Baqiyah ibn al-Walid;
2) Abdur Razzaq ibn al-Humam al-Shan’ani;
3) Ali ibn al-Ja’ad;
4) Sa’ad ibn Abi al-Shalt;
5) Hammad ibn Qairath;
6) Yahya ibn Syibl; dan lain-lain.
Menurut al-Syafi’i ra., ‘ulama yang kita berhutang budi pada mereka adalah Muqatil ibn Sulaiman ra. dalam bidang syair, dan Abu Hanifah ra. dalam bidang ilmu kalam.

Sufyan ibn ‘Uyainah ra. (107-198 H.)
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Sufyan ibn Uyanah ibn Abi Imran Maimun al-Hilali al-Kufi. Ia seorang tokoh yang diakui sebagai perawi hadits yang diterima hadits-haditsnya. Ia lahir paada tahun 107 H. dan wafat di Mekkah pada tahun 198 H.
Ia meriwayatkan hadits dari beberapa rijal, antara lain:
1) Abdul Malik ibn Umar Abu Ishaq al-Suba’i;
2) Ziyad ibn ‘Alaqah;
3) Amir ibn Dinar;
4) Muhammad ibn al-Munkadir;
5) Ja’far al-Shadiq;
6) Humaid al-Thawil;
7) Sulaiman al-Tamimi;
8) Sulaiman al-Ahwal;
9) Shalih ibn Kaisan;
10) Abdullah ibn Dinar;
11) Al-Zuhri; dan lain-lain.


Dan hadits-haditsnya diriwayatkan oleh:
1) al-A’masy;
2) ibn Juraij;
3) Syu’bah ;
4) Muhammad ibn Ishaq;
5) Al-Syafi’i;
6) Abdur Razzaq ibn Humamal-Shan’ani;
7) Yahya ibn Aktsan;
8) Ibn al-Mubarak;
9) Yahya al-Qatthan;
10)Ibn al-Mahdi;
11) Ahmad ibn Hanbal;
12) Yahya ibn Ma’in;
13) Ali ibn al-Madani;
14) Ibn Rahawaih; dan lain-lain
Al-Laits ra. (94-175 H.)
Nama lengkapnya adalah Abu al-Haris al-Laits ibn Sa’ad ibn Abdir Rahman al-Fahmi. Ia mujtahid ternama di bidang fiqh dan hadits dari Mesir dan wafat di sana pada tahun 175 H. Ia meriwayatkan hadits dari:
1) Nafi’ ra.,
2) Yahya ibn Sa’id al-Anshari ra.,
3) Sa’id al-Muqri ra.,
4) Atha` ibn Abi Rabah ra.,
5) Qatadah ra.,
6) Al-Zuhri ra.,
7) Shafwan ibn Sulaiman ra., dan lain-lain.

Sedanngkan hadits-haditsnya diriwayatkan oleh:
1) Muhammad ibn Ajlan ra.,
2) Hisyam ibn Sa’id ra.,
3) Hisyam ibn Basyir ra.,
4) Ibn al-Mubarak ra.,
5) Al-Walid ibn Muslim ra.,
6) Ibn Wahab ra.,
7) Abdul Walid al-Thayalisi ra., dan lain-lain.
Al-Syafi’i ra. (150-204 H./ 767-820 M.)[83]
Salah satu tokoh dalam bidang hadits yang tidak asing bagi kita adalah al-Syafi’i. Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn al-Syafi’i ibn al-Sa`ib ibn Ubaid ibn Abdil Aziz ibn Hasyim ibn Abdil Muthalib ibn Abdi Manaf al-Mutthalibi al-Quraisyi. Ia pembangun madzhab yang tersebar ke seluruh dunia. Ia telah menghafal al-Qur`ân pada usia ke 7 tahun dan pada usia 10 tahun ia telah menghafal isi al-Muwattha` karya Imam Malik ra. Beliau ra. wafat di Mesir pada malam Jum’at, 29 Rajab 204 H. setelah menetap di sana dan mengajarkan ilmu selama enam tahun, dan dimakamkan di pemakaman Banu Zahrah yang diberi nama Qurafah Shughra di bawah kaki gunung al-Muqattsam.
Beliau ra. meriwayatkan hadits dari para gurunya, yaitu:
1) Sufyan ibn Uyainah ra. (Mekkah),
2) Malik ibn Anas ra. (Madinah),
3) Yahya ib Husain ra. (Yaman),
4) Waki’ ibn Jarrah, dan lainnya.
Karya Tulisnya antara lain adalah;
1) al-Risalah;
2) Ikhtilaf al-Hadits;
3) Jami’ al-‘Ilm;
4) Ibthal al-Istihsan;
5) Ahkam al-Qur`ân;
6) Bayan al-Fardl;
7) Shifat al-Amr wa al-Nahy;
8) Ikhtilaf Malik wa al-Syafi’i;
9) Al-Umm;
10) Al-Sunan, dan masih banyak lagi karyanya.



Dari generasi pengikut para tabi’in (Tabi’i al-Tabi’in) di atas ada kitab hasil karya mereka yang paling terkenal dan masih dinilai representatif hingga kini, yaitu al-Muwattha` (الموطأ) karya Malik ibn Anas ra. (97-179 H.) dari Madinah yang ditulis atas saran Khalifah al-Manshur ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 144 H.

KARYA-KARYA YANG TERKENAL
Adapun kitab-kitab hadits terkenal lain yang disusun pada abad II H. selain al-Muwatha` dan tidak kalah perhatian masyarakat atasnya antara lain adalah:
1) al-Maghazi wa al-Syi’ar karya Muhammad ibn Ishaq ra.;
2) Al-Jami’ karya Abdur Razzaq al-Shan’ani ra.;
3) Al-Mushannaf karya al-Syu’bah ibn Hajjaj ra.;
4) Al-Mushannaf karya Sufyan ibn Uyainah ra.;
5) Al-Mushannaf karya al-Laits ibn Sa’ad ra.;
6) Al-Mushannaf karya al-Auza’i ra.;
7) Al-Mushannaf karya al-Humaidi ra.;
8) Al-Maghazi al-Nabawiyyah karya Muhammad ibn Waqid al-Aslami ra.;
9) Al-Musnad karya al-Imam Abu Hanifah ra.;
10) Al-Musnad karya al-Imam al-Syafi’i ra.;
11) Mukhtalif al-Hadits karya al-Syafi’i ra.;
12) Al-Musnad karya Zaid ibn Ali ra.

Di antara kitab-kitab yang terkenal sebagai produk abad ini sebagaiman di atas terdapat empat kitab yang menjadi perhatian khusus bagi para ‘ulama, yaitu:
1) al-Muwattha` (الموطأ) karya Malik ibn Anas ra.;
2) Al-Musnad (المسند) karya al-Imam al-Syafi’i ra.;
3) Mukhtalif al-Hadits (مختلف الحديث) karya al-Imam al-Syafi’i ra.;
4) al-Maghazi wa al-Syi’ar (المغازي والشعار) karya Muhammad ibn Ishaq ra.


