Jumat, 20 Juli 2018

Takhrij Hadits



TAKHRIJ AL-HADITS
(Penelitian Hadits dari Segi Sanad)


oleh:  M. Syakur Sf.


(Dosen FAI Universitas Wahid Hasyim Semarang, mahasiswa program Doktor (S3) IAIN Sunan Ampel Surabaya)



A. PENGERTIAN TAKHRIJ AL-HADITS
Al-Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur`ân, karena ia mempunyai peranan penting, terutama sebagi hujjah dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu validitas sebuah hadits harus menjadi perhatian. Hadits memiliki tiga unsur penting, yakni sanad, matan dan perawi.
Sebuah hadits belum dapat ditentukan apakah boleh diterima secara baik ataupun ditolak sebelum diketahui keadaan sanadnya, apakah mereka muttashil ataukah munqathi’. Sanad berperan menentukan nilai hadits, karena sanad adalah matarantai para rawi yang mengantarkan sebuah matan.[1] Sedangkan matan merupakan lafadh yang menunjuk pada kasud sebuah hadits. Dari segi periwayatan, posisi dan kondisi para perawi yang berderet dalam sangat menentukan keadaan sebuah hadits, apakah ia shahih, dla’if atau lainnya. Dengan demikian keadilan, ketsiqahan dan kedlabithan setiap rawi sangat menentukan. Maka penelitian hadits (takhrij al-hadits) pun menjadi sangat perlu untuk menemukan dan menentukan bahwa suatu hadits adalah sahih atau bukan. Secara terminologik, takhrij al-hadits adalah penunjukan sumber asli dari suatu hadits, menjelaskan sanadnya dan menerangkan martabat nilai hadits yang ditakhrij.[2]

Secara harfiah, kata takhrij (تخريج) berasal dari fi’il madli kharraja (خرّج) yang berarti mengeluarkan. Kata tersebut merupakan bentuk imbuhan dari kata dasar khuruj (خروج) yang berasal dari kata kharaja (خرج) yang berarti keluar.[3] Takhrij juga berarti idhhar, ibraz, istinbath, tadrib, dan taujih (اإظهار، إلراز، ستنباط ، تدريب ، توجيح).[4] Secara terminologis, takhrij adalah penunjuk jalan ke tempat letak hadits pada sumber yang orisinil takhrijnya berikut sanadnya, kemudian dijelaskan martabat haditsnya bila diperlukan.[5] Hatim menjelaskan pengertian takhrij sebagai berikut:
عزو الحديث إلى مصادره الأصلية المسندة ، فإن تعذرت فإلى الفرعية المسندة ، فإن تعذرت فإلى الناقلة عنها بأسانيدها ، مع بيان مرتبة الحديث غالباً. [6]
(Mengembalikan hadits ke sumber-sumber aslinya yang akurat. Jika pada aslinya tidak ditemukan, maka dirujukkan pada cabang-cabangnya, dan jika mengalami kesulitan, maka hendaklah dikembalikan pada catatan yang memiliki sanad, serta menjelaskan tingkatan hadits secara umum)

Cendekiawan muslim yang mula-mula melakukan takhrij adalah al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H./ 1070 M.), lalu Musa al-Hazimi al-Syafi’i (w. 584 H./ 1188 M) dengan karyanya berjudul Takhrij al-Ahadits al-Muhadzdzab.[7]

B. MANFAAT ILMU TAKHRIJ
Melihat kondisi hadits dari segi historis sebagai telah dipaparkan pada bab terdahulu, hadits sebagai pusat perhatian mengundang para pemerhati untuk berhati-hati dalam memberlakukannya, karena hadits baru ditulis dan disusun secara resmi pada sekitar abad II H. untuk memperoleh hasil temuan hadits yang dapat dipertanggungjawabkan maka diperlukan sebuah ilmu yang disebut denngan istilah Takhrij al-Hadits. Takhrij sebagai ilmu perlu diketahui oleh setiap orang yang hendak mendapatkan hadits dengan posisinya yang jelas. Di antara manfaat ilmu ini adalah:
1. untuk memilih dan memilah mana hadits shahih dan mana yang tidak shahih;
2. untuk mengetahui mana hadits-hadits yang boleh diamalkan, dan mana hadits yang tidak boleh diamalkan;
3. untuk mengetahui mana hadits-hadits yang bisa diintisarikan hukum darinya, dan mana ang tidak bisa;
4. untuk mengetahui mana hadits yang yang wajib diyakini isinya karena penting, dan mana yang tidak boleh diyakini karena lemahnya atau kepalsuannya;
5. untuk memelihara sunnah dan keberlangsungannya hingga hari kiamat.[8]
C. OBYEK TAKHRIJ
Sebagai sub sistem ilmu pengetahuan takhrij mempunyai obyek kajian. Obyek yang menjadi pusat kajian takhrij adalah sanad dan matan.
Sanad sebagai unsur dari struktur hadits harus diteliti karena di samping banyaknya rijal yang terlibat dalam sanad mengundang kemungkinan untuk belum –untuk menghindari perkataan tidak—bisa diterima haditsnya, secara realistis memang di antara para rijal dalam sanad hadits ada yang belum diketahui, misalnya terdapat unsure sanad yang hanya disebut dengan rajul (رجل) yang menunjukkan sanadnya terjadi missing link atau infishal (انفصال). Matan juga mstia diteliti agar diperoleh keniscayaan bahwa redaksi yang ditemukan benar-benar merupakan hadits. Hal tersebut dilakukan karena berbagai alasan. Di antara satu dari sekian alasannya adalah untuk menghindari pemalsuan hadits.
D. METODE TAKHRIJ DAN CONTOHNYA
Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh orang yang hendak melakukan takhrij. Yaitu:

1. Proses Takhrij
Dalam melakukan penelitian (takhrij) terhadap sebuah hadits seorang peneliti (Mukharrij) hendaknya melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menentukan/ mengetahui periwayat (rawi) hadits, misalnya Ahmad, al-Bukhari, Muslim, dan sebagainya.
b. Mencari hadits yang dimaksud dalam sumber aslinya, misalnya Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal yang dimulai dari penulusuran dalam buku al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Hadits al-Nabawi karya A.J. Winsick (misalnya) untuk mengetahui di mana posisi sebuah hadits yang sesungguhnya.
c. Meneliti sanad. Setelah diketahui sanad sebuah hadits dalam Kitab Musnad, atau referensi lainnya, maka nama-nama yang terdapat dalam matarantai sanad diteliti satu persatu melalui –misalnya– kitab Tahdzib al-Tahzib kaya ibn Hajar al-‘Asqalani untuk diketahui esensi nama dan silsilahnya, sifatnya dan hubungannya dengan perawi lainnya, sehingga ditemukan kesimpulan tentang nama (misalnya Sufyan) sebenarnya, sifatnya, dan sebagainya, hingga keadaan sebuah hadits.
d. Menyimpulkan kwalitas hadits. Dari langkah ketga tadi peneliti dapat menganalisis sebuah hadits, lalu ditentukan statusnya. Jika dimungkinkan, maka dilakukan istinbath hukum darinya.


2. Contoh Takhrij al-Hadits (Tentang Buyu’ / jual beli).
Untuk melakukan praktik takhrij al-hadits sebagai langka-langkah di atas penulis menyajikan contoh untuk meneliti hadits tentang menjual air dari segi sanad dan sistem periwsayatannya. Mula-mula peneliti harus mengetahui siapa rawi hadits tersebut. Seseorang yang menjadi sentral riwayat hadits ini dapat ditelusuri melalui kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Hadits al-Nabawi karya A.J. Winsick (misalnya). Misalnya ditemukan rawinya adalah Ahmad. Maka seorang peneliti hendaknya langsung melihat kitab yang ditulis oleh perawi, yaitu Musnad al-Imam Ahmad. Dari sana peneliti dapat membuktikan dan sekaligus menemukan sebuah hadits yang dicarinya.
a. Hadits yang dicari, yaitu sebagai berikut:
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا سفيان عن عمرو قال أخبرني أبو المنهال سمع إياس ابن عبد المزني وكان من أصحاب النبي صل الله عليه وسلم قال لا تبيعوا الماء فإني سمعت رسول الله صل الله عليه وسلم نهى عن بيع الماء لايدرى عمرو أيّ ماء هو

Hadits tersebut benar tercatat dalam kitab Musnad al-Imam Ahmad Juz IV halaman 138, dengan 6 matarantai perawi (sanad) dari Ahmad ibn Hanbal hingga Iyas yang merupakan seorang sahabat Rasul Allâh saw.

b. Sanad Hadits, yakni ditemukan sebagai berikut:
1. Iyas
2. Abu al-Minhal
3. ‘Amr
4. Sufyan
5. Ahmad ibn Hanbal
6. ‘Abd Allâh ibn Ahmad
Matarantai perawi (sanad) tersebut diperjelas dalam skematika sebagai berikut:
رسول الله
نهى عن …
إياس
أبو المنهال
عمرو
سفيان
أحمد بن حنبل
عبد الله
نحن وغيرنا …













c. Metode Periwayatan Haditas dan Kwalitas Rawi
Dalam menentukan sifat dan martabat hadits peneliti (mukharrij) harus mengetahui nama-nama perawi. Bagaimana kwalitas kepribadian mereka dan bagaimana hubungan mereka dengan perawi sebelumnya? Untuk itu nama-nama perawi dalam mata rantai sanad harus diidentifikasi satu persatu untuk diteliti.
1) Abd Allah
a) Nama dan hidupnya
Yang dimaksud dengan nama ini adalah perawi yang nama lengkapnya adalah ‘Abd Allah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad al-Syaibani, Ayah ‘Abd al-Rahman al-Baqhdadi.[9]
Ia menerima riwayat dari ayah (guru)nya (Ahmad ibn Hanbal), Ibrahim ibn al-Hajjaj al-Syami, Ahmad ibn Mani al-Baghawi dan lainnya.
Ia meriwayatkan pada al-Nasa’i banyak hadits, pada Abu Bakar al-Najjad, Ahmad ibn Kamil, dan lainnya. Ia hidup dalam tahun 213 – 290 H.

b) Komentar ‘Ulama
‘Ulama hadits berkomentar tentang ‘Abd Allâh ibn Ahmad. Diantara komentar mereka adalah sebagai berikut :
1) ‘Abbas al-Duri pernah mendengar dari Ahmad, katanya: “Abd Allâh mempunya banyak ilmu”;
2) Khatami dari Abu Zahra dari Ahmad, katanya : “Ia dikenal dan dicatat sebagai ‘ulama ahli hadits”;
3) Al-Khathib berkata: “Ia adalah kredible (tsiqah), bagus analisisnya”;
4) An Nasa’i berkata : “Ia adalah tsiqah”;
5) Abu Bakr al-Khalal berkata: “Ia adalah lelaki jujur, tegar dan pemalu”;
6) ‘Abd Allah sendiri menyatakan, bahwa apa yang diucapkan adalah setelah didengarnya dari ayahya sebanyak tiga kali.[10]


Berdasarkan pernyataan para kritikus hadits dan ahli hadits serta pengakuannya sendiri tersebut, maka ‘Abd Allâh ibn Ahmad adalah perawi yang salih, pamalu, jujur (shadiq), banyak ilmu, cerdas (kritis). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ia adalah perawi yang tsiqah.


2) Ahmad ibn Hanbal
a) Nama dan hidupnya
Nama Ahmad ibn Hanbal diketahui dari pernyataan ‘Abd Allâh bahwa ia menerima riwayat dari ayahnya. Nama lengkapnya adalah AHMAD ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad al-Syaybani, sebagai ayah bagi ‘Abd Allâh al-Maruzi al-Baghdadi.[11] Ia lahir di Baghdad dan hidup pada tahun 164 – 241 H.
Ia menerima riwayat dari banyak guru, yakni Basyar ibn al-Mufdlal, Isma’il ibn ‘Ilya, SUFYAN ibn ‘Uyayna, Jarir ibn ‘Abd al-Hamid, Yahya ibn Sa’id al-Qathan, Abu Dawud al-Thayalasi, ‘Abd Allah ibn Numair, ‘Abd al-Razzaq, ‘Ali ibn ‘Ayyasy al-Humshi, al-Syafi’i, ghindar, Mu’tamar ibn Sulaiman, dan banyak kelompok.
Riwayatnya disampaikan kepada al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Baqun beserta al Bukhari, Aswad ibn ‘Amir Syadzan, ibn Mahdi, al-Syafi’i, Abu al-Walid, ‘Abd al-Razzaq, Waki’, Yahya ibn Adam, Yazid ibn Harun (mereka adalah gurunya), dan Qutaiba, Dawud ibn ‘Amr, Khalaf ibn Hisyam (mereka adalah lebih tua darinya), dan Ahmad ibn Ubay al-Hawari, Yahya ibn Ma’in, ‘Ali ibn al-Madini, al-Husain ibn Manshur, Ziyad ibn Ayub, Duhaim, Abu Qudama as Sarkhasi, Muhammad ibn Rafi’, Muhammad ibn Yahya ibn Abi Samina (mereka adalah satu kurun dengannya), dan anak-anaknya (‘ABD ALLAH dan Shalih), dan beberapa muridnya seperti Abu Bakr al-Atsram, Harb al-Kirmani, Baqi ibn Mukhallid, Hanbal ibn Ishaq, Syahin ibn al-Samida’, al-Maimuni, dan lainnya.
Orang yang paling akhir meriwayatkan hadits darinya adalah Abu al-Qasim al-Baghawi.