Al-Muwatha` adalah kitab berisi 1726 rangkaian khabar dari nabi, shahabat, dan tabi’in. Khabar yang berupa Musnad ada 600 buah, yang mursal 228 buah, yang mauquf ada 613 buah hadits, dan yang maqthu’ ada 285 buah hadits. Dengan demikian dalam kitab al-Muwatha` ini terdapat hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dla’if. Meskipun demikian al-Syafi’i ra. berkata dalam kaitan ini: “Kitab yang paling shahih setelah al-Qur`ân adalah al-Muwatha` ”.[84]
Al-Musnad karya al-Imam Abu Hanifah ra. juga mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari sebagian ahli ilmu pada generasi berikutnya. Di antara mereka adalah dua tokoh hadits yang hidup pada abad X H., yaitu:
1) al-Hafidh Muhammad ibn Yusuf al-Shalihi al-Syafi’i dalam kitabnya yang berjudul ‘Aqd al-Juman (عقد الجمان),
2) al-Hafidh Syamsuddin ibn Thalun dalam kitabnya yang berjudul al-Fihris al-Ausath (الفهرس الأوسط).

Al-Musnad karya al-Imam al-Syafi’i ra. menurut al-Biqa`i bukan karya murni dari al-Syafi’i, tetapi merupakan petikan dari buku al-Umm (الأمّ) yang dikerjakan oleh al-Asham.[85] Kitab Musnad ini juga telah diinterpretasikan oleh ibn al-Atsir (w. 504 H.) dengan judul al-Syafi (الشافي). Sedangkan isinya telah ditertibkan oleh al-Sindi.
Penulisan dan pembukuan hadits pada abad II H. ini secara umum tidak luput dari telah bercampurnya hadits dengan fatwa-fatwa shahabat, bahkan ada yang memasukkan fatwa tabi’in ke dalamnya. Dengan demikian di dalamnya terdapat berbagai jenis hadits dilihat dari sumbernya, yakni marfu’, mauquf, dan maqthu’. Dan secara garis besar buku hadits pada abad ini dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu dengan nama al-Mushannafat (المصنّفات) dan al-Musnad (المُسنَد).
Di penghujung abad II H. terjadi gerakan yang spektakuler di bidang penulisan al-Musnad yang dipelopori oleh Abu Dawud Sulaiman ibn al-Jarad al-Thayalisi ra. (133-204 H.). Maka bersemilah banyak kitab dalam jenis al-Musnad yang disusun oleh para pujangganya, seperti:
1) Asas ibn Musa al-Amawi ra. (w.212 H.),
2) Ubaidullah ibn Musa al-Abbasi ra. (w. 213 H.),
3) Musaddad al-Bashri ra. (w. 224 H.),
4) Al-Syafi’i ra. (150-204 H./), bukan tahun 150-240 H.[86]


b. Hadits Pada Abad III H.
Abad III H. merupakan masa puncak penulisan hadits. Para ahli hadits pada masa ini berusaha secara maksimal dan optimal untuk menghindarkan hadits dari fatwa-fatwa shahabat dan generasi tabi’in. Mereka mengkodifikasi hadits secara khusus. Namun kelemahan tetap ada, yakni mereka tidak memilih dan memilah antara hadits shahih, hasan, dan dla’if. Pada prinsipnya mereka membukukan segala hadits yang diterima dari gurunya atau siapa saja tanpa seleksi. Shahifah ibn Hazm ra., misalnya, kemungkinan besar dibukukan semata-mata berdasarkan pernyataan Umar ibn Abdil Aziz kepadanya, sebagai berikut:
.... ولاتقبل إلا حديث النبيّ صلى الله عليه وسلم [87]
(…. Janganlah engkau terima kecuali hadits Rasul saw. …)

Buku-buku hadits pada abad ini umumnya tidak disusun berdasarkan bab tertentu, kecuali al-Sya’bi yang telah berhasil mengumpulkan hadits berdasarkan bab Thalaq. Pada masa ini para ‘ulama berusaha keras melakukan intensitas lawatan ke berbagai kota demi kebenaran hadits. Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari ra. (194-256 H.) adalah orang yang mula-mula meluaskan daerah lawatan untuk mencari hadits. Di antara kota-kota yang dikunjungi adalah Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Damaskus, Qaisariyah, Asqalan, dan Himsah. Kegiatan tersebut dilakukan selama tidak kurang dari 16 tahun untuk menyusun kitab al-Jami’ al-Shahih.[88] Kemudian upaya tersebut diikuti oleh Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi ra. (204-261 h.).

1) Klasifikasi Kitab Hadits
Kitab-kitab hadits yang disusun oleh para tokohnya pada abad III H. ini bisa diklasifikasi menjadi tiga macam, yaitu Kitab Shahih, Kitab Sunan, dan Kitab Musnad.
Kitab Shahih adalah kitab-kitab hadits yang penyusunannya hanya berisi hadits-hadits shahih. Sedangkan Kitab Sunan adalah kitab-kitab hadits yang tidak memuat hadits munkar dan sejenisnya, kecuali Kitab Sunan ibn Majah. Hadits dla’if yang tidak munkar dan tidak terlalu lemah tetap dimasukkan di dalamnya dengan diterangkan kedla’ifannya. Dengan demikian derajat Kitab Sunan berada di bawah Kitab Shahih. Adapun Kitab Musnad adalah kitab-kitab hadits yang di dalamnya terdapat berbagai jenis hadits tanpa diterangkan derajatnya.
Adapun kitab hadits yang sangat terkenal dan ditulis dalam abad III H. antara lain adalah:
1) Shahih al-Bukhari (194-256 H.)
2) Shahih Muslim (204-261 h.)
3) Sunan Abi Dawud ra. (w. 275 H.)
4) Sunan al-Nasa`i ra. (w. 303 H.)
5) Jami’ al-Tirmidzi ra. (w. 279 H.)
6) Sunan ibn Majah ra. (w. 273 H.)
7) Musnad Ahmad ibn Hanbal ra. (w. 241 H.)
2) Kitab Induk
Beberapa kita hadits yang disusun pada abad III H. ini dan sebelumnya kemudian diposisikan sebagai Kitab Induk. Lima kitab yang dikenal sebagai demikian di antaranya disebut sebagai al-Ushul al-Khamsah (الأصول الخمسة) atau al-Kutub al-Khamsah (الكتب الخمسة), tetapi dalam perkembangan berikutnya kehadiran ibn Majah menambah jumlahnya hingga menjadi Kitab Enam (al-Kutub al-Sittah, الكتب الستّة), yaitu:
1) Kitab Shahih karya al-Bukhari, dengan nama al-Jami’ al-Shahih;
2) Kitab Shahih karya al-Imam Muslim, dengan nama al-Jami’ al-Shahih,
3) Kitab Sunan karya al-Imam Abi Dawud, dengan nama Sunan Abi Dawud,
4) Kitab Sunan karya al-Nasa`i, dengan nama Sunan al-Nasa`i,
5) Kitab Jami’ atau Sunan karya al-Imam al-Tirmidzi, dengan nama Sunan al-Tirmidzi,
6) Sunan ibn Majah, dengan nama Sunan ibn Majah.
Menurut sebagian ‘ulama, yang termasuk Kitab Induk itu lima kitab dengan sebutan al-Ushul al-Khamsah (الأصول الخمسة) atau al-Kutub al-Khamsah (الكتب الخمسة). Namun menurut sebagian lagi dari mereka, jumlah Kitab Induk ditambah satu kitab, yakni Sunan ibn Majah, hingga jumlahnya menjadi enam sebagai yang terkenal hingga kini. Mereka yang senada dalam hal ini adalah ibn Thahir, Abdul Ghani al-Maqdisi, al-Mizzi, al-Hafidh ibn Hajar, dan al-Khajraji.[89]