b) Komentar ‘Ulama
Berikut ini adalah komentar yang disampaikan oleh para ahli tentang Ahmad:
1) Ibn Ma’in berkata: “Saya belum melihat orang yang lebih baik daripada Ahmad. Ia tidak pernah membanggakan bangsa Arab”;
2) ‘Arim berkata: “Pada suatu hari saya berkata padanya: ”Hai ayah ‘Abd Allâh, Engkau datang dari Arab”, Jawabnya: “Hai ayah al-Nu’man, kami golongan miskin”;
3) Shalih (puteranya) berkata: “Saya mendengar ayah berkata bahwa ia lahir pada tahun 164 H. di bulan Rabi’ al Awwal”;
4) Ibrahim ibn Syammas berkata: “Saya mendengar waki’ ibn al-Jarrah dan Hafsh ibn Ghayyats berkata bahwa dalam belum ada lelaki yang datang ke Kufa setaraf Ahmad”;
5) Al-Qathan berkata: “Belum pernah ada pemuda yang selevel Ahmad datang kepadaku”;
6) Ahmad ibn Sinan berkata: “Saya tidak pernah melihat Yazid ibn Harun (murid Ahmad) lebih hormat kepada seseorang daripada Ahmad ibn Hanbal”;
7) ‘Abd al-Razzaq berkata: “Saya belum melihat orang yang lebih menguasai hukum agama (Faqih) dan lebih wira’i daripada Ahmad”;
8) Abu ‘Ashim berkata: “Kami belum pernah didatangi orang yang sangat baik fiqhnya daripada Ahmad”;
9) Yahya ibn Adam berkata: “Ahmad adalah imam kita”;
10) Asy-Syafi’i berkata: “Saya meninggalkan Baghdad, dan saya tidak meninggalkan orang yang lebih ahli di bidang fiqh, ahli zuhud, ahli wira’i dan lebih pandai daripada Ahmad ibn Hanbal”;
11) ‘Abd Allâh al-Khuraibi berkata: “Ia adalah orang terbaik di zamannya”;
12) Abu al-Wahid berkata: “Tidak ada orang di dua negeri yang lebih kucinta daripada Ahmad”;
13) Al-‘Abbas al-‘Anbari berkata: “Ia adalah Hujjah”;
14) Ibn al-Madiri berkata: “Tidak ada di antara teman kami yang lebih mampu menghafal hadits daripadanya”;
15) Qutaiba berkata: “Ahmad adalah pemimpin dunia”;
16) Abu ‘Ubaid berkata: “Saya tidak mengetahui orang satu lebel Ahmad dalam Islam”;
17) Yahya ibn Ma’in berkata: “Seandainya kami duduk pada suatu majlis pemujaan tentu kami tidak menyebutkan kelebihannya”;
18) Al-‘Ijli berkata: “Ia tsiqah yang konsisten dalam hal hadits, mensucikan jiwa, sangat memahami hadits, pengikut atsar…”;
19) Abu Tsaur berkata: “Ahmad adalah guru dan pemimpin kami”;
20) Abu Zur’ah ar-Razi berkata: “Ahmad menghafal sejuta hadits, … dan saya mengambilnya beberapa bab”;
21) ‘Abd Allâh berkata: “Ayah senantiasa melakukan shalat 300 raka’at sehari semalam”.[12]
22) Al-Nasa’i berkata: “Ahmad adalah orang yang hafidh (hafal banyak hadits), bertaqwa dan ahli figh.[13]

Berdasarkan komentar diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ahmad ibn Hanbal adalah Tsiqah.


3) Sufyan
a. Nama
Berdasarkan data Ahmad ibn Hanbal, maka yang dimaksud dengan nama Sufyan dalam hadits di atas adalah SUFYAN ibn ‘Uyaina.[14] Nama lengkapnya adalah Sufyan ibn ‘Uyaina ibn Abi ‘Imran Maimun al-Hilali, ayah Muhammad al-Kufi.[15] Ia tinggal di Mekkah.
Ia meriwayatkan hadits dari banyak guru, yakni ‘Abd al-Malik ibn ‘Umair, Abu Ishaq as-Sabi’i, Ziyad ibn ‘Alaqa, al-Aswad ibn Qays, Aban ibn Tughlab, Ibrahim, Musa, Muhammad Bani ‘Uqba, Ishaq ibn ‘Abd Allâh ibn Abi Thalha, Israil Abi Musa, Isma’il ibn Abi Khalid, Isma’il ibn Umaya, Ayub ibn Musa, Ayub ibn Abi Tamima as Sakhtiyani, Yazid ibn Abi Barda, Bayan ibn Basyar, Ja’far al-Shadiq, Jami’ ibn Abi Rasyid, Hamid al-Thawil, Hamid ibn Qays al-A’raj, Zakariya ibn Abi Rasyid, Zaid ibn Aslam, Salim, Abi an-Nadhir, Abi Hazim ibn Dinar, Sulaiman al-Taimi, Sulaiman al-Ahwal, Suma, Suhail, Syabib ibn Ghirqada, Shalih ibn Kisan, Shalih ibn Shalih ibn Hay, Shafwan ibn Salim, Dlamra` ibn Sa’id, ‘Ashim al-Ahwal, ‘Ashim ibn Bahdala ibn Kalib, ‘ABD ALLAH IBN DINAR, Abi al-Zinad, ‘Abd Allâh ibn Thawus, ‘Abd Allâh ibn Abi Husain, ibn Abi Najih, ‘Abd Rabbih, Sa’d, Yahya, ‘Abd ar Rahman ibn al-Qasim, ‘Abd al-‘Aziz, ibn Rafi’, ‘Abd al-Karim Abi Umaya, ‘Abd al Karim al-Jazri, ‘Abd Allâh ibn ‘Umar, ‘Ubaid Allâh ibn Abi Yazid, ‘Ali ibn Zaid ibn Jad’an, ‘Ubaid Allâh ibn ‘Abd Allâh ibn al-Ashamm, ‘Amr ibn Dinar, az-Zuhri, al-‘Ala ibn ‘Abd al-Rahman, ibn ‘Ajlan, Muhammad ibn ‘Amr ibn ‘Alqama, Mathraf ibn Tharif, al-A’masy, Manshur, al-Walid ibn Katsir, Yazid ibn Khushaifa, Abi Ishaq al-Syaibani, Abi Ya’fur al-Shaghir, dan masih banyak lagi.
Dan ia meriwayatkan hadits kepada al-A’masy (juga pernah meriwayatkan hadits kepada Sufayan), ibn Juraij, Syu’ba, ats Tsauri, dan Mas'ar (mereka adalah sekaligus gurunya), Abu Ishaq al-Fazzari, Hammad ibn Zaid, al-Hasan ibn Hay, Hamam dan Abu al-Ahwash, ibn al-Mubarak, Qays ibn al-Rabi’, Abu Mu’awiya, Waki’, Mu’tamar ibn Sulaiman, Yahya ibn Abi Zaida (mereka ini satu masa dengan sufyan dan wafat sebelumnya), Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, ’Abd Allâh ibn Wahab, Yahya al-Qathan, ibn Mahdi, Abu Usamah, Rauh ibn ‘Ubada, al-Faryabi, Abu al-Walid al-Thayyalasi, ‘Abd al-Razzaq, Abu Nu’aim, Abu Ghassan al-Nahdi, AHMAD IBN HANBAL, Yahya ibn Ma’in, ‘Ali ibn al madini, Ishaq ibn Rahawaih, ‘Amr ibn ‘Ali al-Fallas, dua putera Abi Syaiba, Abu Khaitsama, Ahamad ibn Shalih al-Mishri, Ahmad ibn Mani’, Abu Tauba al-Halabi, Abu Ja’far al-Nufaili, Abu Bakr al-Hamidi, ibn Abi ‘Umar al-‘Adani, ‘Ali ibn Hajar, ‘Ali ibn Khasyram, Qutaiba, Abu Musa al-‘Unazi, Harun al-Hammal, Ahmad ibn Syaiban al-Ramli, al-Hasan ibn Muhammad az-Za’farani, az-Zubair ibn Bakr, Muhammad ibn ‘Isa ibn Hibban, Muhammad ibn ‘Ashim al-Ashbihani, dan lainnya.


b. Komentar
Banyak komentar diberikan kepada Sufyan ibn ‘Uyaina, di antaranya adalah:
1) Ibn al Madini berkata: “Sulfan lahir pada tahun 107 H.”;
2) Ibn ‘Uyaina (Sufyan) berkata: “Orang yang pertama kali memberiku sanad adalah Mas'ar”;
3) ‘Ali ibn al-Madini berkata: “Tidak ada murid al-Zuhri yang lebih bertaqwa daripada ibn ‘Uyaina (Sufyan)”. … “Saya mendengar Basyar ibn al-Mufdlal berkata, bahwa tidak ada seorangpun di muka bumi ini yang menyerupai ibn ‘Uyaina”;
4) Al-‘Ijli berkata: “Sufyan adlaah seorang Kufa, tsiqah dalam meriwayatkan hadits, haditsnya hasan, tergolong bijak diantara para pemangku hadits”;
5) Al-Syafi’i berkata: “Seandainya tidak ada Malik dan Sufyan, niscaya ilmu bangsa Hijaz telah musnah”. … “Saya belum melihat seorang manusia yang mempunyai keluasan ilmu sebagai yang dimiliki ibn ‘Uyaina, tidak ada pemuda seramah dia”;
6) ‘Utsman al darimi berkata: “Aku bertanya pad aibn Ma’in: “ibn ‘Uyaina, ‘Amr ibn Dinar, ataukah al-Tsauri yang lebih kau cinta?” Jawabnya: “‘Uyaina sendiri yang lebih tahu”;
7) Ibn Wahb berkata: “Saya belum melihat orang yang lebih mengetahui kitab Allâh daripada ibn ‘Uyaina”;
8) Al-Waqidi berkata: “Sufyan wafat pada hari sabtu pertama di bulan Rajab tahun 198 H.”;
9) Ibn ‘Ammar berkata: “Saya mendengar Yahya ibn Sa’d al-Qathan berkata: “Saksikan, bahwa Sufyan ibn ‘Uyaina meninggal pada tahun 197 H”;
10) Ibn Ma’in al-Razi mengatakan, Harun ibn Ma’ruf berkata: “Sesungguhnya ibn ‘Uyaina inkonsistens”, sedangkan Sulaiman ibn Hazb berkata: “Ibn ‘Uyaina mengalami kesalahan pada umumnya hadits melalui Ayub”;
11) Ahmad berkata: “Saya tidak melihat seorang ahli fiqh yang lebih pandai dalam hal al-Qur`ân dan al-Sunnah daripada Sufyan”;
12) Ibn Sa’ad berkata: “Sufyan itu tsiqah yang konsisten, banyak hadits, dan menjadi Hujjah”;
13) Para huffadh sepakat bahwa Sufyan adalah orang yang lebih konsisten terhadap ‘Amr ibn Dinar.[16] Ibn Hibban berkata: “Sufyan termasuk penghafal hadits yang serius, ahli Wira’i dan ahli agama”.
Berdasarkan uraian di atas, maka Sufyan ibn ‘Uyaina adalah perawi yang tsiqah dan muttashil dengan perawi sesudahnya.
3) ‘Amr
a) Nama dan Nasab
Perawi ini bernama lengkap ‘Amr ibn Dinar al-Makki, ayah Muhammad al-Atsram al-Jumahi Maulahum.[17]
‘Amr menerima riwayat hadits dari banyak guru, yakni ibn ‘Abbas, ibn Zubair, ibn ‘Umar, ibn ‘Amr ibn al-‘Ash, Abu Huraira, Jabir ibn ‘Abd Allâh, Abu al-Thufail, Sa’ib ibn Yazid, Bujala ibn ‘Ubda, Abu al-Sya’tsa Jabir ibn Zaid, al-Hasan ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn Abi Thalib, Abu Shalih as Samman, Wahb ibn Munabbih, Abu Salama ibn ‘Abd al-Rahman, Abu al-‘Abbas al-Sya’ir al-A’ma, Salim ibn Syawwal, Sa’id ibn Abi Barda, Sa’id ibn Jubair, Sa’id ibn al-Zubair, ibn Abi Mulaika, ‘Urwa ibn al-Zubair, ABU AL MINHAL ‘Abd al-Rahman ibn Muth’im, ibn Abi Mulaika, ‘Atha ‘ibn Mina, ‘Atha ibn Yasar, ‘Ikrima, ‘Amr ibn Aus ats Tsaqafi, Kuraib, al-Qa’qa’ ibn Hakim, Muhammad dan Nafi’ (dua putera Jubair ibn Muth’am), Abu Ja’far Muhammad ibn ‘Ali ibn al Husain, al-Zuhri, dan kelompok lainnya.
Dan dari ‘Amr riwayat disampaikan kepada Qatada yang wafat mendahului ‘Amr, Ayyub, ibn Juraij, Ja’far al-Shadiq, Muhammad ibn Juhada, Malik, Syu’ba, Dawud ibn ‘Abd ar-Rahman al-‘Athar, Rauh ibn al-Qasim, Zakaria ibn Ishaq, Salim ibn Hayyan, Sulaiman ibn Katsir, Qurra ibn Khalid, Qays ibn Sa’d al-Makki, Muhammad ibn Muslim, al-Tha’ifi, Mathar al-Waraq, Wuraqa ibn ‘Umar, Hasyim, Abu ‘Uwana, Manshur ibn Zadzan, al-Hammadan (dua nama Hammad), dua nama SUFYAN, dan lainnya.

b) Komentar
Untuk mengetahui siapakah ia kita perlu mencermati beberapa komentar dari para ahli. Antara lain :
1) Muhammad ibn ‘Ali al-Jurjani berkata atas riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, bahwa Syu’ba tidak mampu mengajukan seorang nama kepada ‘Amr ibn Dinar, baik dalam hal hukum maupun lainnya. Demikian pula kata ibn al-Madini dari ibn Mahdi dari Syu’ba;
2) Nu’aim ibn Hammad berkata: “Aku mendengar ibn ‘Uyaina menyebutkan riwayat dari ibn Najih yang menyatakan, bahwa di sini kami tidak mendapati seorang pun yang lebih intelek (ahli Fiqh), dan berilmu lainnya daripada ‘Amr ibn Dinar, termasuk ‘Atha, Mujahid dan Thawus”;
3) Al-Humaidi dan kawan-kawan berkata dari Sufyan: “Saya bertanya kepada Mas'ar, adakah orang yang kau lihat lebih meyakinkan terhadap hadits?” Jawabnya: “ ‘Amr ibn Dinar dan al-Qasim ibn ‘Abd ar Rahman”;
4) ‘Abd ar-Rahman ibn al-Hakam berkata dari ibn ‘Uyaina: “ ‘Amr ibn Dinar menyampaikan riwayat kepada kami, ia seorang tsiqah, tsiqah, tsiqah…”;
5) ‘Ali ibn al-Hasan al-Nasa’i dari ibn ‘Uyaina berkata: “ ‘Amr sakit dijenguk oleh al-Zuhri. Ia berdiri dan berkata: “Saya belum melihat seorang yang lebih hebat dalam hal hadits daripada Syekh yang satu ini”. “… ia tsiqah dan konsisten”;
6) ‘Ali dari al Qathan berkata: “ ‘Amr lebih konsisten bagiku daripada Qatada”;
7) Abu Zur’a dan Abu Hatim: “Ia tsiqah”. Ibn Abi Hatim dari Abu Zur’a berkata: “Saya belum mendengar (riwayat) dari Abi Huraira”;
8) Ibn Hibban: “Ia melebihi 70 orang”;
9) Al-Tirmidzi: “Al-Bukhari menyatakan, bahwa ‘Amr ibn Dinar tidak mendengar dari ibn ‘Abbas sebuah hadits riwayat dari ‘Umar tentang menangis terhadap mayit”;
10) Ibn Hajar: “Ini semua mengindikasikan, bahwa ia seorang mudallis”;
11) Al-Dzakaf: “Apa yang disangkakan kepadanya berupa isu syi’ah (Tasyayyu’) adalah nonsence (bathil)”.[18]

Mayoritas komentator di atas menilai bahwa ‘Amr ibn Dinar adalah perawi tsiqah, terpercaya dan muttashil.
4) Abu al Minhal
a) Nama dan Nasabnya
Yang dimaksud dengan Abu al-Minhal di sini adalah ‘ABD AR-RAHMAN ibn Muth’im al-Bunani, ayah al-Minhal al-Makki.[19] Ia orang Bashra yang pindah ke Makkah.
Abu al-Minhal mengambil riwayat dari ibn ‘Abbas, al-Barra, Zaid ibu Arqam dan IYAS IBN ‘ABD al-Muzni. Dan ia meriwayatkan hadits kepada ‘AMR IBN DINAR, Habib ibn Abi Tsabit, ‘Amir ibn Mash’ab, Sulaiman al-Ahwal, ‘Abd Allâh ibn Katsir al-Qari’, Isma’il ibn Umaya dan Abu al-Tayyah.

b) Komentar
Banyak komentar dialamatkan kepadanya. Antara lain:
1) Abu Zur’a: “Ia orang Makkah dan tsiqah”. Demikian dicatat oleh ibn Hibban;
2) Abu Bakr ibn Abi ‘Ashim: “Ia wafat pada tahun 106 H”;
3) Ibn Hajar: “Abu al-Minhal dianggap tsiqah oleh ibn Ma’in, Dar al-Quthni, al’Ijli dan Abu Hatim.”;
4) Ibn Sa’d: “Ia tsiqah, sedikit hadits”;
5) Al-Bukhari: “Ia dipuji oleh ibn ‘Uyaina (Sufyan)”;
6) Abu al-Tayyah berkata dan meriwayatkan dari al-Minhal al-‘Inzi: “Saya tidak tahu, apakah demikian atau tidak”.[20]
Beberapa komentar tersebut mengisyaratkan bahwa Abu al-Minhal adalah seorang yang tsiqah dalam sanad.

5) Iyas
a. Nama Lengkapnya
Nama lengkapnya adalah Iyas ibn ‘Abd al-Muzanni, ayah ‘Auf.[21] Ia seorang shahabat.
Ia meriwayatkan hadits dai NABI saw., bahwa Nabi melarang penjualan air (haditsnya telah disebut di depan).
Riwayat tersebut dari Iyas diterim oleh ABU AL-MINHAL’Abd al-Rahman ibn Muth’am.

b. Komentar
Tidak banyak komentar yang diberikan kepada Iyas, yaitu:
1) Ibn Hajar: “Dalam al-Mu’jam, al-Baghawi berkata: “Saya tidak mengetahuinya meriwayatkan hadits yang diisnadkan pada lainnya. Hadits yang diriwayatkan darinya adalah Mauquf. Ia adalah kakek ‘Abd Allâh ibn al-Walid ibn ‘Abd ibn Ma’qal ibn Muqrin”.
2) Al-Azdi dan ibn ‘Abd al-Bar: “Riwayatnya hanya diterima oleh ‘Abd al-Rahman ibn Muth’im”.[22]
Komentar yang hanya datang dari dua orang tersebut menilai bahwa Iyas tidak terkenal, bahkan haditsnya dianggap mauquf oleh al-Baqhawi. Namun demikian keadaan tersebut tidak mengurangi nilai dan bobot hadits yang dibawanya karena para rijal lainnya sangat dipercaya.


3. Analisa
Berdasarkan temuan di atas, hadits di atas memiliki sanad yang muttashil dari bawah ke atas. Semua rawi mendapat komentar dari banyak kalangan dan pihak yang menunjukkan bahwa mereka adalah tsiqah, meskipun masih ada sebagian yang memperoleh nilai kurang, yakni Iyas, ia dinilai oleh al-Baghawi bahwa hadits yang dibawanya adalah mauquf. Namun demikian belum ada yang mencelanya. Berikut ini adalah dafat analisis terhadap nama-nama yang terdapat dapat dalam sanad, dan simpulan keadaan para perawi di atas.

NAMA RAWI
Keadaan Sanad
Simpulan
Ittishal
Tidak Tercela
Tidak Asing
‘Adil
Dlabth
‘Abd Allâh bin Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal
ü
ü
ü
ü
Tsiqah
(Ayahku, yakni) Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal
ü
ü
ü
ü
Tsiqah
Sufran ibn ‘Uyaina
ü
ü
ü
ü
Tsiqah
‘Amr ibn Dinar ayah Muhamm
ü
ü
ü
ü
Tsiqah
Abu al-Minhal ‘Abd al-Rahman ibn Muth’im
ü
ü
ü
ü
Tsiqah
Iyas ibn ‘Abd al-Muzanni ayah ‘Auf seorang Shahabat
-
ü
ü
-
Mawquf


Dari uraian di atas dapat diambil simpulan (natijah), bahwa hadits tentang larangan menjual air di atas adalah shahih sanadnya, karena para perawinya adalah muttashil, tidak syadz dan tidak tercela, kecuali Iyas. Dengan demikian, hadits tersebut ditinjau dari segi sistem periwayatan adalah Shahih. Dan dapat dijadikan sumber hukum dalam Islam mengenai Buyu’.
Bahwa takhrij al-hadits yang dilakukan ini hanya terfokus pada sanadnya. Maka hasil akhir dari sebuah penelitian belum bisa maksimal, karena masih bergantung pada bagaimana keadaan matan sebuah hadits. Semoga tulisan singkat ini menjadi bermanfaat. -- MS2F --

[1]Mahmud Thahhan, Tasyir Mushthalah al-Hadits, Surabaya: al Haramain, t.th., h. 16.
[2]Mahmud Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, Libanon Beirut: Dar al-Qur`ân al-Karim, 1976, h. 89.
[3] Baca kamus al-Munawir, 1995, h. 16.
[4] M. Syuhudi Isma’il, Cara Praktis Mencari Hadits, Kota: nbnmbmnb, 1992, h. 41.
[5]Mahmud Thahhan, Op. Cit., h. 12.
[6] Hatim ibn ‘Arif al-Syarif, Al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, juz I, h. 2.
[7] Ibid.
[8] Hatim ibn ‘Arif al-Syarif,, Op. Cit., h. 14.
[9] Ibn Hajar al ‘Asqalani, Tahdzhib at Tahdzib, beirut Libanon : Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1994, juz V, 141.
[10] Ibid,143.
[11] Ibid, juz I, 66.
[12] Ibid, 67
[13] Ibid, 74
[14] Sufyan sebagai guru Ahmad disebut setelah Basyar dan Isma’il. Lihat Ibid, 66.
[15] Ibid., juz IV, 106
[16] Ibid, juz IV, 107-109
[17] Ibid, juz VIII, 25
[18] Ibid, 25-26
[19] Ibid, juz VI, 241
[20] Ibid.
[21] Ibid, juz I, 354
[22] Ibid.,

Klasifikasi Hadits - MS2F

KLASIFIKASI
HADITS
oleh Mahlail Syakur Sf.


Hadits sebagai telah dijelaskan pada bab sebelumnya adalah sumber ajaran Islam, hakikatnya merupakan pendamping bagi al-Qur`ân dengan berbagai fungsinya. Tentu saja dengan posisinya yang demikian menjadikan dirinya tidak memliki status hukum yang sama dengan al-Qur`ân. Jika status hukum bagi al-Qur`ân secara fungsional adalah pasti atau keniscayaan (qath’iyyah al-wurud , قطعيّة الورود), maka status al-Hadits adalah dhanniyyah al-wurud (ظنّيّة الورود), yakni posisi yang masih membutuhkan pertimbangan apakah hadits tersebut telah memenuhi kwalifikasi sebagai hadits mutawatir, shahih, atau belum. Secara umum hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria, yakni atas bermulanya ujung sanad, keutuhan mata rantai sanad, jumlah penutur (periwayat), dan tingkat keaslian hadits (segi dapat diterima atau tidaknya hadits).
Pembahasan pada bab ini difokuskan pada klasifikasi hadits berdasarkan sanad yang mengantarkannya. Untuk me-ngetahui dan menentukan status hadits sekaligus kategorisasi-nya seseorang dapat melakukan identifikasi terhadap sanadnya. Hadits dalam konteks ini dapat dikaji dari dua aspek, yaitu aspek jumlah (kwantitas) sanad dan aspek kwalitasnya sehingga diperoleh pengetahuan tentang status hadits, apakah sebuah hadits dapat diterima sebagai acuan dalam pengambilan keputusan hukum, atau tidak. Kecuali itu pada bab ini akan disajikan pula klasifikasi hadits dari segi lain, yakni apakah ia dapat diterima (maqbul) sebagai dasar pelaksanaan ajaran agama atau harus ditolak (mardud). Segi ini dinamakan dengan terma hadits maqbul dan hadits mardud. Insya Allâh.

A. BERDASARKAN KWANTITAS SANAD
Hadits ditinjau dari segi jumlah perawi yang terdapat dalam sanadnya dapat diklasifikasikan atas dua kategori, yaitu Hadits Mutawatir dan Hadists Ahad.
1. Hadits Mutawatir
Kata Muatawatir pada dasarnya berarti berurutan, berkesinambungan, kontinyu (tatabu’ = تتابع) seperti yang terdapat dalam ungkapan تواتر المطر , maka artinya adalah تتابع نزوله (hujan turun secara kontinyu). Lalu apakah yang dimaksud dengan hadits mutawatir?
Banyak batasan yang diajukan oleh para ahli hadits (muhadditsn) tentang pengertian hadits mutawatir. Namun demikian dapat dipahami bahwa hadits mutawatir (الحديث المتواتر) adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi dalam setiap generasi sanad, mulai awal (shahabat nabi) hingga akhir (perawi, penulis hadits). Ajaj Al-Khathib telah menawarkan definisi tentang hadits mutawatir sebagai berikut:
والخبر المتواتر: ما بلغت رواته في الكثرة مبلغاً أحالت العادة تواطأهم على الكذب، ويدوم هذا فيكون أوله كآخره، ووسطه كطرفيه، كالقرآن، وكالصلوات الخمس.[1]
(Hadits Mutawatir adalah hadits yang oleh para perawinya disampaikan dalam jumlah yang banyak, yang menurut adatnya jumlah tersebut tidak mungkin terjadi kesepakatan untuk berdusta atau pembohongan, antar sesama, dan keadaan ini berlangsung sejak garis sanad pertama hingga garis sanad terakhir, bagian tengahnya seperti bagian akhir, seperti (riwayat tentang) al-Qur`ân dan shalat lima waktu)

Sebagian ahli hadits lainnya juga telah mendefinisikannya dengan ungkapan yang lebih jelas dan lugas, namun mirip definisi al-Khathib di atas, yaitu sebagai berikut:
الحديث المتواتر ما يرويه قوم لا يحصى عددهم ولايتوهّم تواطؤهم على الكذب ويدوم هذا الحدّ فيكون أوله كاخره واخره كأوله ووسطه كطرفيه [2]
(Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak terhitung jumlahnya dan komunitas mereka tidak dimungkinkan atas kedustaan, dan kriteria yang demikian berlangsung terus hingga kondisi generasi awal sama dengan kondisi generasi akhirnya, generasi akhirnya sama dengan generasi awalnya, dan generasi tengahnya sama dengan generasi pinggirnya)
atau dapat dipahami dengan definisi berikut ini.
الحديث المتواتر ما رواه جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكذب عن مثلهم من أول السند إلى منتهاه …
(Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang secara adat tidak mungkin terjadi kesepakatan untuk berdusta antar sesama, sejak garis sanad pertama hingga garis sanad terakhir …)