Shahih al-Bukhari
Kitab ini memiliki judul lengkap al-Jami’ al-Shahih al-Musnad min Hadits al-Rasul (الجامع الصحيح المسند من حديث الرسول). Kitab berisi 9082 hadits yang marfu’, mauquf dan maqthu’.[90] Ada pendapat lain yang menerangkan bahwa kitab ini berisi 7275 hadits dengan banyak pengulangan.[91] Konon, kitab ini disusun selama 16 tahun dengan kondisi suci dari hadats, dan senantiasa dimulai dengan mandi dan istikharah setiap harinya.
Kitab ini disambut baik oleh jumhur ‘ulama. Indikatornya adalah banyak ‘ulama hadits dari generasi berikutnya yang memperhatikan dan memberikan komentarnya dengan menulis buku antara lain sebagai berikut:
1) A’lam al-Sunan (أعلام السنن) karya al-Khatthabi (w. 388 H.),
2) al-Kawakib al-Dlarari (الكواكب الضرري) karya Muhammad ibn Yusuf al-Kirmani (w. 775 H.),
3) Irsyad al-Sari (إرشاد الساري) karya Ahmad ibn Muhammad al-Mishri al-Qasthilani (851-923 H.),
4) Al-Tanqih (التنقيح) karya Badruddin al-Zarkasyi,
5) Al-Tawsyih ((التوشيح karya al-Suyuthi,
6) ‘Umdah al-Qari` (عمدة القارئ) karya Badruddin al-‘Aini,
7) Fath al-Bari (فتح الباري) karya Syihabuddin al-Asqalani (kitab ini merupakan Raja Syarh bagi kitab Shahih al-Bukhari).

Shahih Muslim
Ditinjau dari segi sitematika, kitab ini lebih baik daripada Shahih al-Bukhari, hingga mencari hadits di dalamnya lebih mudah. Kitab ini berisi 12000 hadits dengan pengulangan.[92] Kitab ini tidak kalah dalam memperoleh perhatian. Sekitar 15 buku merupakan komentarnya. Di antaranya adalah:
1) al-Mu’lim bi Fawaid Muslim (المعلِم بفوائد مسلم) karya al-Mazari (w. 536 H.),
2) al-Ikmal (الإكمال) karya al-Qadli ‘Iyadl (w. 544 H.),
3) Minhaj al-Muhadditsin (منهاج المحدّثين) karya al-Nawawi (w. 676 H.),
4) Ikmal al-Ikmal (إكمال الإكمال) karya al-Zawawi (w. 744 H.),
5) Ikmal al-Ikmal li Mu’lim (إكمال الإكمال لمُعْلِم) karya Abu Abdillah Muhammad al-Abiy al-Maliki (w. 927 H.)

Sunan al-Nasa`i
Nama lengkap bagi kitab ini adalah al-Mujtaba min al-Sunan (المجتبى من السنن) yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan al-Nasa`i.. Di dalamnya terdapat sedikit hadits dla’if hingga mampu menduduki urutan ketiga setelah Shahih Muslim.

Sunan Abi Dawud
Kitab ini berisi 4800 hadits pilihan dari 500.000 hadits yang dipersiapkan oleh penulisnya. Kitab ini juga memperoleh perhatian dari banyak kalangan berupa komentar, antara lain adalah:
1) Ma’alim al-Sunan (معالم السنن) karya al-Khatthabi,
2) ‘Aun al-Ma’bud (عون المعبود) karya Abul Tayyib Syamsul Haq ‘Adhim Abadi (India),
3) al-Mujtaba (المجتبى) karya al-Mundziri,
4) Tahdzib al-Sunan (تهذيب السنن) karya ibn al-Qayyim al-Jauzi.

Sunan al-Tirmidzi
al-Tirmidzi wafat di kota Tirmidz pada tahun 279 H. Dalam kitab Nail al-Awthar juz III (halaman 17-19) disebutkan, bahwa al-Tirmidzi menyatakan “Aku tidak memasukkan ke dalam kitab ini kecuali hadits yang sekirang-kurangnya telah diamalkan oleh sebagian fuqaha`”. Isi kitab ini jarang terjadi pengulangan hadits. Komentar terbesar terhadap kitab ini adalah buku berjudul ‘Aridlah al-Ahwadzi (عريضة الأحوذي) karya ibn al-‘Arabi al-Maliki.
Lima kitab tersebut oleh para ‘ulama digolongkan sebagai Kitab Induk yang Lima dengan sebutan al-Ushul al-Khamsah (الأصول الخمسة) atau al-Kutub al-Khamsah (الكتب الخمسة) yang berlaku dalam beberapa generasi. Kemudian oleh generasi muta`akhirin Sunan Ibn Majah dimasukkan dalam daftar Kitab Induk hingga jumlahnya menjadi enam, atau dengan sebutan al-Kutub al-Sittah (الكتب الستّة). Demikian pendapat yang didukung oleh beberapa tokoh hadits seperti Abul Fadlil ibn Thahir ra., Abdul Ghani al-Maqdisi, al-Mizzi, al-Hafidh ibn Hajar, dan al-Khazraji. Namun demikian sebagian dari generasi muta`akhirin, seperti Razin dan ibn al-Atsir, justeru memasukkan al-Muwattha` ke dalam daftar Kitab Induk yang keenam menduduki posisi Sunan Ibn Majah, karena disinyalir kitab al-Muwattha` merupakan karya kebanggaan dari abad II H., mendahului kitab yang lima lainnya. wa Allâhu a’lam bi al-shawab.
Sunan ibn Majah
Kitab ini memperoleh komentar dari sebuah kitab berjudul Mishbah al-Zujajah (مصباح الزجاجة) karya al-Suyuthi. Kebanyakan hadits yang diriwayatkan oleh dirinya sendiri dalam kitab ini adalah dla’if.

Shahih al-Bukhari menurut ibn Hajar
Menurut ibn Hajar al-Asqalani dalam muqaddimah Fath al-Bari, Shahih al-Bukhari mempunyai 7398 hadith dengan pengulangan, dan tanpa pengulangan sebanyak 2602 hadith. Shahih al-Bukhari lebih utama daripada Shahih Muslim kerana beberapa alasan, yaitu:
a) Imam al-Bukhari ra. mensyaratkan setiap perawi yang mengambil hadits dari perawi lain mesti berada dalam satu zaman dan mesti bertemu lang (muwajahah) sekurang-kurangnya sekali dalam hidupnya, tetapi Imam Muslim ra. hanya mensyaratkan berada di satu zaman, tanpa syarat berjumpa;
b) Imam al-Bukhari ra. lebih merupakan seorang yang faqih daripada Imam Muslim;
c) Imam al-Bukhari ra. tidak mengambil hadith dari Imam Muslim ra., tetapi Imam Muslim mengambil dari al-Bukhari;
d) al-Bukhari ra. mengkaji perihal perawi, sedangkan Imam Muslim tidak demikian;
e) Para perawi yang dikritik dalam sanad hadith dalam Shahih al-Bukhari hanya lebih kurang 80 orang, tetapi dalam Shahih Muslim lebih kurang 160 orang. Al-Bukhari mengambil hadith dari guru-gurunya yang amat dikenalinya, kebanyakan guru-gurunya telah dikritik sebagai dla’if, tetapi beilau lebih kenal akan guru-gurunya daripada para pengkritik;
f) Kurangnya pengkritik terhadap al-Bukhari dari sudut ‘syadz’ dan ‘illah’ berbeda dengan Muslim. Al-Bukhari dikritik sebanyak 78 kali, tetapi Muslim sebanyak 130 kali.


c. Hadits Pada Abad IV H.
Para tokoh hadits yang hidup dalam abad II dan III H. diberi gelar Generasi Pendahulu (Mutaqaddimun, متقدمون). Sedangkan para pujangga yang hadir di abad IV H. dan berikutnya diberi gelar Golongan Pengakhir (Muta`akkhirin, متأخرين). Mayoritas generasi muta`akhirin mengumpulkan hadits dengan menukil hadits-hadits dari buku produk generasi Mutaqaddimin.
Para tokoh pada abad ini tidak banyak mentakhrij hadits, tetapi hanya mentahdzibkannya dari kitab-kitab yang telah ada dan menghafalnya. Keadaan demikian jsuteru menjadikan mereka tidak melakukan lawatan untuk mencari hadits. Hadits-hadits shahih telah berhasil dikumpulkan oleh para tokoh di abad II H. dan III H.. Dan para tokoh di abad IV H. hanya mengumpulkan sedikit hadits shahih yang tidak terkumpulkan pada abad sebelumnya.[93]
Adapun kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits shahih dalam abad IV H. ini antara lain adalah:
1) al-Shahih (الصحيح) karya ibn Khuzaimah ra.,
2) al-Taqsim wa al-Anwa’ (التقسيم والأنواع) karya ibn Hibban ra.,
3) al-Mustadrak (المستدرك) karya al-Hakim ra. (321-405 H.),
4) al-Shahih (الصحيح) karya Abu ‘Awwanah ra.,
5) al-Muntaqa (المنتقى) karya ibn al-Jarud ra.,
6) al-Mukhtarat (المختارات) karya Muhammad ibn Abdil Wahid al-Maqdisi.

Penulis sengaja menyusun enam kitab hadits tersebut berdasarkan tertib derajatnya. Namun demikian dari kitab-kitab tersebut tidak bisa serta-merta diterima validitas haditsnya bgitu tanpa ditakhrij terlebih dahulu, karena mereka sangat longgar dalam memberikan kriteria mengenai hadits shahih. Keterangan selengkapnya dapat dibaca dalam bab Metode Kodifikasi Hadits dalam buku ini.
Sedangkan Kitab Hadits yang secara khusus meneliti perawi-perawi di dalam Shahih al-Bukhari antara lain adalah:
a) Asma’ Rijal Shahih al-Bukhari, Ahmad Bin Muhd al-Kalabazi (398 H); dan
b) At-Ta’dil wa at-Tajrih liman kharaja ‘anhu al-Bukhari, al-Hafiz Sulaiman al-Baji (474 H) .
2. Masa Pengembangan Hadits
Setelah melalui perjalanan panjang hadits telah sampai pada posisi yang jelas, yakni keberadaannya sebagai salah satu sumber ajaran Islam telah berhasil dikodifikasi dengan baik dan rapi menurut kaidah penulisan yang ilmiah. Namun demikian para pujangga muslim belum puas dengan keadaan yang ada, hingga mereka senantiasa berusaha melakukan pengembangan dan penyempurnaan penulisan hadits. Mereka membaca teks-teks terdahulu dan memberikannya komentar secukupnya sebagai langkah interprettatif sesuai dengan kapasitas keilmuan masing-masing. Maka hadits dan ilmu hadits berkembang dengan pesat dan dinamis.
Masa pengembangan hadits dan ilmunya dimulai pada abad V H. hingga sekarang. Dan banyak di antara ahli hadits menjelaskan, bahwa sejak abad V H. al-hadits memasuki masa perkembangannya.



a. Hadits pada abad V H.
Sebagai wujud kesungguhan para tokoh dalam usaha menulis dan membukukan hadits pada abad V H. adalah munculnya banyak buku bidang hadits, antara lain adalah berjudul al-Sunan al-Kubra (السنن الكبرى) karya al-Imam al-Baihaqi (w. 458 H) yang terfokus pada bidang hukum. Kitab ini terbit di India disertai dengan nama-nama shahabat dan tabi’in. Kitab hadits lainnya adalah berjudul al-Sunan al-Shughra (السنن الصغرى).
Hampir bisa dipastikan bahwa penulisan hadits di abad ini hanyalah menukil dari karya para pujangga hadits yang hidup pada masa-masa sebelumnya, yaitu al-Bukhari dan Muslim ra. Maka dari buku-buku induk itu muncullah beberapa kitab hadits lainnya, baik berupa ringkasan maupun komentar (syarh), yaitu antara lain:
1) al-Jami’ bain al-Shahihain (الجامع بين الصحيحين) karya Isma’il ibn Ahmad yang terkenal dengan panggilan ibn Furat (w. 414 H.);
2) al-Jami’ bain al-Shahihain (الجامع بين الصحيحين) karya Muhammad ibn Abi Nashr al-Humaidi al-Andalusi (w. 448 H.);
3) Bahr al-Asanid (بحر الأسانيد) karya al-Hafidh al-Hasan ibn Ahmad al-Samarqandi (w. 419 H.) berisi 100.000 hadits secara tertib;
4) ‘Umdah al-Ahkam (عمدة الأحكام) karyaal-Hafidh Abdul Ghani Abu Abdil Wahid al-Maqdisi (w. 600 H.). kitab ini dikomentari secara singkat oleh ibn Daqiq al-‘Id dengan judul Ahkam al-Ahkam (أحكام الأحكام);
5) al-Ahkam al-Shughra (الأحكام الصغرى) karya Abu Muhammad Abdul Haq yang terkenal dengan panggilan ibn al-Kharrat.