Dengan memperhatikan beberapa ta’rif tersebut telah jelas bagi kita bahwa Hadits Mutawatir adalah bentuk hadits yang bisa dipertanggungjawabkan keadaannya dari sistem periwayatan karena pada setiap generasi (thabaqat) sanadnya terdapat sejumlah perawi yang tidak mungkin di antara mereka berdusta atau penyelewengan terhadap hadits. Para ahli berbeda pendapat mengenai jumlah minimal para perawi dalam masing-masing level sanad yang meriwatkan hadits mutawatir. Sebagian menetapkan 20 rawi, sebagian lagi menetapkan 40 orang pada setiap generasi sanad.
Para ‘ulama telah sepakat bahwa hadits yang diriwayat-kan secara mutawatir telah dapat meyakinkan penerimanya bahwa haditsnya adalah benar-benar datang dari sumbernya, Rasul Allâh saw. Itulah yang disebut sebagai Qath’iyyah al-Wurud (قطعية الورود). Hadits yang demikian inilah yang memiliki derajat tertinggi dalam proses periwayatan hingga mampu meyakinkan penerimanya. Hadits ini setingkat dalam status dengan al-Qur`ân dari aspek periwayatan, yakni sama-sama secara mutawatir. Namun tetap berada pada urutan kedua setelah al-Qur`ân karena statusnya secara fungsional. Maka para ‘ulama sepakat untuk melaksanakan pesannya; maksudnya adalah jika hadits berisi perintah (amr, أمر) maka harus dikerjakan, dan jika berisi larangan (nahy , نهي) maka ummat Islam harus meninggalkan apa yang dipesankan di dalamnya. Mereka dalam konteks ini memberikan sifat terhadap hadits mutawatir dengan ungkapan Yajibu al-‘amal bihi (يجب العمل به).

a. Klasifikasi Mutawatir
Ditinjau dari segi sifatnya hadits mutawatir dibedakan lagi menjadi dua jenis, yaitu Hadits Mutawatir Lafdhi dan Hadits Mutawatir Ma’nawi sebagai keterangan berikut ini.
1) Mutawatir Lafdhi
Hadits Mutawatir Lafdhi (الحديث المتواتر اللفظيّ) adalah hadits yang secara redaksional adalah mutawatir seperti hadits berikut:
حدثنا علي بن عبد العزيز ، قال : حدثنا خلف بن هشام ، ح وحدثنا محمد بن عبد الله الحضرمي ، قال : حدثنا محمد بن عبيد بن حساب ، قالا : حدثنا أبو عوانة ، عن أبي حصين ، عن أبي صالح عن أبي هريرة غن النبيّ صلى الله عليه وسلم قال: تسمَّوا باسمي ولا تكتنَنوا بكنيتي ومن رآني في المنام فقد رآني فإن الشيطان لايتمثل في صورتي ومن كذب عليّ متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (رواه البخاري)[3]
(…. Riwayat Abu Hurairah ra., nabi saw. bersabda: “Bernamakanlah dirimu dengan namaku dan jangan pakai nama kuniahku. Barangsiapa melihatku dalam mimpi berarti ia (benar-benar) melihatku karena setan tidak mampu meniru bentukku. Barangsiapa mendustakan aku dengan senagaja, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka”)
Hadits tersebut menurut informasi yang kuat diriwayatkan oleh sekitar 200 perawi. Menurut keterangan lain, hadits tersebut mungkin diriwayatkan oleh 40 orang shahabi, mungkin juga oleh 62 orang termasuk 10 orang Shahabat yang dijamin masuk surga,[4] Demikian pula hadits tentang –misalnya-- menyapu Khuffain (mash al-khuffayn, مسح الخفّين) yang diriwayatkan oleh sekitar 70 perawi, dan hadits tentang mengangkat kedua tangan (ketika takbir) dalam shalat yang diriwayatkan oleh sekitar 50 perawi.[5]

2) Mutawatir Ma’nawi
Hadits Mutawatir Ma’nawi (الحديث المتواتر المعنويّ) adalah hadits yang isinya diriwayatkan secara mutawatir dengan bentuk matan yang berbeda-beda. Umumnya hadits mutawatir dalam jenis ini berupa riwayat tentang perilaku nabi terhadap lingkungan, cara nabi saw. mengangkat kedua tangan dalam berdu’a, dan sebagainya.

b. Kriteria Hadits Mutawatir
Sebuah riwayat dikatakan sebagai mutawatir jika telah memenuhi empat kriteria, yaitu:
1) mempunyai jumlah perawi yang banyak;[6]
2) secara umum tidak mungkin terjadi kesepakatan berdusta di antara para perawi;
3) para perawi meriwayatkan hal yang sama dari garis sanad pertama hingga terakhir;
4) hadits yang disampaikan merupakan proses kesaksian dan pendengaran.[7]

Menurut al-Nawawi dalam dalam Syarh Muslim, hadits mutawatir harus merupakan riwayat orang-orang muslim. Riwayat dari orang kafir harus ditolak, kecuali ia telah masuk Islam. Selanjutnya dengan tegas beliau menyatakan:
ولا تقبل رواية كافر وإن عرف بالصدق لعلو منصب الرواية عن الكفار[8]
(Riwayat (dari) orang kafir tidak boleh diterima, meskipun ia diketahui kejujurannya, karena tingginya ring periwayatan melalui orang-orang kafir)

2. Hadits Ahad
Secara harfiah kata âhâd (آحاد) merupakan bentuk jamak dari kata ahad (أحد) yang berarti yang satu, tunggal. Jika dikatakan khabar wahid maka maksudnya adalah khabar atau hadits yang diriwayatkan oleh seorang pribadi (sendiri). Jadi, Hadits Ahad (الحديث الآحاد) adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang saja, atau bahkan oleh sedikit orang, atau seorang saja, dan selanjutnya masing-masing perawi menyampaikan haditsnya kepada seorang, atau dua orang saja. Jumlah perawi yang demikian dalam setiap tahap tidak menjadikan haditsnya terkenal sebagaimana jenis lainnya. Pengertian tentang hadits ahad secara umum dapat diketahui dari definisi sebagai berikut:
الحديث الآحاد هو مالم يجمع شروط المتواتر [9]
(Hadits Ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir)

Hadits Ahad pada umumnya dapat ditemukan dalam kitab-kitab sufistik seperti Ihya` ‘Ulum ad-Din karya al-Ghazali, dan Ta’lim al-Muta’allim karya al-Zarnuji. Kiranya syarat untuk menerima Hadits Ahad tidak cukup bagi kita dengan hanya menggunakan kecerdasan intelektual tetapi juga kecerdasan emosional, bukan saja dengan rasio tetapi juga rasa.
Secara aksiologis, Hadits Ahad bisa diterima dan bisa ditolak adalah tergantung pada kwalitas perawinya dan atau ketersambungan sanadnya, bukan karena jumlah sanad pada setiap generasi. Maka status hadits ini dalam ilmu pengetahuan dikatakan sebagai Dhanniyyah al-Wurud (ظنّيّة الورود) atau sebagai ilmu al-dhan (علم الظنّ), bukan sebagai ilmu al-yaqin (علم اليقين). Meskipun demikian hadits ini tetap bisa dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan ajaran Islam manakala merupakan dhan yang rajih (ظنّ راجح), persangkaan yang kuat, begitu pula sebaliknya. Hadits ini dengan demikian tetap wajib diamalkan isinya jika diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, kredible (tsiqah , ثقة) dan adil.[10]
Oleh karena itu Hadits Ahad tidak digunakan sebagai hujjah dalam hal I’tiqad, keyakinan. Al-Imam Ahmad ra. mempergunakan Hadits Ahad tidak hanya dalam hal ‘amal, tetapi juga hal i'tiqad.[11] Beliau mengimani segala yang diterangkan oleh hadits tanpa memilih dan memilah sebagaimana beliau mengimani segala bentuk keterangan yang ada dalam al-Qur`ân.

a. Klasifikasi Ahad
Hadits Ahad dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu Hadits Masyhur dan Hadits ‘Aziz. Namun demikian menurut madzhab Hanafi, Hadits Masyhur berdiri sendiri, hingga jumlah jenis hadits secara garis besar berdasarkan jumlah sanadnya adalah tiga macam, yaitu Mutawatir, Ahad, dan Masyhur. Baiklah, kita dalam hal ini tidak memperdebatkan jumlah klasifikasi tersebut, tetapi yang lebih penting bagi kita adalah membahas ketiga-tiganya tanpa mengkotak-kotak. Dan pembagian hadits dalam pembahasan ini hanyalah mengikuti persepsi masyarakat pada umumnya.
1) Hadits Masyhur
Secara harfiah kata masyhur berarti terkenal, tersohor. Hadits Masyhur (الحديث المشهور) adalah hadits yang mempunyai dua jalur atau lebih yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap tingkat sanadnya di masing-masing jalur, dan tidak melebihi jumlah sanad untuk periwayatan hadits mutawatir.[12] Hadits Masyhur merupakan jenis Hadits Ahad yang tertinggi derajatnya, kemudian disusul dengan hadits ‘aziz dan hadits gharib.


Klasifikasi Hadits Masyhur
Ditinjau dari segi popularitas hadits masyhur dibedakan menjadi enam kategori, yaitu:
a) Hadits yang masyhur di kalangan para Ahli Hadits (ahl al-hadits, أهل الحديث) secara khusus, yaitu seperti hadits berikut ini yang diriwayatkan melalui salah satu jalur sanad sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا [13]
(…. Sesungguhnya Allâh tidak mengambil ilmu dengan secara langsung dari para hamba, tetapi Dia mengambil ilmu dengan cara mengambil ‘ulama, sehingga jika Dia tidak menyisakan seorang yang berilmu niscaya manusia mengambil pemimpin-pemimpin yang bodoh, sehingga mereka ditanya lalu memberikan fatwa tanpa ilmu. Mereka tersesat dan menyesatkan)

Atau seperti hadits melalui jalur Anas ra. berikut ini:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا بَهْزُ بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ أَخْبَرَنَا أَنَسُ بْنُ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ يَدْعُو عَلَى بَنِي عُصَيَّةَ [14]
(…. Sesungguhnya Rasul Allâh saw. berdo’a qunut selama sebulan setelah ruku’ pada shalat fajar (Shubuh), berdo’a untuk Bani ‘Ushayyah)

b) Hadits yang masyhur di kalangan ahli hadits sendiri dan kalangan lainnya (‘Ulama dan ‘awam), seperti hadits:
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْه [15]
(…. Seorang muslim adalah adalah orang yang berkat lisannya dan tangannya orang-orang Islam (lainnya) merasa selamat, dan seorang muhajir adalah orang yang hijrah dari apa yang telah dilarang oleh Allâh).

c) Hadits yang masyhur di kalangan para Ahli Fiqh (al-Fuqaha`, الفقهاء), seperti hadits:
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ مُعَرِّفِ بْنِ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَبْغَضُ الْحَلالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلاقُ [16]
(…. Sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allâh adalah thalaq)

d) Hadits yang masyhur di kalangan para Ahli Ushul (al-Ushuliyyun, الأصوليّون), misalnya hadits:
رفع عن أمتى الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه [17]
(Kesalahan, lupa, dan apa yang dibenci telah dihilangkan dari umatku)

e) Hadits yang masyhur di kalangan para Ahli Nahwu (al-Nuhah, النحاة), seperti hadits:
عن عمرقال: نِعمَ العبدُ صُهَيبٌ لَولمَ يَخَفِ اللهَ لَمْ يَعصِه [18]
(…. Sebaik-baik seorang hamba adalah Shuhaib. Seandainya ia tidak merasa khawatir kepada Allâh niscaya tidak akan durhaka kepada-Nya)

Hakekat hadits tersebut tidak berasal (tidak jelas) sumbernya, tetapi sangat terkenal di lingkungan para Ahli Nahwu, terutama dalam mencontohkan sebuah ungkapan yang menggunakan kata ni’ma (نعم) dan kata law (لو).

f) Hadits masyhur yang terkenal di kalangan masyarakat umum, yaitu seperti hadits dari jalur Sahl ibn Sa’d ra. berikut ini:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : اَلْعَجَلَةُ مِنَ اَلشَّيْطَانِ (أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَسَنٌ) [19]
(…. Ketergesa-gesaan adalah bagian (dari prilaku) setan). Hadits Riwayat al-Tirmidzi. Katanya: (hadits ini) Hasan.

2) Hadits Aziz
Kata ‘Aziz berarti yang mulia, utama, kuat, dan sangat. Hadits ‘Aziz (الحديث العزيز) adalah hadits yang mempunyai dua jalur sanad, yang masing-masing terdiri atas dua orang rawi pada setiap level sanadnya. Atau dengan kata lain, hadits ‘aziz adalah hadits yang mempunyai dua sistem sanad (isnadan, إسنادان). Demikian ini menurut ibn Hajar.[20] Hadits ini merupakan Hadits Ahad setingkat di bawah derajat Hadits Masyhur dan di atas Hadits Gharib. Contohnya adalah hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ [21]
(…. Tidaklah (sempurna) seseorang di antara kamu beriman hingga aku lebih dicintai daripada orangtuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya)
Hadits tersebut diketahui diriwayatkan oleh Qatadah dan ‘Abdul ‘Aziz ibn Shuhaib melalui jalur Anas ra.. Di sisi lain Syu’bah dan Sa’id juga meriwayatkannya dari Qatadah ra., begitu pula Isma’il ibn ‘Ulayyah dan ‘Abdul Warits meriwayatkannya dari ‘Abdul ‘Aziz, dan dari masing-masing mereka suatu kelompok meriwayatkannya.
Secara rinci sistem isnad hadits tersebut memiliki dua riwayat atau lebih yang tepat dapat digambarkan sebagai berikut:
· Dari Anas hadits diriwayatkan oleh al-Bukhari ra. dan Muslim ra.;
· Dari Anas ra. hadits juga diriwayatkan oleh Qatadah ra. dan ‘Abdul ‘Aziz ibn Shuhaib ra.;
· Dari Qatadah ra. hadits diriwayatkan oleh Syu’bah ra. dan Sa’id ra.;
· Dari ‘Abdul ‘Aziz ibn Shuhaib ra. hadits diriwayatkan oleh Isma’il ibn ‘Ulayyah ra. dan ‘Abdul Warits ra.;
· Dari masing-masing mereka hadits diriwayatkan oleh suatu jama’ah.