Kecuali nama-nama di atas diketahui nama yang masih dikenal hingga kin, yaitu al-Khathib yang hidup di awal abad ini (392-463 H.), dan ibn Abd al-Barr (w. 463 H.) yang berhasil menyusun riwayat para Shahabat dengan judul al-Isti’ab (الاستعاب).
b. Hadits pada abad VI H.
Pada abad ini pula tidak sedikit karya tentang hadits yang disusun oleh ahlinya. Di antaranya adalah:
1) al-Jami’ bain al-Shahihain ( الجامع بين الصحيحين) karya Muhammad ibn Ishaq al-Syibli ra. (w. 583 H.);
2) Tadrij al-Shihah (تدريج الصحاح) karya Abu al-Hasan Muhammad ibn Razin ibn Mu’awiyah al-Sarqasthi ra. (w. 535 H.).
Kitab ini merupakan komplementasi bagi kitab-kitab al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa`i, dan Imam Malik. Kitab ini telah diikhtisharkan oleh beberapa pujangga, di antaranya adalah oleh ibn Daiba al-Syaibani al-Zabidi (w. 944 H.) dengan judul Taysir al-Wushul ila Jami’ al-Ushul (تيسير الوصول إلى جامع الأصول). Kitab Jami’ ini kemudian disempurnakan oleh Abu Bakar Thahir Muhammad ibn Ya’qub al-Fairuzzabadi (w. 818 H.) dengan judul Tashil al-Wushul ila al-Ahadits al-Zaidah ‘ala Jami’ al-Ushul (تسهيل الوصول إلى الأحاديث الزائدة على جامع الأصول) sejenis Ensiklopedi Hadits;
3) Mashabih al-Sunnah (مصابيح السنة) karya al-Imam Husain ibn Mas’ud al-Baghawi (w. 516 H.) yang memuat 4484 hadits shahih dan hasan, serta penjelasan mengenai hadits-hadits yang tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Kitab ini disempurnakan oleh Muhammad ibn Abdillah al-Khathib al-Tabrizi dalam tahun 737 H. sebagai wujud kepeduliannya dan diberi judul Misykah al-Mashabih (مشكاة المصابيح).
4) al-Shahih karya ibn Khuzaimah ra.;
5) al-Taqsim wa al-Anwa’ karya ibn Hibban ra., yang dikenal dengan sebutan Shahih ibn Hibban;
6) al-Mustadrak karya al-Hakim ra.;

Adapun para Rijal al-Hadits yang aktif pada abad VI H. ini antara lain adalah:
1) ibn Khuzaimah ra.;
2) ibn Hibban ra.;
3) al-Hakim ra.;
4) al-Darquthni ra.,
5) al-Thabrani ra.,
6) al-Qasim ibn Qathlubagha ra.,
7) ibn al-Sakan ra.,
8) al-Thahawi ra.,
9) al-Baihaqi ra.,
10) Isma’il ibn Ahmad ibn Furat ra.,
11) Muhammad ibn Nashr al-Humaidi ra.,
12) al-Baghawi ra.,
13) Muhammad ibn Ishaq al-Syibli ra.,
14) Razin ibn Mu’awiyah al-Abdari al-Sarqasthi ra.,
15) Ibn al-Atsir al-Jazari ra.,
16) Abdur Rahman ibn al-Jauzi ra.,
17) al-Hasan ibn Ahmad al-Samarqandi ra.,
18) Abdul Ghani ibn Abdil Wahid al-Maqdisi ra.,
19) Ibrahim ibn Muhammad al-Maqdisi ra.,
20) Abu Muhammad Khalif ibn Muhammad al-Wasithi ra.,
21) Abu Nu’aim Ahmad ibn Abdillah al-Ashbihani ra.,
22) Ibn Asakir ra., dan
23) Syamsuddin ibn Muhammad al-Husaini ra.
Pada abad ini juga ditemukan tokoh terkenal yang telah menyusun buku yang menerangkan nama-nama shahabat yang hidup dalam usia 120 tahun, yaitu Yahya ibn Abdil Wahhab ibn al-Mandah al-Ashbahani (w. 511 H.).

c. Hadits pada Abad VII H.
Sejak terpuruknya Baghdad oleh kaganasan Hulagu Khan kegiatan penyiaran hadits beralih ke wilayah Mesir dan India. Sejak itu hanya para pemimpin pemerintahan, seperti al-Barquq, yang bergelut dengan ilmu hadits. India ketika itu telah berhasil mengusahakan penerbitan karya tulis al-Hakim berjudul ‘Ulum al-Hadits. Tidak lama kemudian kegiatan demikian berpindah ke wilayah kerajaan Saudi Arabia.
Banyak kitab hadits yang disusun dalam abad VII H. ini sebagai bentuk Karya Tulis. Bentuknya antara lain adalah sebagai berikut:
1) Kitab Zawa`id;
2) Kitab Jawami’,
3) kitab Takhrij,
4) kitab Athraf.


Keterangan selengkapnya mengenai jenis-jenis kitab tersebut dapat diperoleh dalam bab Metode Kodifikasi Hadits di buku ini pula. Adapun kitab yang berisi hadits yang terkenal dari abad ini antara lain adalah:
1) al-Targhib (الترغيب) karya al-Hafidh Abdul ‘Adhim ibn Abdil Qawi ibn Abdillah al-Mundziri (w. 656 H.),
2) al-Jami’ bain al-Shahihain (الجامع بين الصحيحين) karya Ahmad ibn Muhammad al-Qurthubi (w. 642 H.),
3) Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam (منتقى الأخبار في الأحكام) karya Majduddin Abul Barakat Abdus Salam ibn Abdillah ibn Abi al-Qasim al-Harrani (w. 652 H.),
4) Al-Mukhtarat (المختارات) karya Muhammad ibn ‘Abdil Wahid al-Maqdisi (w. 643 H.),
5) Riyadl al-Shalihin (رياض الصالحين) karya al-Imam al-Nawawi (631-676 H),
6) Al-Arba’in (الأربعين) karya al-Nawawi.


d. Hadits pada Abad VIII H.
Hadits hingga abad ini telah berkembang dengan pesat ditandai dengan aktifitas tulis-menulis di bidang hadits yang tidak mau kalah dengan masa-masa sebelumnya. Kitab hadits yang tersusun pada abad VIII H. ini antara lain adalah:
1) Jami’ al-Masanid wa al-Sunan al-Hadi ila Aqwam al-Sanan (جامع المسانيد والسنن الهادي إلى أقوم السنن) karya al-Hafidh ibn Katsir (w. 774 H.),
2) Al-Imam fi Ahadits al-Ahkam (الإمام في أحاديث الأحكام) karya ibn Daqiq al-‘Id (w. 702 H.).
3) Misykah al-Mashabih (مشكاة المصابيح) karya Muhammad ibn Abdillah al-Khathib al-Tabrizi dalam tahun 737 H. sebagi karya lanjutan yang menyempurnakan karya Mashabih al-Sunnah (مصابيح السنة) karya al-Imam Husain ibn Mas’ud al-Baghawi (w. 516 H.) yang memuat 4484 hadits shahih dan hadits hasan.

Adapun tokoh-tokoh lain yang juga berperan pada abad ini antara lain:

1) al-Dzahabi (w. 748 H) yang menyusun kitab berjudul al-Tajrid (التجريد),
2) ibn Sayyidinnas (w. 734 H.),
3) Al-Dimyathi (w. 705 H.),
4) Al-Zarkasyi (w. 794 H.),
5) Al-Mizzi (w. 742 H.),
6) Al-A’lai (w. 761 H.),
7) Al-Zailai (w. 762 H.), dan
8) Ibn Rajab (w. 795 H.).


e. Hadits pada Abad IX H.
Keadaan hadits pada abad ini telah memasuki masa awal keemasan. Kitab-kitab yang tersusun pada abad IX H. ini anatara lain adalah:
1) Ittihaf al-Khiyar bi Zawaid al-Masanid al-‘Asyrah (اتحاف الخيار بزوائد المسانيد العشرة) karya Muhammad ibn Abi Bakar al-Baghawi (w. 804 H.),
2) Bulugh al-Maram fi Adillah al-Ahkam (بلوغ المرام في أدلة الأحكام) karya al-Hafidh al-‘Asqalani (w. 852 H.) yang memuat 1400 hadits,
3) Majma’ al-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid (مجمع الزوائد ومنبع الفوائد) karya al-Hafidh Abul Hasan Ali ibn Abi Bakar ibn Sulaiman al-Syafi’i al-Haitami.

Adapun tokoh-tokoh yang terkenal dari abad ini antara lain adalah:
1) Ibn al-Mulaqqin (w. 804 H.),
2) al-Bulqini (w. 805 H.),
3) al-‘Iraqi (w. 806 H.),
4) al-Haitsami (w. 807 H.),
5) Abu Zur’ah (w. 826 H.),
6) Al-‘Aini (w. 855 H.), dan
7) Mughlathai (w. 862 H.),


f. Hadits pada Abad X H.
Abad X boleh dibilang masa puncak perjalanan historis bagi hadits. Abad ini telah menghantarkan para pecinta hadits untuk berprestasi di bidang penulisan hadits, dan kemudian seluruh aktifitas berhenti di penghujung abad ini. Karya yang terkenal dari para tokoh hadits di abad X H. antara lain adalah:
1) Jam’ul Jawami’ (جمع الجوامع) karya al-Hafidh al-Suyuthi (w. 911 H.),
2) Al-Jami’ al-Shaghir min Ahadits al-Basyir al-Nadzir (الجامع الصغير من أحاديث البشير النذير) karya al-Suyuthi,
3) Lubab al-Hadits (لباب الحديث) karya al-Suyuthi.