3) Hadits Gharib
Gharib berarti asing, lawan dari kata masyhur. Maka Hadits Gharib (الحديث الغريب) adalah hadits yang memiliki dua jalur atau lebih yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada salah satu jalur riwayat, meskipun pada tingkat sanad lainnya terdapat banyak rawi.[22] Inilah jenis Hadits Ahad yang terendah derajatnya. Contohnya adalah hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ [23]
(…. Sesungguhnya segala tindakan itu berdasarkan niat. Dan sesungguhnya masing-masing orang memiliki apa yang telah menjadi niatnya. Barangsiapa hijrahnya bermotif (kebahagiaan) dunia, atau bermotif wanita untuk dinikahinya, niscaya akan mendapati apa yang menjadi niat dalam hijrahnya)

Hadits tersebut diriwayatkan melalui Shahabat ‘Umar ibn al-Khathab ra. seorang diri lalu darinya diriwayatkan haditsnya oleh banyak perawi. Itulah gharib.
Atau bisa jadi hadits gharib adalah hadits yang sanadnya pada level awal terdiri banyak perawi lalu dari mereka haditsnya diriwayatkan oleh perawi seorang diri, seperti hadits berikut ini:
حدثنا محمد بن أبي عمر قال : ثنا معن بن عيسى ، عن مالك بن أنس، عن الزهري ، عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال : إن رسول الله صلى الله عليه وسلم دخل مكة وعلى رأسه المغفر [24]
(…. Sesungguhnya Rasul Allâh memasuki Makkah sementara di atas kepalanya terdapat mighfar)
Mighfar adalah seutas kain yang diikatkan di kepala sebagai dasar surban. Hadits tersebut mula-mula diriwayatkan oleh banyak shahabat, lalu diteruskan oleh orang perorang hingga disebut sebagai hadits gharib.

b. Sifat Hadits Ahad
Ditinjau dari segi sifatntnya sekaligus merupakan tingkatan keabsahannya, bagaimana pun statusnya, maka Hadits Ahad memiliki tiga sifat, yaitu:
1) Shahih
2) Hasan
3) Dla’if.

Uraian tentang ketiga jenis hadits tersebut akan disajikan dalam pembahasan hadits dari aspek kwalitas sanad berikut ini. Namun dalam bab ini perlu diketahui pula bahwa Hadits Ahad mempunyai sisi kekuatan dan kelemahan. Dilihat dari segi ini Hadits Ahad dikategorikan menjadi dua, maqbul dan mardud.
Hadits Ahad yang maqbul (diterima) adalah hadits yang mukhbirnya dapat diandalkan kejujurannya. Hadits ini berhak wajib dijadikan hujjah dan diamalkan. Sedangkan Hadits Ahad yang mardud (ditolak) adalah hadits yang mukhbirnya tidak dapat diandalkan kejujurannya. Hadits yang demikian tidak boleh dijadikan hujjah dan tidak wajib diamalkan.


B. BERDASARKAN KWALITAS SANAD
Klasifikasi hadits sebagaimana uraian di atas belum sepenuhnya menunjukkan apakah haditsnya bisa diterima atau ditolak, tetapi baru terbatas pada kategorisasi awal. Jenis-jenis hadits yang dimaksud di atas akan diterima atau ditolak tergantung pada keadaan sanad dan sifat para rijalnya, bukan karena banyak atau sedikitnya jumlah orang yang berada pada tataran sanad. Dengan kata lain, kwalitas hadits sangat ditentukan oleh kwalitas sanadnya, bukan kwantitasnya.
Ditinjau dari segi kwalitas sanadnya hadits dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dla’if. Ketiga jenis tersebut mungkin sekali berasal dari Hadits Ahad, karena di samping ia masih berstatus dhanni, juga bisa dari jenis lainnya, yaitu Hadits Mutawatir yang telah disepakati oleh para muhadditsun untuk dapat diterima sebagai hujjah secara qath’i . hadits-hadits dalam jenis-jenis tersebut akan dijelaskan pada bab-bab tersendiri, maka dalam bab ini hanya diperkenalkan secara singkat sebagai pengantar.


1. Hadits Shahih
Kata shahih (صحيح) berasal dari kata shahha (صحّ) dan shihhah (صحّة) yang berarti sehat, tidak cacat, lawan kata dari sakit (saqim, سقيم). Dari segi terminologi, Hadits Shahih akan dijelaskan dalam bab tersendiri bersama hadits dla’if dan hadits maudlu’, insya Allâh. Namun sebagai pengenalan awal akan disampaikan secara singkat mengenai Hadits Shahih (الحديث الصحيح) dalam bab ini dengan definisi sebagai berikut:
الحديث الصحيح ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله وسلم من شذوذ وعلّة
(Hadits Shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung proses periwayatan oleh orang yang adil, dan kuat daya ingatnya dari orang yang serupa sifatnya, serta terbebas dari keganjilan dan cacat)


2. Hadits Hasan
Secara harfiah kata hasan berarti bagus. Maka Hadits Hasan (الحديث الحسن) secara istilah didefinisikan sebagai berikut:
الحديث الحسن ما اتصل سنده يرويه غير كامل الثقة
(Hadits Hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang kurang sempurna kredilitasnya)
Definisi tersebut menunjukkan bahwa Hadits Hasan merupakan hadits yang berada pada titik tengah antara Hadits Shahih dan Hadits Dla’if. Status penggunaannya seperti Hadits Shahih meskipun tidak sekuat dia.
Mengingat bab ini hanya mengedepankan klasifikasi hadits dari beberpa aspeknya, maka pembahasan tentang Hadits Hasan selengkapnya akan dituangkan secara khusus dalam bab tersendiri, insya Allâh.
3. Hadits Dla’if
Dla’if (ضعيف) secara harfiah berarti lemah sebagai lawan dari kata kuat (quwwah, قوّة). Adapun yang dimaksud dengan Hadits Dla’if (الحديث الضعيف) adalah sebagaimana rumusan berikut ini:
الحديث الضعيف ما لم يجمع صفة الحسن بفقد شرط من شروطه
(Hadits Dla’if adalah hadits yang tidak memiliki syarat sebagi hadits hasan karena hilangnya sebagian syarat)
Dengan definisi tersebut dapat dipahami bahwa selain hadits shahih dan hadits hasan terdapat hadits dla’if. Tentu saja jumlahnya sebagai bentuk pecahan dari Hadits Dla’if adalah banyak. Dan pembahasan tentangnya selengkapnya akan dituangkan secara khusus dalam bab tersendiri, insya Allâh. Ketiga jenis hadits yang baru saja kita lewati penjelasan definitifnya tadi juga akan dikupas lagi secara detail dalam bab-bab tersendiri ditinjau dari beberapa seginya, insya Allâh.


C. BERDASARKAN MAQBUL DAN MARDUD
Hadits sebagai teks keagamaan yang sampai pada kita telah melewati masa dengan proses yang panjang dengan berbagai ujian, termasuk usaha-usaha pemalsuan dari komunitas tertentu. Oleh karena itu kehadirannya memungkinkan bagi kita untuk bersikap menerima atau menolaknya dengan berbagai alasan. Itulah yang dimaksud dengan hadits diketahui dari segi aksiologi, yakni diterima (maqbul) dan ditolak (mardud). Kata Maqbul (مقبول) secara harfiah berarti “diterima”, dan kata mardud (مردود) berarti “ditolak”. Hadits seluruhnya bisa dilihat dari segi maqbul dan mardud ini. Yang dimaksud dengan Hadits Maqbul (الحديث المقبول) dalam pengertian umum adalah hadits yang berstatus diterima dan disepakati oleh para ahlinya sebagai hujjah. Sedangkan Hadits Mardud (الحديث المردود) adalah hadits yang ditolak, yakni tidak dapat diambil sebagai hujjah dalam penetapan hukum, dan ia wajib diingkari.
1. Hadits Maqbul
Hadits Maqbul adalah hadits yang bisa diterima kehadirannya sebagai landasan beragama, baik dalam hal ibadah maupun mu’amalah. Hadits-hadits yang termasuk dalam jenis ini berdasarkan sifat dan kualitasnya diklasifikasi menjadi empat macam, yaitu:
a. Hadits Shahih;
b. Hadits Hasan;
c. Hadits Shahih li Ghairih;
d. Hadits Hasan li Ghairih;

Hadits Shahih adalah tingkatan hadits maqbul yang tertinggi karena dapat dipertanggungjawabkan validitasnya dari berbagai seginya. Tingkatan kedua adalah Hadits Hasan, yakni hadits yang tidak memiliki syarat sebagai hadits shahih tetapi tidak terlalu rendah derajatnya. Sedangkan Hadits Shahih li Ghairih adalah selaiknya Hadits Hasan tetapi oleh karena sebab lain ia dapat diangkat derajatnya hingga fungsinya seperti Hadits Shahih sebagai sumber hukum karena tidak ditemukannya Hadits Shahih ketika itu. Adapun Hadits Hasan li Ghairih adalah hadits yang semula berstatus sebagai hadits dla’if kemudian naik derajatnya menjadi hadits hasan karena faktor-faktor tertentu yang datang kemudian hingga menjadi-kannya mampu menempati posisi hadits hasan.
Hadits Maqbul mempunyai sifat-sifat yang sekaligus merupakan karakteriktik sebagai berikut, yakni berupa:
a. Hadits Mutawatir;
b. Hadits Ahad yang marfu’, musnad, dan shahih;
c. Hadits Ahad yang marfu’, musnad, dan hasan.
Dengan memperhatikan ciri-ciri di atas maka diketahui bahwa Hadits Maqbul bisa jadi bersifat muhkam (محكم) jika tidak diketahui adanya perselisihan (mukhtalif) dengan hadits lainnya, yakni pesannya wajib diamalkan (wujub al-‘amal bih, وجوب العمل به). Jika terdapat perselisihan di antara hadits-hadits lainnya, maka Hadits Maqbul akan berstatus sebagai Mukhtalif al-Hadits. Dan jika diketahui dalam peselisihan tersebut adanya hadits yang lebih shahih (ashah minhu, أصحّ منه), maka salah satunya dinamakan sebagai Hadits Nasikh dan lainnya dinamakan Hadits Mansukh. Dan jika di antara hadits-hadits tadi tidak diketahui mana yang lebih unggul (arjah) maka ia disebut sebagai Hadits Mutawaqqaf ‘alaih (الحديث المتوقّف عليه), yakni hadits yang ditangguhkan penggunaannya.
Tingkatan Hadits Maqbul
Berdasarkan uraian di atas hadits yang maqbul ditinjau dari segi fungsionalnya dibedakan menjadi dua macam tingkatan, yaitu:
a. Ma’mul Bih (المعمول به), yakni hadits yang seharusnya diamalkan pesan-pesannya (wujub al-‘amal bih, وجوب العمل به), yakni hadits yang mutawatir, shahih, shahih li ghairih, dan hasan;
b. Ghair Ma’mul Bih (غير المعمول به), yaitu hadits yang isinya tidak harus diamalkan, tetapi cukup diambil sebagai sumber informasi, yaitu hadits ahad, dan hadits hasan li ghairih.


2. Hadits Mardud
Dan ditinjau dari segi ditolaknya, maka hadits yang masuk ke dalam jenis ini adalah hadits-hadits yang tidak marfu’, tidak musnad, dan tidak shahih, atau yang bukan hadits marfu’, musnad, dan hasan. Atau dapat dikatakan, bahwa Hadits Mardud adalah hadits yang ditolak karena memiliki ciri-ciri yang sekaligus alasan untuk ditolak antara lain sebagai berikut:
a. sanadnya tidak bersambung, atau munfashil (منفصل);
b. terdapat perawi yang cacat dalam sanad;
c. cacat matannya.

Banyak faktor yang menyebabkan seorang rijal dalam sanad hadits dinyatakan cacat, yaitu sebagai berikut:
a. terlalu lengah;
b. sering salah;
c. menyalahi orang-orang kepercayaan;
d. banyak berprasangka; dan
e. tidak baik hafalnnya.