Sejak abad X H. ini perkembangan hadits dan ‘Ulum al-Hadits mengalami masa stagnasi, seakan ikut berbela sungkawa dan apresiasi terhadap wafatnya al-Suyuthi (849-911 H.) hingga bangkit kembali pada kira-kira pada akhir abad XIII H.[94]
Demikian kajian historis tentang hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa. Dalam konteks historisitas hadits penulis hendak melengkapi pembahasan ini dengan menyajikan materi yang terkait dengannya, yakni Metode Kodifikasi Hadits yang menjelaskan latar belakang, model, cara, dan bentuk penulisan hadits. Semoga tulisan ini bermanfa’at bagi kita.
Wa Allâh a’lam bi al-shawâb
[1] Nama lengkapnya Abu ‘Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi ‘Amir al-Ashhabi al-Himyari al-Madani. Nama Gelar baginya yang terkenal Imam Dar al-Hijrah karena selama menetap di sana beliau berhasil meformulasi hasil ijtihadnya yang terkenal dengan qaul qadim.
[2] Terdapat perbedaan dalam tahun kelahirannya, yakni apakah 91, 93, 94, atau 97? Baca al-Mukhtashar fi Ushul al-Hadits.
[3] Buku tersebut dikenal sebagai Kitab Hadits tertua. Kata al-Imam al-Syafi’i, “Saya belum pernah melihat buku yang di dalamnya lebih banyak benarnya selain karya Imam Malik ra.” Pernyataan tersebut disampaikan sebelum al-Bukhari dan Muslim. Lihat al-Ba’its al-Hatsits fi ikhtishar ‘Ulum al-Hadits karya Abu al-Fida` Isma’il ibn Katsir al-Qurasyi al-Syafi’i.
[4] Satu tahun setelah itu (tahun 100 H.) beliau meminta ibn Hamin untuk membukukan hadits. Baca selengkapnya uraian tentang Masa Kodifikasi Hadits pada bab ini.
[5]Nama lengkapnya Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah al-Ja’fi. Lahir pada malam hari raya sebagai anak yatim.
[6] Menurut pendapat lain, al-Bukhari ra hidup pada tahun 174-256 H.
[7] yang berarti Koleksi Hadits Shahih.
[8]Yakni sebagai nabi, pemimpin negara, kepala keluarga, suami, anggota masyarakat, dll.
[9] Baca M.M. ‘Imarah, Jawahir al-Bukhari, Indonesia: Dar Ihya` al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th., h. 55. Lihat Shahih al-Bukhari, bab al-‘Ilm, nomor hadits 68.
[10] Dr. Zuhri, Hadits Nabi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997, h. 28.
[11] Shahih al-Bukhari, bab al-Anbiya`, hadits nomor 50. Lihat pula hadits nomor 3202 pada juz 11, halaman 277.
[12] Musnan Ahmad, hadits nomor 6198 dalam juz 13, h. 236. Hadits uga didapat pada hadits nomor 6594 dalam juz 14, h. 132 dengan sanad lain, dan hadits nomor 6711 dalam juz 14, h. 249 dengan sanad yang lain pula.
[13] Al-Bukhari, Op. Cit., bab al-Iman, hadits nomer 9.
[14] Ibid., bab al-‘Ilm, hadits nomer 65.
[15] Lihat Sunan al-Tirmidzi, hadits k e 2580. Sanad hadits tersebut selengkapnya adalah:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ أَخْبَرَنَا عُمَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ مِنْ وَلَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَال سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ قَالَ خَرَجَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ مِنْ عِنْدِ مَرْوَانَ نِصْفَ النَّهَارِ قُلْنَا مَا بَعَثَ إِلَيْهِ فِي هَذِهِ السَّاعَةِ إِلَّا لِشَيْءٍ سَأَلَهُ عَنْهُ فَسَأَلْنَاهُ فَقَالَ نَعَمْ ....
[16]_Abu Umar Yusuf ibn Abd al-Barr al-Namari al-Qurthubi, Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadllih, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th., juz II, h. 15. Sanad hadits ini: 1)al-Qurthubi 2)Abu al-Walid Yunus ibn Abdullah ibn Mughits 3)Abu Bakr Muhammad ibn Mu’awiyah al-Amawi 4)Ja’far ibn Muhammad al-Faryabi 5)Abu Kuraib 6)Khalid ibn Mukhallid 7)Muhammad ibn Ja’far 8)al-‘Ala` ibn Abdurrahman 9)Ayahnya 10)Abu Hurairah dari 11)Nabi saw. Baca pula Muslim, Shahih Muslim, pada bab al-Washiyah, nomer hadits 3084 dengan sanad Muslim dari Yahya ibn Ayub, Qutaibah ibn Sa’id dan ibn Hajar, mereka dari Isma’il ibn Ja’far dari al-‘Ala dari ayahnya dari Abu Hurairah dari Rasul Allâh saw..
[17] Muh. Zuhri, Op. Cit., h. 31.
[18] Ahmad al-Hasyimi, Mukhtar al-Ahadits al-Nabawiyyah, Indonesia: al-Nur Asia, t.th., h. 111.
[19]Sahih Muslim, hadits nomor 6, halm. 15.
[20]Bahkan Rasul menyuruh sekretaris untuk mencatat setiap ayat yang turun. Ingatkah kita akan peranan Zaid ibn Tsabit?
[21] Shahih Muslim, juz 14, h. 291, hadits nomor 5326. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dengan banyak jalur sanad dalam Musnad juz 22 dan 23, al-Nasa`i dalam al-Sunan juz 5, al-Hakim dalam al-Mustadrak juz 1, al-Darami dalam Sunan juz 1, dan ibn Hibban dalam Shahih juz 1 dengan sedikit perbedaan redaksional, dengan menambah kata syay`an (شيئا) setelah kata ‘anni (عنّي) dan siwa (سوى) untuk menggantikan kata illa (إلا) atau ghair (غير).
[22] Al-Khathib al-Baghdadi, Taqyid al-‘Ilm, Damaskus: t. penerbit, 1949, h. 34.
[23] HR. al-Darimi, dalam Sunan al-Darimi juz 2, h. 35. lihat pula Ajjaj al-Khathib, dalam Ushul al-Hadits. Lihat pula ibn Hajar dalam Fath al-Bari, juz 1, h. 181.
[24] ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash ra. adalah shahabat nabi yang pertama kali memperoleh izin menulis hadits.
[25] Sunan Abi Dawud, juz 10, h. 55, hadits nomor 3161. al-Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang sederhana dan redaksi yang lain pula, yakni dengan kata innaka taktubu (إنك تكتب) untuk menggantikan kata ataktubu (أتكتب), kata yakhruju (يخرج) ditulis dengan kharaja (خرج), dan kata minni (مني) untuk menggantikan kata minhu (منه), serta tidak mencantumkan frase fa awma`a bi ushbu’ihi ila fii (فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ). Lihat Musnad juz 13, h. 259
[26] Sunan al-Tirmidzi, hadits nomor 2591. Menurut Abu ‘Isa, hadits ini adalah Hasan Shahih. Lihat pula Sunan Abi Dawud, hadits nomor 3164 dengan redaksi (matan) yang berbeda. Lihat pula Shahih al-Bukhari, juz 21, h.175.
[27] Shahih al-Bukhari, Kitab al-‘Ilm, h. 193, hadits nomor 10. lihat pula Sunan al-Tirmidzi, juz 9, h. 275, hadits nomor 2592 atau pada juz 12 halaman 329 dengan sanad Qutaibah dari Sufyan ibn ‘Uyainah dari ‘Amr ibn Dinar dari Wahb ibn Munabbih dari Saudaranya (Hammam ibn Munabbih) yang mendengar Abu Hurairah menyampaikan hadits. Lihat pula Musnad Ahmad, juz 15, h. 125, hadits nomor 7084.
[28] Demikian kata Abu Sufyan ibn Harb. Baca Shahih al-Bukhari juz 1, h. 8 dan 88, juz 2, h. 4 dan 79, juz 9, h. 178 dan 374, juz 10, h. 93, 146 dan 439, juz 14, h. 22, juz 18, h. 377, juz 19, h. 290, juz 20, h. 374, juz 22, h. 134, dan juz 23, h. 75.
[29] Mahmud Yunus, ‘Ilm Mushthalah al-Hadits, Jakarta: Sa’diyah Putera, x 1940, h. 5.
[30] M. Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadits, Surabaya: al-Haramain, t.th., h. 200.
[31]Prof. Mushthafa al-A’zami, Studies in Early Hadith, t.kt., t.th., h. 106-116. Baca pula Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Cairo: Maktabah Wahbah, 1963, h. 348-352. ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash adalah shahabat yang pertama kali memperoleh izin menuliskan hadits dari nabi saw.
[32] Mahmud Thahhan, Op. Cit., h. 198. Bandingkan Mustafa Amin, Muhadlarat fi ‘Ulum al-Hadits, Kairo: Jami’ah al-Azhar, 1971, juz I, h. 131.