Hadits Mardud ditinjau dari segi fungsinya tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum karena terdapat banyak kelemahan dan kekurangan di dalamnya. Dan Hadits Dla’if dan berbagai pecahannya secara umum adalah termasuk kategori hadits yang ditolak (hadits mardud). Apa lagi Hadits Palsu (Hadits Maudlu’). Ikutilah pembahasan berikutnya!
Di antara hadits-hadits yang termasuk kategori tidak diterima atau ditolak pada umumnya adalah hadits-hadits yang merupakan cabang hadits dla’if dan hadits maudlu’. Di antaranya sebagai berikut.
a. hadits Mursal
Secara harfiah, mursal berarti diutus, dikirim, dilepaskan. Hadits Mursal (الحديث المرسل) yaitu hadits yang hadits yang disampaikan oleh seorang tabi’in, baik Tabi’in Besar maupun Tabi’in Kecil, tanpa menyebut nama shahabat. Atau dengan definisi sebagai berikut:
ما سقط من آخر إسناده مَن بعدَ التابعيّ
(Yakni hadits yang gugur sanad setelah Tabi’i pada akhir isnad)

Contohnya adalah hadits ibn al-Musayyab yang dapat dilihat dalam bab Hadits Dla’if, insya Allâh.

b. hadits Mu’allaq
secara harfiah, mu’allaq berarti digantung. Hadits Mu’allaq (الحديث المعلّق) yaitu hadits yang perawinya gugur pada awal sistem sanad, baik seorang, dua orang, atau semuanya kecuali seorang shahabi. Contohnya adalah hadits riwayat al-bukhari tentang menutup lutut yang dapat disimak dalam bab Hadits Dla’if.

c. hadits Munqathi’
Munqathi’ secara harfiah berarti terputus. Hadits Munqathi’ (الحديث المنقطع) adalah hadits yang dalam sistem sanadnya terdapat sanad yang terputus di dua fase secara tidak berurutan, misalnya terputusnya sanad pada titik sanad ketiga dan pada titik kelima.
Contoh selengkapnya adalah riwayat ‘Abdur Razzaq yang dapat disimak dalam bab Hadits Dla’if.

d. hadits Mu’dlal
Secara harfiah, kata mu’dlal berarti yang dicelakakan. Maka secara terminologis Hadits Mu’dlal (الحديث المعضل) adalah hadits yang dalam sistem sanadnya terdapat sanad yang terputus di dua fase secara berurutan, misalnya terputus pada titik sanad ketiga dan pada titik keempat. Para muhadditsun mendefinisi-kannya sebagai berikut:
ما سقط من إسناده اثنان فأكثر على التوالي [25]
(Yaitu hadits yang terjadi keguguran dua sanad atau lebih secara berurutan)
Secara jelas contohnya adalah hadits Abu Hurairah ra. yang dapat diperhatikan dalam bab Hadits Dla’if.

e. hadits Matruk
Secara harfiah, kata matruk (متروك) berarti yang ditinggal atau ditinggalkan. Sedangkan yang dimaksud dengannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang tertuduh sebagai pendusta, baik terkait dengan masalah hadits maupun lainnya, atau tertuduh sebagai seorang fasiq, atau karena sering lalai ataupun banyak sangka. Contohnya adalah hadits ‘Amr ibn Syamir al-Kufi al-Syi’i yang dapat disimak dalam bab Hadits Dla’if, insya Allâh.

f. hadits Munkar
Munkar (منكر) secara harfiah berarti diingkari. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang lemah, yang menyalahi riwayat rawi yang tsiqah, atau riwayat yang lebih lemah lagi. Contohnya akan ditampilkan dalam bab Hadits Dla’if.
g. hadits Mu’allal
Secara harfiah, mu’allal (معلّل) berarti yang dicacat. Hadits Mu’allal yaitu hadits yang di dalamnya terdapat sebab-sebab (‘illat) tersembunyi, hal mana sebab-sebab tersebut baru diketahui setelah dilakukan penelitian yang mendalam, dan secara lahiriah hadits tersebut mempunyai cacat. Cacat dalam sanad lebih sering terjadi karena mauquf daripada pada matan. Cacat pada matan adalah seperti hadits tentang tidak adanya bacaan basmalah dalam shalat.
Contohnya dapat disimak dalam bab Hadits Dla’if.

h. hadits Mudltharib
Mudltharrib (مضطرب) secara harfiah berarti tercipta. Dan secara terminologis, Hadits Mudltharrib (الحديث المضطرب) adalah hadits yang riwayatnya atau matannya berlawan-lawanan, baik dilakukan oleh seseorang atau banyak rawi, dengan cara menambah, mengurangi ataupun mengganti. Riwyatnya tidak dapat dianggap kuat salah satunya, demikian pula matannya. Hadits jenis ini dapat diamalkan jika dapat dikompromikan. Dan jika tidak, maka tidak.
Hadits Mudltharib dibedakan menjadi dua, yaitu:
(1) mudltharrib pada sanad;
(2) mudltharrib pada matan.


i. hadits Maqlub
Hadits Maqlub (الحدبث المقلوب) adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang di dalamnya terjadi keterbalikan, yakni mendahulukan bagian belakang, atau membelakangkan yang terdahulu, baik berkenaan dengan sanad maupun matan. Secara harfiah, kata maqlub (مقلوب) berarti dibalik atau terbalikkan. Contohnya akan disajikan dalam bab Hadits Dla’if dengan memperhatikan aspek-aspeknya, insya Allâh, yaitu:
(1) Maqlub pada segi sanad;
(2) Maqlub pada segi matan;

j. hadits Mudraj
Mudraj (مدرج) berarti dimasukkan atau dilesapkan (mudkhal, مدخل). Maka hadits mudraj adalah hadits urutan isnadnya diubah, atau hadits yang telah disisipkan perkataan orang lain ke dalam matannya, baik dari kelompok Shahabi maupun tabi’in, untuk keperluan penjelasan terhadap makna yang dikandungnya. Jika hadits yang demikian masih bisa dideteksi unsur penglesapannya kemudian disingkirkan maka menjadi shahih, tetapi jika sulit disortir maka menjadi dla’if status haditsnya.
Perhatikan contohnya pada bab Hadits Dla’if, insya Allâh!

k. hadits Mudallas
Secara harfiah kata mudallas (مدلّس) berarti menyembunyikan sesuatu yang cacat. Maka secara terminologis hadits mudallas adalah hadits yang disamarkan (ditutupi) unsur cacatnya dalam sanad, dan ditampilkan baiknya. Misalnya seorang rawi menerima banyak hadits dari seorang gurunya lalu ia meriwayatkan sebuah hadits yang tidak diambil dari gurunya tersebut tetapi dinyatakan darinya (demi kebaikan) padahal diambilnya dari gurunya yang lain. Biasanya digunakan kata qala (قال) atau ‘an (عن), bukan kata sami’tu (سمعت) atau haddatsani (حدّثني) hingga –agar terkesan halus, santun-- tidak bisa dikatakan sebagai pendusta (kadzdzab, كذّاب). Contohnya dapat disimak dalam bab Hadits Dla’if.

l. Hadits Maudlu’
Adapun Hadits Maudlu’ (الحديث الموضوع) adalah jelas-jelas ditolak dalam syari’at Islam tanpa syarat. Dengan kata lain, hadits maudlu’ adalah hadits palsu. Pembahasannya secara khusus akan disajikan pada bab tersendiri mendatang, insya Allâh.

D. BERDASARKAN SUMBER HADITS
Hadits yang sampai pada kita memiliki dua kemungkinan jika dilihat dari segi sumbernya. Hadits ada yang disandarkan langsung pada nabi saw. sebagai sumber utamanya, dan ada kemungkinannya hanya berhenti pada seorang shahabat sebagai penyampai informasi pertama, bahkan terkadang hanya bersumber dari seseorang dari generasi tabi’in. Dengan demikian dilihat dari segi ini hadits diklasifikasi menjadi tiga macam, yaitu hadits marfu’, hadits mauquf, dan hadits maqthu’.
1. Hadits Marfu’
Kata marfu’ (مرفوع) secara harfiah berarti diangkat atau terangkat hingga pada posisi yang tinggi. Maka hadits marfu’ (الحديث المرفوع) adalah hadits yang oleh para muhadditsun dinyatakan sebagai hadits yang disandarkan langsung pada nabi saw., baik sanadnya bersambung secara utuh (muttashil) ataupun tidak secara utuh (ghair muttashil), yaikni terdapat sanad yang terputus di dalamnya. Jika kterputusan terjadi pada dua titik atau lebih secara tidak berurutan maka dinamakan hadits munqathi’ (منقطع), dan jika putusnya di dua titik secara berurutan maka disebut dengan istilah hadits mu’dlal (معضل).
Hadits marfu’ biasanya mempunyai ciri adanya pernyataan “Nabi bersabda (قال النبيّ)” atau “Rasul bersabda (قال الرسول)” atau “Rasul berbuat (فعل الرسول)” atau yang serupa. Hadits yang demikian dikatakan sebagai marfu’ karena memiliki sumber pengambilan dari posisi yang tertinggi, yaitu Nabi saw.
Berdasarkan keterangan di atas, maka hadits marfu’ dapat jabarkan menjadi empat kategori hadits, yaitu:
a) Hadits Marfu’ Qawli
Contohnya adalah pernyataan seorang Shahabi atau lainnya bahwa rasul bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كذا ...
(Rasul Allâh saw. bersabda demikian …)

b) Hadits Marfu’ Fi’li
Contohnya adalah pernyataan seorang Shahabi tentang apa yang dikerjakan nabi saw.:
فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم كذا ...
(Rasul Allâh saw. berbuat demikian …)

c) Hadits Marfu’ Taqriri
Contohnya adalah pernyataan seorang Shahabi atau lainnya:
فُعِل بحضرة الرسول صلى الله عليه وسلم كذا ... ولا يروي انكاره لذلك الفعل
(Ada perbuatan yang dilakukan di hadapan (masa) Rasul Allâh saw. demikian … tetapi seorang Shahabi tidak meriwayatkan ketidaksetujuan beliau terhadap perbuatan tersebut)

d) Hadits Marfu’ Washfi
Contohnya adalah pernyataan seorang Shahabi atau lainnya:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس خلقا
(Rasul Allâh saw. adalah sebaik-baik manusia dari segi akhlaq)

2. Hadits Mauquf
Mawquf (موقوف) secara harfiah berarti berhenti atau dihentikan. Maka yang dimaksud dengan hadits mauquf (الحديث الموقوف) adalah hadits yang yang dinyatakan oleh seorang shahabi, baik dengan sistem sanad yang muttashil pada nabi maupun munqathi’. Jadi hadits ini hanya berhenti pada level shahabi sebagai sandaran informasi. Misalnya hadits yang secara umum di dalamnya terdapat pernyataan “’Umar ra. berkata (قال عمر)”.
Contohnya adalah seperti pernyataan seorang perawi:
قال عليّ بن أبي طالب كرّم الله وجهه : حدّثوا الناس بما يعرفون. أتحبون أن يكذَّب اللهُ ورسولُه (رواه البخاري)[26]
(Ali ibn Abi Thalib berkata: “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka mengerti. Apakah kamu mau Allâh dan Rasul-Nya saw. didustakan?”) H.R. al-Bukhari.
Contoh lainnya adalah hadits Abu Hurairah ra.:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا عَمْرٌو قَالَ أَخْبَرَنِي وَهْبُ بْنُ مُنَبِّهٍ عَنْ أَخِيهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّي إِلاّ مَا كَانَ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلا أَكْتُبُ (رواه البخاري) [27]
(….AbHurairah ra. berkata: “Tak seorang pun dari shahabat Nabi saw. yang lebih banyak haditsnya daripada aku kecuali hadits yang dimiliki oleh Abdullah ibn ‘Amr, karena ia menulis sedangkan aku tidak menulis”) H.R. al-Bukhari.

Para ‘Ulama bersilang pendapat dalam penggunaan hadits mauquf. Menurut al-Imam al-Syafi’i dalam Qaul Jadidnya, hadits jenis ini tidak dapat dijadikan hujjah. Jika dijadikan hujjah maka hadits mauquf harus didahulukan atas qiyas dan lazim kita amalkan pesannya, dan kita sekali-kali tidak boleh menyalahinya. Dan jika tidak dinyatakan sebagai hujjah maka boleh mendahulukan qiyas atasnya, dan kita diperbolehkan menyalahinya.[28]

3. Hadits Maqthu’
Kata maqthu’ (مقطوع) berasal dari kata qatha’a (قطع) yang secara harfiah berarti terputus atau diputuskan, yang berlawan kata washala (وصل) dengan arti sampai atau bersambung. Maka yang dimaksud dengan hadits maqthu’ (الحديث المقطوع) adalah hadits yang disandarkan kepada seorang tabi’in atau pengikut tabi’in, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Dikatakan terputus karena sanadnya tidak bersandar langsung pada nabi atau bahkan tidak pada shahabat. Jadi, hadits maqthu’ bisa dikatakan merupakan pernyataan dari generasi tabi’in. Misalanya adalah hadits yang umumnya dinyatakan dengan “ibn al-Musayyab berkata (قال ابن المسيّب)”.
Contohnya adalah seperti pernyataan al-Hasan al-Bashri sebagai seorang tabi’in mengenai pelaksanaan shalat di belakanag (sebagai makmum pada) orang berkebiasaan bid’ah (al-mubtadi’, المبتدع):
صلّ وعليه بدعتُه (رواه البخاري) [29]
(Kerjakanlah shalat, dan menjadi tanggungjawabnya (sikap) bid’ahnya) H.R. al-Bukhari.

Hadits tersebut dilihat dari segi redaksinya dinamakan hadits maqthu’ karena diucapkan oleh seorang tabi’in, yaitu al-Hasan al-Bahsri.

Maqthu’ dan Munqathi’
Secara harfiah dua kata tersebut mempunyai arti yang sama, yakniterputus atau diputus. Tetapi secara terminologis relasional keduanya dapat dibedakan. Terma maqthu’ (مقطوع) dipakai berkenaan dengan matan hadits, apakah materinya bersandar pada nabi atau lainnya, sedangkan terma munqathi’ (منقطع) erat hubungannya dengan sistem sanad atau isnad, yakni keterputusan jalur yang menuju pada nabi saw.. Jika dikatakan sebagai hadits munqathi’ maka maksudnya adalah bahwa sistem sanad hadits tersebut tidak muttashil, tetapi tidak terkait dengan matan.[30] Penjelasan selengkapnya akan dijumpai dalam bab hadits Dla’if, insya Allâh. Sekian, semoga bermanfa’at .
Wa Allâh a’lam bi al-shawâb -- MS2F --


[1]Lihat Al-Mukhtashar fi Ushul al-Hadits, dalam al-Maktabah al-Syamilah, h. 1.
[2] Lihat Hasbi as-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Rizki Putera, 1999, h. 177. Bandingkan dengan Mahmud Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadits, Surabaya: al-Haramain, t.th., h. 19.
[3] Lihat Shahih al-Bukhari, bab al-‘Ilm, h. 189, hadits nomor 107.
[4] Lihat Al-Mukhtashar fi Ushul al-Hadits, bab Aqsam al-Hadits.
[5] Jamaluddin al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits, t. penerbit, t.th., h 146.
[6] Kriteria mengenai jumlah ini bervariasi. Yakni berkisar antara angka 5 dan 10.
[7]Mahmud Yunus, Ilmu Mushthalah al-Hadits, Jakarta: Sa’diyah Putera, t.th., h. 23.
[8] Lihat Jalaluddin al-Qasimi, Op. Cit., juz, h. 123.
[9] Lihat al-Hafidh ibn Hajar, Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th., Nuzhah al-Nadhar, h. 26.
[10] Lihat Al-Ghazali, al-Mushtasyfa, jilid I, h. 93-99.
[11] Hasbi as-Shiddiqi, Op. Cit., h. 182.
[12] Mahmud Thahhan, Op. Cit., h. 23.
[13] Shahih al-Bukhari, juz 1, h. 176. Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, ibn Majah, Ahmad, al-Baihaqi, al-Nasa`i, al-Thabrani, al-Darimi, dan ibn Hibban yang secara umum bersumber riwayat dari ibn ‘Amr ra. sebanyakkan 30 kali, dan juga diriwayatkan melalui jalur ibn ‘Umar, Abu Hurairah, dan ‘Aisyah.
[14] Lihat Shahih Muslim, juz 3, h. 439. Hadits ini juga diriwayatkan oleh banyak perawi seperti al-Bukhari, Abu Dawud, al-Nasa`i, dan Ahmad ra. meski dengan redaksi yang berbeda-beda. Bahkan al-Imam Ahmad menulis hadits tersebut dalam Musnadnya hingga 12 kali.
[15] Shahih al-Bukhari, juz 1, h. 15 dan juz 20, h. 128. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa`i, Imam Ahmad (13 kali riwayat), al-Baihaqi, al-Thabrani (sebanyak 16 kali riwayat), al-Darimi, dan ibn Hibban.
[16] Hadits riwayat Abu Dawud. Lihat Sunan Abu Dawud, juz 2, h. 255, nomor 2178. Dalam sumber lain disebutkan, hadits ini juga diriwayatkan oleh ibn Majah (juz 1, h. 650, nomor 2018), al-Hakim (juz 2, h. 214, nomor 2794), ibn ‘Adi (juz 6, h. 461), al-Thabrani, dan al-Baihaqi (juz 7, h. 322, nomor 14671) melalui jalur ibn ‘Umar. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, dan diakui oleh al-Dzahabi tetapi dengan redaksi yang berbeda, yaitu ما أحَلَّ اللَّهُ تَعَالَىشيئا أَبْغَضُ إِلَيه من الطَّلَاقُ
[17]Hadits ini diriwayatkan oleh al-Thabrani melalui Tsauban (juz 2, h. 97, nomor 1430), dan melalui Umar ra., dan dinilai shahih oleh ibn Hibban dan al-Hakim, tetapi dinilai dla’if oleh al-Haytsami.
[18] Lihat Jami’ al-Ahadits, bab Musnan ‘Umar ibn al-Khatab, h. 491, hadits nomor 31558. Hadits ini dilihat dari segi sumbernya juga dinamakan hadits mawquf karena ‘Umar tidak menyandarkannya pada nabi saw.
[19] Lihat Bulugh al-Maram, h. 76. Hadits ditakhrij oleh al-Tirmidzi, dan dinilai sebagai hadits hasan.
[20] Ibn Hajar, Nukhbah al-Fikr wa Syarhiha, Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th., h. 21 dan 24.
[21]Hadits Riwayat al-Bukhari dan Muslim. Al-Bukhari meriwayatkan-nya dari jalur Abu Hurairah ra. dan Anas ra., sedangkan Imam Muslim ra. dari Anas ra. saja.
[22] Lihat Mahmud Tahhan, Op. Cit., h. 28.
[23] Hadits Riwayat al-Bukhari. Lihat Shahih al-Bukhari, juz 1, h. 3. hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, ibn Majah, ibn al-Jarud, ibn Jarir, al-Thahawi, ibn Hibban, dan al-Dar Quthni.
[24] Hadits Riwayat al-Syaikhan.
[25] Lihat Mahmud Thahhan, Op. Cit., h. 75.
[26]Shahih al-Bukhari, juz I, h. 217, hadits nomor 124. Sanad hadits tersebut adalah al-Bukhari dari ‘Ubaidullah ibn Musa dari Ma’ruf ibn Kharrabudz dari Abu al-Thufail dari Ali kw.
[27]Ibid., hadits nomor 110.
[28] T.M. Hasbi as-Shiddiqie, Op. Cit., h. 172.
[29] Shahih al-Bukhari, juz I, h. 157.
[30] Mahmud Thahhan, Op. Cit., h. 134.

Mengenal al-Qur`an

AL-QUR`ÂN
(Terminologi dan Fungsi)

oleh: MS2F
(Dosen FAI Universitas Wahid Hasyim Semarang, mahasiswa Program Doktor Tafsir-Hadith IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengabdi Pontren Darus Sa’adah Ngembalrejo Kudus)


A. AL-QUR’AN DAN BEBERAPA NAMANYA
Menggagas al-Qur`ân berarti mengajak pembaca untuk memahami wahyu terakhir yang hingga kini masih menuntut perhatian banyak kalangan untuk mengkajinya. Sebagai umat Islam tentu kita telah mengerti dan mengenal wahyu yang diturunkan kepada nabi terakhir, Muhammad saw. ibn ‘Abd Allâh, yakni al-Qur`ân. Namun kita perlu mengenal Iebih dekat lagi akan hakekatriya. Apakah al-Qur`ân itu hanya sekadar bacaan, ataukah juga merupakan pedoman bagi orang beriman, atau bagi seluruh ummat manusia? Bagaimanakah Ia diturunkan? Nama apakah yang sebenarnya paling sesuai baginya? Untuk apa ia diturunkan? Bagaimana kita harus mengetahui dan mempelajarinya? Dan masih banyak soal yang harus dijawab. Tulisan singkat ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan tersebut. Insya Allâh.


1. Pengertian a1-Qur`ân
Ditinjau dari segi bahasa, secara umum diketahui bahwa kata al-Qur’án (القران) berasal dari kata Qara`a (قرأ) yang merupakan isim musytaq dengan bentuk fi’il mudlari’nya adalah yaqra`u (يَقْرأ) dan mashdarnya adalah qirâ`ah (قِراءة) dan qur`ân (قُرْآن) yang dipahami sebagai kata dengan arti bacaan. Kata tersebut juga disinyalir bersinonim dengan kata al-jam’u (اْلجَمْع) dan al-dlammu (الضَمّ) yang berarti “mengumpulkan” atau “kumpulan”. Maka dengan demikian menurut Manna’ al-Qathan, kata qur’ãn pada dasarnya bisa diartikan sebagai mengumpulkan huruf-huruf (ahruf, أَحْرُف) dan kata-kata (alfâdh, أَلْفَاظ) dalam suatu bacaan secara baik. Sedangkan kata al-Qur’ân yang dipakai sebagai nama bagi wahyu terakhir, menurut asalnya adalah searti dengan kata al-qirâ`ah (الْقِراءة), yang merupakan salah satu bentuk mashdar dari kata qara`a (قرأ)[1] yang searti dengan kata tilâwah (تِلاوة).

Di samping itu masih ada lagi bentuk mashdar dari lafadh qara`a ini, yaitu qur` (قُرْءٌ) yang ditulis tanpa alif dan nun yang mengikuti bentuk standar (wazan fi’il) fi’il madli fa’ala (فعل). Dengan demikian kata qara`a mempunyai tiga wazan (bentuk/ shighat) mashdar, yakni Qur`ân (قُرْآن), qirâ`ah (قِراءة) dan qur` (قُرْء). Ketiga wazan tersebut tetap memiliki satu makna, yakni “bacaan”. Lebih lanjut beliau menyatakan. bahwa kata al-Qur’ân merupakan bentuk mashdar yang mempunyai fungsi makna isim maf’ul (yang di ...), sehingga maknanya menjadi “yang dibaca”, “terbaca” atau “bacaan”.

Terhadap kata al-Qur`ân itu sendiri para ‘Ulama masih berbeda pendapat dalam memberikan interpretasi harfiah sebagai keterangan di atas. Di antara mereka yang menjelaskan sebagai berikut adalah:

a. Al-Syafi’i; yang berpendapat bahwa kata al-Qur`ân bukan bentuk isim mahmuz dari kata qara`a (قرأ) sebagai kata-kata lainnya, tetapi merupakan isim ‘âlam yang dikhususkan (spesialisasi) sebagai nama bagi Kalam Allâh yang terakhir untuk nabi sekaligus rasul terakhir.[2] Nama tersebut hanya diperuntukkan bagi al-Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Sehingga dengan demikian kata al-Qur`ân tidak perlu diartikan atau dicari maknanya secara hermeneutik sebagaimana kata Injil yang dijadikan nama bagi Kitab Nabi Isa as. dan Taurat sebagai nama bagi Kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa as. Pendapat ini sesuai dengan riwayat al-Baihaqi dan al-Khathib dalam beberapa keterangan.[3]
b. Al-Farra` (wft. 207 H.) menyatakan, bahwa kata al-Qur’ân yang tidak memakai hamzah itu merupakan kata musytaq (pecahan) dari kata qarã-in (قَرَائِن) yang merupakan bentuk jama’ dari kata qarinah (قَرينة) yang berarti “alasan” atau “bukti” (indikator). Dikatakan demikian karena ayat-ayat dalam al-Qur`ân adalah saling mendukung dan atau saling menjelaskan satu sama lain.[4]
c. Al-Zajjaj (wft 311 H.) menyatakan, bahwa kata al-Qur`ân yang ditulis dan dibaca tanpa hamzah itu hanya karena alasan untuk meringankan bacaan bagi bangsa Arab (ketika itu) atau yang dikenal dengan terma takhfif (تخفيف).[5]
d. Al-Lihyani menyatakan, bahwa kata a1-Qurãn merupakan bentuk mashdar dari kata qara`a (قرأ) sebagaimana bentuk kata rujhãn (رُجْحان) dan ghufrân (غُفْران) yang berfungsi sebagai kata isim dengan fungsi makna sebagai isim maf’ul (اسم مفعول). Maka dengan demikian kata al-Qur`ân mempunyai arti “yang dibaca”, yakni sesuatu yang senantiasa menjadi bacaan bagi siapa pun yang mencintainya, baik dalam shalat maupun lainnya.[6]
e. Al-Asy’ari (wft. 324 H.), seorang ahli dan perintis ilmu Kalam memberikan pandangan bahwa kata al-Qur`ân itu tidak berhamzah, karena kata tersebut merupakan bentuk kata yang musytaq (kata bentukan atau pecahan) dari kata qarana (قَرَن) yang berarti “menggabungkan” atau “membersamakan”. Hal mana al-Qur`ân memang merupakan rangkaian ayat-ayat dan atau surat-surat yang terhimpun dalam satu mushhaf.[7]
f. al-Zarkasyi juga tidak ketinggalan dalam hal mi. Beliau menyatakan bahwa kata al-Qur’ân adalah lafadh musytaq dari kata al-Qar`u (الْقَرْء) yang searti dengan kata al-Jam’u (الجمع), yang berarti “himpunan” atau “kumpulan”. Pengertian ini beliau angkat dari kenyataan, bahwa kebiasaan orang Arab adalah mengucapkan ungkapan قَرَأْتُ اْلمَاءَ ِفي اْلحَوْضِ (Saya mengumpulkan air dalam telaga). Demikian pula halnya yang ada pada kata al-Qur`ân, yang memang merupakan kumpulan isi dan buah dari kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Kecuali itu al-Qurãn juga menghimpun berbagai macam ilmu. Kiranya pemikiran ini sejalan dengan firman Allâh SWT.:
.... مَا فَرَّطْنَا ِفي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ اِلىَ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ (الأنعام: 38)
(.… Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan)

g. Shubhi al-Shalih dalam hal ml hanya memberikan penilalan, bawa pendapat yang paling kuat adalah yang menyatakan bawa kata al-Qur’ân merupakan bentuk mashdar sebagai sinoim dari kata qirâ-`ah (قِراءة) yang berarti bacaan. Beliau menambahkan, bahwa lafadh qara`a (قرأ) yang semakna dengan lafadh talâ - yatlu (تَلَى - يَتْلُو) itu berasal dari bahasa Arami, dan kata tersebut telah dipakai dan menjadi bahasa baku dalam bahasa Arab ketika al-al-Qur`ân diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.. Kemudian kata itu dijadikan nama abadi bagi Kitab Suci umat Islam.

Di samping pendapat-pendapat di atas dalam al-Qur`án sendiri terdapat ayat-ayat yang menyebutkan kata al-Qurân dengan arti “bacaan”. Misalnya pada ayat berikut ini:
فَاِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ ... (القيامة: 18)
(Apabila Kami te!ah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.). (al-Qiyamah:18)

#sŒÎ)ur ˜Ìè% ãb#uäöà)ø9$# (#qãèÏJtGó™$$sù ¼çms9 (#qçFÅÁRr&ur öNä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇËÉÍÈ
(Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat) (al-A’raf: 204)


Maksud ayat tersebut adalah jika dibacakan al-Qur`ân maka kita diwajibkan mendengar dan memperhatikan sambil berdiam diri, baik dalam sembahyang maupun di luar sembahyang, terkecuali dalam shalat berjamaah ma'mum boleh membaca Al Faatihah sendiri waktu imam membaca ayat-ayat Al Quran. Baca pula ayat berikut ini!

.... وَلاَ تَجْعَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ اَنْ يُقْضَى اِلَيْكَ وَحْيُهُ ...
(طه: 114)
(…. dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur`ân sebelum disempurnakan mewahyukan kepadamu ...).


Adapun secara terminologis, pengertian al-Qur`ân adalah sebagai disebutkan berikut ini.
a. Menurut Ali al-Shabuni (wft. 1390 H.), al-Qur`ân adalah kalam Allâh yang bernilai mu’jizat yang diturunkan kepada nabi terakhir (Khâtam al-anbiyâ` = خاتم الأنبياء) dengan perantara Malaikat Jibril as. yang tertulis pada Mushhaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan bacaannya termasuk ibadah, yang diawali dengan surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nas.[8]
b. Al-Suyuthi menerangkan, bahwa al-Qur`ãn adalah kalam Allâh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang tidak ditandingi oleh penentangnya walau hanya sekadar berupa satu surat.
c. Menurut Manna’ al-Qathan, al-Qur`ân adalah kalam Allâh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang bacaannya dianggap sebagai ibadah.[9]
d. Menurut Kamaluddin Marzuki, al-Qur`än adalah kalam Allâh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang bacaannya adalah bernilai ibadah, yang susunan kata dan isinya merupakan mu’jizat, termaktub dalam suatu Mushhaf dan dinukil secara mutawatir.[10]
e. Drs. H. Basrah Lubis menulis, bahwa ai-Qur`ân adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan perantara Malaikat Jibril as. dan sebagal pedoman hidup bagi umat manusia.[11]
f. Menurut para ahil Ushul Fiqh, al-Qur`ãn adalah nama bagi keseluruhan al-Qur`ân dan nama bagi suku-sukunya. Maka dengan demikian satu ayat pun darinya bisa disebut al-Qur`ãn.
g. Para Ahli Kalam memberikan batasan al-Qur`ân dengan menyatakan, bahwa al-Qur`ãn adalah kalam azali yang menetap pada zat Allâh yang senantiasa bergerak (tak pernah diam) dan tak pernah ditimpa musibah.
h. Para ahli agama (Ahli Ushul) berpendapat, bahwa al-Qur`ãn adalah nama bagi kalam Allâh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang ditulis dalam Mushhaf.
i. Ikhtlshar penulis, al-Qur`ân adalah Kalam Allâh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai rasul terakhir di akhir zaman, (ada yang) melalui Malaikat Jibril as. yang dalam bentuknya sekarang termaktub dengan jelas dalam Mushhaf ‘Utsmani dengan menggunakan bahasa Arab, keseluruhannya merupakan mu’jizat, yang sampai pada kita selaku umatnya dengan jalan mutawatir, jika dibaca maka bacaannya dinilai ibadah, baik dalam shalat maupun lainnya, dan dihukum kafir orang yang mengingkarinya. Dengan demikian secara sederhana dapat dirumuskan bahwa ciri al-Qur`ân adalah:

1) Kalam Allâh (كلام الله)
2) Diturunkan kepada Nabi Muhammad (المنزل على محمد)
3) Dengan (tidak semua) peraritara Jibril as.
4) Menggunakan (sesuai) bahasa Arab (بلسان عربيّ)
5) Merupakan mu’jizat (المعجز)
6) Bacaannya dinilai ibadah (المتعبد بتلاوته)
7) Berdasarkan rlwayat mutawatir (المتواتر)


Dengan memperhatikan beberapa definisi di atas, maka kita pun telah sampai pada pemahaman bahwa kalam Allâh yang diturunkan kepada para nabi selain Nabi Muhammad saw. tidak dapat disebut sebagal al-Qur`ân. Begitu pula firman (kalam) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. tetapi membacanya tidak termasuk kategori ibadah, maka ia bukan al-Qur`ân, tetapi hanya disebut sebagai Hadits Qudsi.


2. Nama-nama Al-Qurân
Wahyu Allâh yang diturunkan sebagai kitab terakhir diberi nama yang termasyhur, yakni al-Qur`ân yang berarti “bacaan” sebagaimana keterangan di atas. Nama-nama lain yang dimllikinya cukup banyak. Antara lain adalah:

a. Al-Kitab (الكتاب) atau Kitab Allâh yang berarti “catatan” sebagaimana disebut dalam surat al-Baqarah ayat 2:

ذلك الكتاب لاريب فيه ... (البقرة: 2)
(Kitab (al-Qur`ân) ini tidak ada keraguan padanya …)
Dan dalam surat al-An’ãm ayat 114 Allâh SWT. menyebutnya dengan nama tersebut:
.... وهو الذي انزل اليكم الكتاب مفصّلا ... (الأنعام: 114)
(…. Padahal Dia-lah yang telah menurunkan al-Kitab (al-Qur`ân) kepadamu dengan terperinci ..).

b. Al-Furqan (الفرقان) yang berarti “pembeda” (antara yang baik dan buruk) sebagai tersurat dalam firman Allâh berikut ini:

تبارك الذي نزّل الفرقان على عبده ... (الفرقان: 1)
(Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqâi, kepada hombaNya …). (a!-Furqan : 1)

c. Al-Dzikr (الذكر) yang berarti ”peringatan” sebagai yang tercantum dalam firman Allâh berikut ini:

انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحافظون (الحجر: 9)
(Sesungguhnya Kami-lah yang menunrnkan al-Dzikr dan sesungguhnya Kami benar-benar menliharanya).

d. Al-Qur`ãn (القران) yang berarti “bacaan” dan merupakan salah satu nama bagi kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Nama lnilah yang paling terkenal dan dikenal baginya, serta paling sering disebut dalam al-Qur`ân itu sendiri. Paling tidak sebanyak limapuluh kali kata ini disebut dalam al-Qur`ân. Di antara pemakaian kata al-Qur`ân sebagai salah satu nama bagi Wahyu terakhir adalah tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 185:

شهر رمضان الذي انزل فيه القران ... (البقرة: 185)
(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qurân …).

Dalam surat al-Hijr ayat 87 juga terdapat kata al-Qur’ân:

ولقد اتيناك سبعا من المثاني والقران العظيم (الحجر:87)
(Dan .sesungguhnyaKami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur`ân yang agung)


Selanjutnya mengenai penggunaan kata al-Qur`ân sebagal nama bagi Kitab al-Qurân tersebut dapat diperhatikan dalam ayat-ayat berikut ini. Yakni ayat 88 surat al-lsrã, ayat 2 surat Thâhâ, ayat 6 surat al-Naml, ayat 29 surat al-Ahqaf, ayat 77 surat al-Waqi’ah, ayat 21 surat al-Hasyr dan ayat 23 surat al-Dahr.

e. Al-Tanzil (التنزيل) yang berarti “yang diturunkan”,[12]12 sebagai tersebut dalam surat al-Syu’arã ayat 192:

وانه لتنزيل رب العالمين (الشعراء: 192)
(Dan sesungguhnya al-Qur`ân itu benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam).


Di samping nama-nama di atas masih banyak nama yang diberikan kepada al-Qur`ân, seperti mushhhaf, kalam, dan sebagainya. Menurut al-Zarkasyi, Abu al-Ma’ali al-’Azizi ibn ‘Abd al-Malik bahkan menjelaskan bahwa al-Qur`ãn mempunyai 55 nama.[13]
B. KEDUDUKAN AL-QUR’AN DAN FUNGSINYA BAGI KEHIDU PAN MAN USIA

Muhammad ibn ‘Abd Allâh saw. diangkat sebagai rasul dilengkapi dengan tugas-tugas yang disertai dengan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaannya. Petunjuk-petunjuk tersebut secara lengkap termuat dalam al-Qur`ân. sebagai alat untuk memahami dan menerima ajaran Islam. Agama Islam mengajak manusia agar menjadi umat pilihan, yakni umat yang sempurna lahir-batin, mampu berrkomunikasi dengan Tuhannya dan dengan sesamanya, juga dirinya sendiri. Oleh karena itu manusia berhajat kepada hal-hal yang sangat bermanfa’at bagi kehidupannya. Dan sebagai umat Islam, al-Qur`ânlah yang perlu mendapat perhatian dalam kehidupan mereka.


1. Kedudukan al-Qur’án
Sebagai wahyu terakhir al-Qur`ân mempunyai banyak kedudukan bagi kehidupah manusia. Antara lain adalah:

a. Sebagai sumber dari segala sumber hukum Islam; bahwa al-Qur`ân merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Hal ini didasari oleh firman Allâh:

اِنَّا نَزَّلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ ِبمَآ اَرَـكَ الله ُ ... (النساء: 105)
(Sesungguhnya Kami telah rnenurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allâh wahyukan kepadamu ..)

b. Sebagai pedoman dan petunjuk bagi kehidupan manusia. Allâh berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 185:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي اُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ ...
(البقرة: 185)
(Beberapa hari yang ditentukan itu íalah) bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya dlturunkan ‘pemulaan al-Qur`ân sebagai petunjuk bagi manusia…)

Dalam ayat lain Allâh berfirman:
اِنَّ هذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلِّتِي هِيَ اَقْوَمُ ... (الإسراء: 9)
(Sesungguhnya al-Qur`ân ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus. (al-Isrâ : 9)

c. Sebagai nasehat, obat, hidayah dan rahmat bagi orang-orang beriman, sebagai difirmankan oleh Allâh berikut ini:

يَآاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَآءٌ ِلمَا ِفي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَْحمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ... (يونس: 57)
(Hal manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan obat penawar bagi penyakit (yang berada) dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang bariman …

d. Sebagai penyampai berita gembira bagi orang-orang beriman. Berkaitan dengan hal ini Allâh berfirman:

.... وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ (البقرة: 97)
(…. dan menjadi petunjuk seita beita gembira bagi orang-orang yang beriman). (al-Baqarah : 97)

Baca pula surat al-Naml ayat 2, al-Nahl ayat 89 dan 102, al-Ahqaf ayat 12, Yunus ayat 64, al-Zumar ayat 17, dan sebagainya.

e. Sebagai penawar hati (Syifa’ = شفاء) bagi crang yanç rnembaca dan mempe!jarl islnya hingga mendapat ketenangar den ketenteraman. Skala rasionalnya adalah bahwa orang yang membaca ayat-ayat berarti ia mengadakan komunikasi dengan Allâh. Berkomunikasi dengan Allâh SWT. disebut dengan terma dzikr. Dan selalu berdzikir kepada Allâh SWT. telah dijanjikan akan mendapat ketenangan hati, insya Allâh.[14] Keterangan selanjutnya dapat dibaca surat al-Ra’d ayat 28:
.... اَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ... (الرعد: 28)
(…. lngatlah, hanya dengan mengingat Allâh-lah hati menjadi tenterarn ...)


2. Fungsi al-Qur`ân
Keberadaan al-Qur`ân sebagai wahyu terakhir mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai berikut:

a. untuk membenarkan atau menjadi saksi kebenaran (mushaddiq = مصدّق) bagi kitab-kitab sebelumnya. Misalnya dalam keterangan firman Allah:
ونزّل عليك الكتاب بالحقّ مصدّقا لما بين يديه وانزل التورـة والانجيل ... (النساء: 105)
(Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur`ân) kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kitab-kitab yang teleh diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan lnjil …)

b. untuk menjadi tuntunan (imam) bagi umat yang beriman sebagai layaknya Taurat menjadi imam sekaligus rahmat bagi pengikut Nabi Musa as. Keterangan ini tersebut dalam firman Allâh pada surat Hud ayat 17 sebagai berikut:
افمن كان على بيّنة من ربِّه ويتلوه شاهد منه ومن قبله كتاب موسى اماما ورحمة ... (هود : 17)
(Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang mempunai bukti yang nyata (al-Qur`ân) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allâh, dansebelum al-Qur`ân itu itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat? …)


c. untuk menjadi cahaya (nur) yang mampu menerangi kegelapan alam pikir manusia hingga mereka mampu melihat kebenaran dan menyingkirkan kebatilan. Fungsi ini tersurat dalam surat al-Nisa` ayat 174:
..... وانزلنآ اليكم نورا مبينا (النساء : 174)
(…. dan telah Kami turunkan kepaadamu cahaya yang terang benderang (al-Qur`ân)

d. untuk menegur dan memperingatkan manusia agar senantiasa berada pada jalan yang tidak sesat demi menggapai kebahagiaan yang haqiqi, yaitu surga. Fungsi ini sesuai dengan salah satu nama al-Qur`ân, yakni al-Dzikr (الذكر). Bacalah surat al-Ra’d ayat 28, atau surat al-Hijr ayat 9.

e. Untuk memberi dan menyampaikan berita kepada manusia, bahwa setelah kematian ada kehidupan yang abadi. Siapa pun yang berbuat kebajikan di dunia, maka ia niscaya akan memperoleh kesenangan di akhirat, dan barangsiapa berlaku jahat di dunia, niscaya ia akan memperoleh kesengsaraan di akhirat kelak. Fungsi ini dikenal dengan istilah basyir dan nadzir (بشير ونذير). Surat Fushilat ayat 3 dan 4 menjelaskan demikian:
(Kitab yangdijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan ….)


Demikian sedikit uraian tentang al-Qur`ân ditinjau dari segi harfiah, maupun terminologis relasional. Semoga bermanfa’at bagi orang yang hendak mengenal dan memahami maknanya, dan mengambil nilai dan makna aplikatifnya dalam kehidupan sehari-hari untuk menggapai kesempurnaan hidup di dunia maupun kebahagiaan di akhirat.

Wa Allâhu a’lam bi al-shawâb