[33] Lihat al-Ishabah, I., h. 10 dan 220.
[34] Lihat Shahih al-Bukhari, hadits nomer 3377.
[35] Mahmud Thahhan, Op. Cit.., h. 203.
[36]Ibid., h. 200.
[37] Mereka berjumlah 10 Shahabat yang terdiri atas 4 nama dari Khulafa` al-Rasyidin dan 6 orang dari lainnya, yaitu Abu Muhammad Thalhah ibn Ubaidillah ra., al-Zubair ibn al-‘Awwam ra., Abu Ishaq Sa’ad ibn Abi Waqqash ra., Sa’id ibn Zaid ibn ‘Amr ibn Nufail ra., Abdur Rahman ibn ‘Auf al-Zuhri ra., Abu ‘Ubaidah ibn al-Jarrah (‘Amir ibn Abdullah ra.).
[38] M. Thahhan, Op. Cit., h. 198.
[39] Ingat hadits Nabi saw. berikut ini:
أرأيتكم ليلتكم هذه فإن على رأس مأئة لا يبقى على وجه الأرض ممن هو عليها اليوم أحد (رواه البخاري عن ابن عمر)
[40] M. Thahhan, Op. Cit., h. 201.
[41] Ibid. , h. 226.
[42] Lihat pendapat al-Imam Muslim mengenai perbedaan tahun dan kota di atas!
[43] Baca Shahih al-Bukhari, bab al-‘Ilm, hadits comer 66, h. 121. Bandingkan M.M. ‘Imarah, Jawahir al-Bukhari, Indonesia: Dar Ihya` al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th., h. 55.
[44] Lihat tabel Para Muhaddits terkenal pada masa Nabi saw. di halaman 95 dalam bab ini!
[45]Namanya ‘Abdullah ibn Mas’ud ibn Ghafil ibn Habib al-Hudzaili. Ibunya bernama Ummu ‘Abdillah binti Abu Dawud ibn Sau’ah. Ia adalah orang pertama yang berani membaca al-Qur`ân dengan suara nyaring di hadapan kaum Quraisy Makkah.
[46]Namanya Abdur Rahman ibn Sakhr (Abdullah ibn Sakhr) al-Dausi al-Tamimi. Ibunya bernama Maimunah. Sebelum jadi muslim ia bernama Abu Syams. Sejak menjadi muslim ia senantiasa bersama Nabi saw. karena sikapnya itulah ia diberi julukan Abu Hurairah (Ayah Kucing Kecil).
[47]Hasbi as-Shiddiqi menyebutkan angka 5347 untuk Abu Hurairah. Baca Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang Pustaka Rizki Putra, 1999, h. 53.
[48] Anas masuk Islam setelah Nabi saw. menetap di Madinah al-Munawwarah.
[49]Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdir Rahman ibn ‘umar ibn al-Khatthab al-Quraisyi al-‘Adawi. Ia saudara Khafshah, isteri nabi saw. Beliau wafat di Makkah dalam usia 83 tahun.
[50]Nama lengkapnya adalah Abu Tsumamah (Abu Hamzah) Anas ibn Malik ibn Nadzir ibn Dlamdlam al-Najjari al-Anshari. Ia mengikuti perjuangan Rasul selama 10 tahun, wafat di Bashrah dalam usia 100 tahun.
[51]Dia adalah ‘Aisyah binti Abi Bakr al-Shiddiq ra. Ibunya bernama Ummu Ruman binti ‘Amr ibn ‘Umamir al-Kinaniyyah. Dia menerima hadits dari Nabi saw. dan para shahabat, antara lain adalah Umar, Hamzah ibn sl-Aslami, Sa’id ibn Abi Waqqash, dan Fathimah al-Zahra. Di antara shahabat yang meriwayatkan hadits darinya: ‘Amr ibn al-‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari, Zaid ibn Khalib al-Juhani, Abu Hurairah, ibn ‘Umar, Rabi’ah ibn ‘Abbas, Ummu Kultsum (saudaranya) binti Abi Bakr, ‘Auf ibn al-Harits, dan al-Khisim ibn Muhammad. Di antara para tabi’in yang mengambil hadits darinya: Sa’id ibn al-Musayyab, ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn Rabi’ah, ‘Urwah, Mujahid, Mu’adzah al-‘Adawiyyah, dan Nafi’ Maula ibn ‘Umar.
[52]Nama lengkapnya adalah Abu al-‘Abbas ibn ‘Abbas ibn ‘Abdil Muthallib ra. Ibunya bernama Ummu Fadlil Lubabah al-Kubra binti al-Harits al-Hilaliyyah, saudara Maimunah. Ia wafat di Thaif dalam usia 71 tahun, dishalatkan oleh Muhammad ibn Hanafiah.
[53]Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Jabir ibn ‘Abdillah ibn ‘Amr al-Anshari al-Khazraji, pernah mengikuti 21 peperangan, wafat di Madinah dishalatkan oleh Gubernur Madinah Aban ibn ‘Utsman.
[54]Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id Sa’ad ibn Malik ibn Sinan al-Khudri al-Khazraji al-Anshari, wafat dalam usia 86 tahun.
[55] Lihat Shahih Muslim, bab al-Fadlail, hadits nomor 4331
[56] Shahih al-Bukhari, hadits nomer 1454.
[57] ‘Ajjaj al-Khathib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Op. Cit., h. 96.
[58] baca al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam juz II, h. 139. Bandingkan TM. Hasbi ash-Shiddiqi Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putera, 1999, h. 43.
[59] Lihat al-Qurthubi, Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadllih, juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th., h. 64.
[60]‘Ajjaj al-Khathib, al-Sunnah, h. 92.
[61] Keterangan lain menyebutkan, usianya 90 tahun. Baca Mahmud Thahhan, Op. Cit., h. 226.
[62] Lihat misalnya Sunan ibn Majah, juz 7, h. 438, Musnad Ahmad juz 34, h. 311, dan sebagainya.
[63] Ibid., h. 164.
[64]Ibid., h. 210.
[65] M. Thahhan, Op. Cit., h. 172.
[66] Yakni keputusan hukum (fiqh) yang dihasilkan oleh mereka yang secara serius menggunakan hadits sebagai sumber hukum di samping al-Qur`ân.
[67] Shahih al-Bukhari, juz 11, hadits nomor 3377, 3378 dan 3450, Shahih Muslim juz 12, hadits nomor 4599, 4600, 4601, 4602, 4603 dan 4604, Sunan Abu Dawud juz 12, hadits nomor 4038, dan Musnad Ahmad, hadits nomor 6826, 19105 dan 21882, .
[68] Lihat Shahih Muslim, hadits nomor 4604.
[69] Al-Khathib yang dikutip oleh ibn Katsir dalam menjelaskan surat al-Tabah ayat 100 dalam tafsirnya.
[70] Lihat M. Thahhan, Op. Cit., h. 202.
[71] ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, 1979, h. 177.
[72]Muhammad al-Zafzaf, al-Ta’rif bi al-Qur`ân wa al-Hadits, Kuwait: Maktabah al-Falah, 1979, h. 210.
[73] Hasbi al-Shiddiqi, Op. Cit., h. 57.
[74] Syarh Shahih Muslim, I, h. 84.
[75] Lihat Muqaddimah Shahih Muslim.
[76] Lihat Syarh Shahih Muslim, I, h. 82.
[77] Dr. Mahmud Thahhan, h. 203.
[78] Ibid.
[79] Karena sifatnya tersebut sebagian kelompok muslim menyebutnya sebagai Khalifah V setelah Ali ibn Abi Thalib ra.
[80] Mahmud Yunus, Ilmu Mushthalah al-Hadits, Jakarta: al-Sa’diyah, t.th., h. 6. Baca Shahih al-Bukhari, hadits nomor 98 tentang bagaimana ilmu itu diambil oleh Allâh.
[81] Terdapat perbedaan dalam tahun kelahirannya, yakni apakah 91, 93, 94, atau 97? Baca al-Mukhtashar fi Ushul al-Hadits.
[82] Hasbi as-Shiddiqi, Op. Cit., h. 283.
[83] Demikian penulisan tahun yang –insya Allâh, mudah-mudahan-- benar untuk beliau, bukan 150-140 H. sebagaimana tahun yang ditulis menurut catatan DR. Muh. Zuhri dalam Hadits Nabi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997, h., 60. Baca dan bandingkan Hilaluddin Ms., Riwayat Imam Syafi’i , Surabaya: Apollo, 1996, h. 70.
[84] Baca Hasbi as-Shiddiqi, Op. Cit., h. 64.
[85] Ibid., h. 65.
[86] Lihat kembali keterangan pada footnote nomor 76 di atas tentang tahun wafat al-Syafi’i!
[87] Mahmud Yunus, Ilmu Mushthalah al-Hadits, Jakarta: al-Sa’diyah, t.th., h. 6. Baca Shahih al-Bukhari, hadits nomor 98 tentang bagaimana ilmu itu diambil oleh Allâh.
[88] Ibid., h. 69.
[89] Baca Hasbi al-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999, h. 83.
[90] Baca M. Zuhri, Hadits Nabi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997, h. 61. Bandingkan Hasbi as-Shiddiqi, Ibid., h. 69 dan 84.
[91] M. Thhahhan, Op. Cit., h. 39.
[92] Ibid.
[93] Hasbi al-Shiddiqi, Op. Cit,. h. 94.
[94] Baca M. Syakur Sf., ‘Ulum al-Qur`ân, Semarang: PKPI2, 2007, cet. Ke 5, h. 28.

Tidak ada komentar: