Senin, 11 Februari 2008

Hadits Shahih / MS2F

HADITS SHAHIH
Kriteria Penerimaan Hadits
oleh: Drs. M. Syakur Sf., M.Ag.
(Dosen FAI Universitas Wahid Hasyim Semarang, Mahasiswa Program Doktor (S3) IAIN Sunan Ampel Surabaya)

Pada bab sebelum ini telah diketengahkan klasifikasi hadits yang pembahasannya secara singkat dan selintas telah menyangkut hadits shahih, hadits dla’if, dan hadits hasan. Ketiga jenis hadits tersebut diketahui pada dasarnya terbentuk dari dua segi, yakni segi kwantitas sanad dan segi kualitas sanad. Dan kedua segi tersebut sama-sama bermuara dari satu aspek hadits, yakni sanad. Kecuali tiga jenis tersebut juga ada Hadits Maudlu’ sebagai jenis lain. Dan masing-masing akan dibahas dalam bab tersendiri, insya Allâh.

A. PENGERTIAN HADITS SHAHIH DAN KRITERIANYA
1. Pengertian
Kata shahih (صحيح) berasal dari kata shahha (صحّ) dan shihhah (صحّة) yang berarti sehat, tidak cacat, lawan kata dari sakit (saqim, سقيم). Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa suatu hadits dinyatakan sebagai shahih jika hadits yang dimaksud adalah valid sumbernya, dapat dipertanggung-jawabkan validitasnya. Secara umum Hadits Shahih (الحديث الصحيح) dipahami dengan definisi sebagai berikut:
الحديث الصحيح ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله وسلم من شذوذ وعلّة
(Hadits Shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung proses periwayatan oleh orang yang adil, dan kuat daya ingatnya dari orang yang serupa sifatnya, serta terbebas dari keganjilan dan cacat)
Dr. Mahmud Thahhan menawarkan definisi Hadits Shahih yang agak mirip dengan definisi di atas, yakni sebagai berikut:
الحديث الصحيح ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ ولا علّة [1]
(Hadits Shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung proses periwayatan oleh orang yang adil, dan kuat daya ingatnya dari orang (sana) yang serupa sifatnya hingga akhir sanad terakhir tanpa keganjilan dan cacat)

Menurut ibn al-Shalah, definisinya sebagai berikut:
فهو الحديث المسند، الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذا، ولا معللاً [2]
(Hadits Shahih adalah hadits musnad, yakni hadits yang sanadnya bersambung dengan proses periwayatan oleh orang yang adil, dan dlabit melalui orang yang adil dan dlabith hingga akhir sanad, tidak syadz, dan tidak pula cacat)
Dengan memperhatikan beberapa definisi di atas, maka hadits shahih diketahui memiliki sifat-sifat yang jauh dari sifat mursal, munqathi’, mu’dlal, syadz, dan jarh. Kiranya hadits yang demikian telah menjadi kesepakatan umum di kalangan Ahli Hadits untuk bisa dijadikan hujjah dalam agama dan diamalkan isinya. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan keshahihan (validitas) suatu hadits masih diperdebatkan oleh mereka karena perbedaan tingkat validitasnya, atau karena perbedaan dalam menentukan kriteria. Maka muncul banyak terma seperti hadits shahih, atau hadits ghair shahih.
Jika dikatakan hadza hadits shahih (هذا حدبث صحيح), maka yang dimaksudkan adalah bahwa hadits yang diriwayatkan adalah hadits yang sanadnya bersambung (muttashil) dan memiliki sifat-sifat sebagai tersebut dalam definisi di atas. Dan jika dikatakan hadza ghair shahih (الحديث غير الصحيح), maka maksudnya adalah sesungguhnya haditsnya tidak pasti, karena –mungkin—sanadnya tidak bersambung (muttashil), terdapat rijal dalam sanad yang berdusta, atau pun karena faktor lainnya.
Syekh Umar ibn Futuh penulis buku Mandhumah al-Baiquni fi ‘Ilm Mushthalah al-Hadits menilai Hadits Shahih sebagai hadits yang tertinggi nilai validitasnya. Hingga dengan demikian beliau meletakkannya pada urutan pertama dalam pembahasan jenis-jenis hadits, yaitu melalui gubahannya sebagai berikut:
أولها الصحيح وهو ما اتصل * اسناده ولم يشذ ولم يعل
يرويه عدل ضابط عن مثله * معتمد في ضبطه ونقلـه
(Jenis pertama adalah Hadits Shahih, yaitu hadits yang sanadnya bersambung, matannya tidak aneh dan tidak pula cacat, yang diriwayatkan oleh orang yang adil, dan yang dlabit dari orang yang serupa, serta daya ingat dan pola periwayatannya mendapat pengakuan)

2. Kriteria Hadits Shahih
Berdasarkan beberapa definisi yang terpapar di atas dapat ditarik sebuah simpulan mengenai kriteria hadits shahih yang sekaligus menjadi cirinya, bahwa hadits akan dinilai valid (shahih) jika telah memenuhi lima kriteria sebagai berikut:
a. Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad, اتّصال السند);
b. Diriwayatkan oleh perawi yang bersifat adil (‘adalah al-ruwah, عدالة الرواة);
c. Para perawinya bersifat dlabith, sangat kuat hafalan (daya ingatnya) (dlabth al-ruwah, ضبط الرواة);
d. Tidak memiliki cacat dan cela (‘adam al-‘illah, عدم العلّة atau ghair al-mu’allal, غير المعلّل ), baik dalam sanad maupun matannya;
e. Tidak ada keganjilan (‘adam al-syudzudz, عدم الشذوذ atau ghair al-syudzudz, غير الشذوذ), terutama dari segi matan.

Jika salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi, maka haditsnya tidak dapat dikatakan sebagai hadits shahih, tetapi mungkin menjadi hasan atau dla’if, bahkan maudlu’.
Yang dimaksud dengan sanad bersambung (ittishal al-sanad, اتّصال السند) adalah pertalian atau rangkaian sanad dari nabi hingga sanad terakhir atau perawi (pengumpul hadits) itu bersambung (muttashil, متّصل), tidak terjadi keguguran atau tidak terputus (ghair munqathi’). Masing-masing rijal dalam sanad dipastikan telah mendengarkan sendiri suatu hadits dari gurunya. Hal tersebut dapat diketahui melalui kata-kata yang lazim dipergunakan oleh para perawi dalam meriwayatkan haditsnya, seperti kata akhbarana (أخبرنا), haddatsana (حدّثنا), dan sami’tu (سمعت), atau adanya kata sambung yang dipergunakan oleh perawi terakhir dalam menerangkan haditsnya, yakni seperti kata sambung ‘an (عن) atau min (من).[3] Hadits yang sanadnya terjadi keterputusan (inqitha’) maka statusnya turun menjadi beberapa macam hadits, seperti Hadits Munqathi’, Hadits Mu’allaq, Hadits Mu’adlal, dan Hadits Mursal.
a. I Syarat ittishal sanad
Dalam menentukan syarat ketersambungan sanad (ittishaliyyah sanad) Imam Muslim berbeda dengan al-Bukhari. Menurut al-Bukhari ra., sanad hadits dikatakan muttashil jika di antara perawi yang terdekat (murid dan gurunya) adalah para rijal yang pernah bertemu langsung (muwajahah, مواجهة) meskipun hanya sekali selama hidupnya. Guru dan murid hidup dalam satu masa (mu’asharah, معاصرة) sekaligus bertemu (liqa`, لقاء). Beliau juga menyatakan, “Aku tidak memasukkan dalam al-Jami’ kecuali hadits yang shahih”.[4] Dengan meletakkan bengunan riwayat dengan syarat yang begitu ketat maka kitabnya oleh para ulama diposisikan sebagai Kitab Hadits yang paling shahih setelah al-Qur`ân.[5]
Sedangkan menurut al-Imam Muslim ra., sanad hadits dikatakan muttashil apabila di antara para rijal pernah hidup dalam satu masa (mu’asharah), dan tidak harus terjadi pertemuan (ijtima’, اجتماع) antara perawi (الراوي) dan orang yang diambil riwayatnya (marwi ‘anh, المروي عنه) sebagai layaknya guru dan murid.[6]
Yang dimaksud dengan sifat ‘adil (عادل) dalam hal ini adalah sifat-sifat yang positif dalam hal riwayat, yakni sebagai muslim, sudah baligh, tidak pernah melakukan dosa besar maupun dosa kecil (fasiq), dan menjaga kepribadian (muru`ah = مروءة, ‘iffah = عفّة) dari kebiasaan yang dianggap bernuansa kurang laik, baik secara etik maupun estetik, baik secara moral maupun sosial, seperti kebiasaan makan di pinggir jalan atau di warung umum, kebiasaan tidak menutup kepala, dan sebagainya. Maka orang yang bersifat kafir, fasiq, gila, dan tidak terkenal (majhul) tidak bisa disebut sebagai seorang yang adil, [7] hingga riwayatnya tertolak (mardudah al-riwayah, مردودة الرواية).
Yang dimaksud dengan sifat dlabith (ضابط) bagi perawi dalam kaitan ini adalah kepemilikan seseorang akan daya ingat yang kuat, tingkat auditasnya tinggi, sekira apa yang didengar dari orang lain adalah benar-benar terekam dalam memorinya dan siap direproduksi sewaktu-waktu. Dengan demikian seorang pelupa (mughaffal, مغفّل) dan sering salah dalam menyampaikan kata-kata atau informasi lain akan gugur validitas riwayatnya secara automatis meskipun ia telah diketahui sebagai seorang perawi yang jujur dan adil.

b. Klasifikasi Dlabith
Kriteria dlabith dibedakan menjadi dua, yaitu dlabith fi al-shadr dan dlabith fi al-kitab.
1) Dlabith fi al-shadr (ضابط في الصدر); adalah akurasi cara periwayatan dalam memori ingatan, periwayatan dengan mengandalkan hafalan, bukan lewat tulisan. Cara ini merupakan karakteristik sekaligus kebiasaan bagi kebanyakan bangsa Arab.
2) Dlabith fi al-kitab (ضابط في الكتاب); yaitu akurasi cara periwayatan melalui teks. Sifat ini merupakan wujud ketelitian dan kejelian seorang rijal dalam meriwayatkan hadits kepada lainnya.

c. Cara Mengetahui ke-dlabith-an Rawi
Para Muhadditsun telah memberikan keterangan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai perawi yang dlabith apabila ia diketahui mempunyai beberapa indikator sebagai berikut:
1) adanya kesaksian para ‘ulama; atau
2) adanya relevansi riwayatnya dengan riwayat ‘ulama lainnya yang telah dikenal sebagai Muhaddits Dlabith.

Terkumpulnya dua sifat ‘adil dan dlabith tersebut merupakan wujud sifat tsiqah (ثقة), yakni sifat dapat dipercaya, diakui, kredibel, mendapat pengakuan dari khalayak.
Hadits Shahih pasti tidak terdapat cacat (‘adam al-‘illat, عدم العلّة) di dalamnya. Maksudnya adalah bahwa haditsnya yang diriwayatkan tidak diketahui cacat isinya maupun lafadhnya. Sifat ini terkadang dikatakan dengan sebutan ghair mu’allal (غير معلّل). Dan kebalikan dari sifat cacat (‘illah, علّة ) adalah sifat sehat (shihhah, صحّة). Keduanya pasti berlawanan.
Dan yang dimaksud dengan ungkapan tidak syadz atau tidak syudzdudz (‘adam al-syudzudz, عدم الشذوذ atau ghair al-syudzudz, غير الشذوذ ) adalah bahwa perawi hadits maupun hadits yang diriwayatkan tidak dinilai janggal atau aneh oleh para perawi lainnya. Kriteria inilah yang disebut dengan terma ghair al-syudzudz (غير الشذوذ). Sifat ini merupakan kebalikan dari makna kata tsiqah (ثقة) yang berarti terpercaya, mantap, credible.
Dengan memperhatikan elaborasi tentang hadits shahih di atas, maka apabila diketahui salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi, hilang, maka hadits yang tersampai pada kita tidak dapat dikatakan sebagai hadits shahih, menjadi merupakan hadits dengan kemungkinan sifat-sifat lainnya.
Berikut ini adalah contoh Hadits Shahih yang telah memenuhi kriteria sebagaimana keterangan di atas.:
البخاري: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ [8]
Setelah diteliti secara seksama dengan memperhatikan aspek-aspek yang ada, maka menurut banyak sumber hadits tersebut diketahui sebagai Hadits Shahih koleksi al-Imam al-Bukhari ra., karena didapati indikator sebagai berikut:
a. sanadnya bersambung (muttashil), indikatornya adalah adanya unsur ‘an’anah (عنعنة), yakni menggunakan perangkat huruf ‘an (عن) atau min (من) sebagai alat penyambung antar perawi, yang berarti melalui atau dari;
b. para perawinya adalah dlabith dan ‘adil berdasarkan penilaian para ‘ulama, berupa para rijal ternama, yaitu:
1) Abdullah adalah terpercaya (tsiqah);
2) Malik adalah ibn Anas, seorang penghafal hadits (al-Hafidh);
3) Ibn Syihab al-Zuhri adalah seorang ahli fiqh kenamaan, dan ­al-Hafidh,
4) Muhammad ibn Jubair adalah tsiqah;
5) Jubair ibn Muth’im adalah seorang shahabi yang juga terkenal di bidang hadits.
c. Tidak memiliki indikasi syadz, karena tidak ada riwayat lain yang lebih kuat;
d. Tidak ada cacat (‘illah), baik dari aspek sanad maupun matan.

B. TINGKATAN HADITS SHAHIH
Hadits Shahih dapat ditemukan dengan mengetahuinya dari segi sistem sanad (isnad, اسناد). Dari isnad kashahihan sebuah dapat diketahui tingkatannya. Para muhadditsun telah mengklasifikasi tingkatan validitas hadits berdasarkan sistem sanad menjadi tiga, yaitu:
1. tingkatan tertinggi (a’la al-maratibah, أعلى المرتبة); yakni hadits shahih yang diriwayatkan dengan sistem sanad (isnad) yang paling valid (ashah, ), seperti isnad Malik dari Nafi’ dari ibn ‘Umar.
2. tingkatan menengah (al-rutbah al-mutawassithah, الرتبة المتوسّطة), yaitu hadits yang mempunyai sistem sanad di bawah standar isnad tingkat pertama, seperti riwayat shahih dengan isnad Hammad ibn Salamah dari Tsabit dari Anas.
3. tingkatan rendah (al-rutbah al-sufla, الرتبة السفلى), yaitu hadits yang mempunyai sistem sanad yang bersifat tsiqah tingkat rendah, seperti hadits shahih yang diriwayatkan oleh Suhail ibn Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.

Sedangkan ditinjau dari segi rawi terakhir atau mukhrij, para muhadditsun telah membuat kriteria keshahihahn hadits terhadap apa yang mereka lakukan. Tokoh hadits yang telah memilih dan memilah hadits shahih dari yang lain pada mulanya adalah al-Bukhari ra.[9] dan Muslim ra.[10] Kedua koleksinya merupakan buku referensi yang valid setelah al-Qur`ân, dan keduanya telah disepakati untuk diterima sebagai sumber hukum Islam.[11] Demikian penjelasan menurut jumhur ‘ulama kecuali Abu Ali al-Naisaburi Syaikh al-Hakim dan sekelompok ‘ulama dari bagian barat.
Dan apa yang dilakukan oleh al-Bukhari adalah lebih shahih (ashahh, أصحّ) daripada Imam Muslim, bahkan lainnya, dengan cukup banyak alasan. Di antara banyak alasan yang diajukan oleh sebagian ‘ulama dalam hal ini adalah:
a. Hadits-hadits yang dikoleksi oleh al-Bukhari lebih kuat dan akurat ketersambungan sanadnya, dan para perawinya lebih terpercaya (kredibel, awtsaq, أوثق );
b. Dalam koleksi al-Bukhari terdapat bentuk-bentuk istinbath hukum istinbath hukum (al-istinbath al-fiqhi, الاستنباط الفقهيّ) yang tidak ditemukan dalam Shahih Muslim.
Dan secara berurutan tingkatan hadits shahih dilihat dari segi siapa perawinya (rawi) dapat diketahui melalui buku-buku koleksi hadits yang shahih sebagai berikut:
a. Hasil kesepakatan al-Imam al-Bukhari ra. dan al-Imam Muslim ra.;[12]
b. Hasil koleksi al-Imam al-Bukhari ra.;
c. Hasil koleksi Imam Muslim ra.;
d. Seluruh hadits yang yang telah memenuhi kriteria yang ditawarkan oleh keduanya tetapi belum ditakhrij;
e. Seluruh hadits yang memenuhi kriteria al-Bukhari ra. tetapi belum ditakhrij;
f. Seluruh hadits yang memenuhi kriteria Imam Muslim ra. tetapi belum ditakhrij; dan
g. Seluruh hadits yang dinilai shahih oleh selain al-Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, yakni oleh para imam seperti ibn Khuzaimah dan ibn Hibban berdasarkan ketentuan yang belum disyaratkan oleh keduanya.[13]
Jika ada hadits yang dinyatakan dengan muttafaq ‘alaih (متفق عليه), maka maksudnya adalah bahwa hadits tersebut telah memenuhi ketentuan yang disepakati oleh dua Syaikh (al-Syaikhan = الشيخان), al-Bukhari dan Muslim ra., atas kashahihan hadits. Keterangan tentang hadits shahih dan buku-buku tentangnya juga didapati pula dalam bab Kodifiksi Hadits terdahulu. Sekian.
Wa Allâh a’lam bi al-shawâb
[1] Mahmud Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, Surabaya: al-Haramain, t.th., h. 34.
[2] Baca Muqaddimah ibn Shalah, bab Ma’rifah al-Shahih min al-Hadits.
[3] ‘an (عن) berarti dari, melalui. Dan min (من) berarti dari. Tetapi keduanya sering lebih berfungsi dengan makna dari daripada dengan makna melalui.
[4] ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, h. 313.
[5] Ibid., h. 314.
[6] Ibid., h. 316.
[7] Muhammad ibn ‘Alawi al-Maliki, al-Qawa’id al-Asasiyyah fi ‘Ilm Mushthalah al-Hadits, Jakarta: Dinamika Berkah, 1397 H., h. 22.
[8] Baca Shahh al-Bukhari, hadits nomer 723.
[9] Beliau mengoleksi 7275 hadits yang diulang-ulang, dan setelah dibuang pengulangannya menjadi sekitar empat ribu hadits. Demikan menurut ibn al-Shalah.
[10] Beliau mengoleksi 12000 hadits yang diulang-ulang, dan yang dibuang sekitar empat ribu hadits.
[11] Mahmud Thahhan,.Op. cit, h. 37.
[12] Menurut al-Imam al-Dahlawi, Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim telah disepakati oleh para muhadditsun bahwa hadits-hadits yang muttashil dan marfu’ di dalamnya adalah shahih secara qath’i. Lihat Ajjaj al-Khathib, Op. Cit., h. 317.
[13] Ibn al-Shalah, Ushul al-Hadits, h. 1. Lihat pula Mahmud Thahhan, Op. Cit., h. 44.

Epistemologi hadits MS2F


‘ULUM AL-HADITS
(Tinjauan Epistemologis)
oleh: Drs. M. Syakur Sf., M.Ag.

(Dosen FAI Universitas Wahid Hasyim Semarang, Mahasiswa Program Doktor (S3) IAIN Sunan Ampel Surabaya)

A. PENGERTIAN DAN SEJARAHNYA
Secara sederhana dapat dipahami, bahwa yang dimaksud dengan ‘Ulum al-Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas hadits dari berbagai aspeknya. Menurut ‘Izzuddin ibn Jama’ah, ‘Ulum al-Hadits adalah ilmu yang membahas tentang dasar-dasar yang dipergunakan untuk mengetahui keadaan sanad, dan matan dengan tujuan untuk mengetahui status hadits apakah shahih atau tidak.[1] Pembahasan mengenai ‘ulum al-hadits erat sekali hubungannya dengan pembahasan ‘ilmu mushthalah hadits (علم مصطلح الحديث), bahkan terkadang berbarengan pembahasannya karena keduanya sulit dipisahkan. Ilmu ini terkadang juga disebut sebagai ‘ilmu ushul al-hadits karena pembahasannya terkait dengan prinsip-prinsip ilmu hadits.
Secara epistemologis, banyak ilmu yang muncul dengan menjadikan hadits sebagai obyek kajian. Secara struktural hadits merupakan bangunan yang terdiri atas sanad, matan dan rawi. Masing-masing elemen membutuhkan ilmu untuk mengkajinya hingga muncul banyak jenis ilmu, yang menurut al-Suyuthi adalah tidak terhitung, dan menurut al-Hazimi adalah 100 macam ilmu.[2]
Dengan demikian kajian hadits ini lebih tepat dikenal dengan istilah ‘Ulum al-Hadits (علوم الحديث) dalam bentuk jama’ (plural) yang berarti beberapa ilmu tentang hadits, daripada terma ‘Ilm al-Hadits (علم الحديث) dalam bentuk tunggal (singular) yang hanya berarti ilmu tentang hadits. Adapun yang dimaksud dengan ‘ilmu mushthalah hadits adalah ilmu yang membahas tentang terma-terma yang dijadikan sebagai alat yang dipergunakan untuk membahas hadits hingga diketahui kondisi dan statusnya. Dengan ini dapat dimengerti bahwa secara sepihak ‘ilmu mushthalah hadits adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ‘Ulum al-Hadits. Keduanya niscaya berlaku secara integrated dan korelatif.
Dalam sejarah tercatat bahwa ‘ulama yang pertama merumuskan ‘Ulum al-Hadits atau ‘Ilm al-Mushthalah adalah al-Qadli Abu Muhammad al-Hasan ibn Abdurrahman ibn Khallad al-Ramahurmuzi (265-360 H.) yang menyusun buku dengan judul al-Muhaddits al-Fâshil bayn al-Râwi wa al-Wâ’i (المحدث الفاصل بين الراوى والواعى) meskipun belum begitu lengkap,[3] namun cukup representatif karena sebelumnya ‘ulum al-hadits masih bercampur dengan ilmu-ilmu lainnya seperti yang tercantum dalam al-Umm karya al-Imam al-Syafi’i ra. (150-204 H.). Kemudian disusul oleh al-Hakim Abu ‘Abdillah al-Naisaburi yang diikuti oleh Abu Na’im al-Ashbihani. ibn Hajar juga telah menyusun sebuah risalah dengan judul Nukhbah al-Fikr fi Mushthalah Ahl al-Atsar (نخبة الفكر في مصطلح أهل الأثر). Generasi berikutnya adalah Ahmad al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H.) yang tidak tertinggal dalam perintisan ‘Ulum al-Hadits dengan menyusun buku tentang rawi berjudul al-Kifayah (الكفاية), dan tentang adab muhaddits dengan judul al-Jami’ li Adab al-Syaikh wa al-Sami’ (الجامع لأداب الشيخ والسامع).[4] Ibn al-Shalah juga berpartisipasi dengan menyusun buku yang terkenal dengan judul Muqaddimah ibn al-Shalah (مقدّمة ابن الصلاح).
Berikut ini saya perkenalkan beberapa di bidang ‘Ulum al-Hadits pada masa awal hingga akhir abad IV H. yang pada umumnya dikenal sebagai Ushul al-Hadits.
1. Al-Risalah karya al-Imam al-Syafi’i (150-204 H); kitab pada dasarnya berbicara tentang ushul al-Fiqh, tetapi realitasnya juga membicarakan aspek-aspek ilmu keislaman lainnya, termasuk ‘ulum al-hadits, misalnya membahas syarat kesahihan hadits, keadilan perawi, dan sebagai sebagainya;[5]
2. Ushul al-Sunnah dan Madzahib al-Muhadditsin karya al-Imam ‘Ali ibn Abdullah al-Madini (161-234 H.);
3. al-Shahih karya al-Imam Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi (204-261 H.); Kitab ini di samping merupakan koleksi hadits juga hal ushul al-hadits yang dibicarakan pada muqaddimah kitab ini;
4. Ma’rifah al-Muttashil min al-Hadits, al-Mursal wa al-Maqthu’, dan Bayan al-Thariq al-Shahihah karya al-Imam al-Hafidh Abu Bakar Ahmad ibn Harun ibn Ruj al-Bardiji (w. 203 H.);
5. al-Muhaddits al-Fâshil bayn al-Râwi wa al-Wâ’i karya al-Qadli al-Muhaddits Abu Muhammad al-Hasan ibn Abdirrahman ibn Khallad al-Ramahurmuzi (265-360 H.); kitab ini dikenal sebagai kitab yang paling awal berbicara tentang ushul al-hadits secara komprehensif.
6. Sunan al-Tahdits karya al-Hafidh al-Mu’ammar Abu al-Fadll Shalih ibn Ahmad ibn Muhammad al-Tamimi al-hamadani al-Simsar (w. 384 H.);
7. Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits karya Abu Abdillah ibn Muhammad ibn Abdillah ibn Hamdawaih al-Naisaburi al-Hakim (321-405 H.); Menurut ibn Hajar kitab ini membahas 52 macam ilmu hadits mskipun belum tertib;
8. al-Tamhid lima fi al-Muwatha` min al-Ma’ani wa al-Asanid karya al-Imim al-Hafidh Abu ‘Umar Yusuf ibn ‘Abdillah ibn Muhammad ibn ‘Abdil Bar al-Namari al-Qurthubi (368-463 H.); Dalam kitab ini termuat prinsip-prinsip ushul al-hadits dalam pendahuluan;
9. al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah karya al-Hafidh al-Mu`arrikh Abu Bakar Ahmad ibn ‘Ali ibn Tsabit al-Baghdadi (392-463 H.); Kitab ini masih terkenal dan menjadi referensi ‘ulum al-hadits hingga kini. Beliau juga menulis al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’ dan Syaraf Ashhab al-Hadits
10. al-Alma’ ila Ma’rifah Ushul al-Riwayah wa Taqyid a-Sima’ karya al-Qadli al-Hafidh Abu al-Fadll ‘Iyadl ibn Musa ibn ‘Iyadl al-Yahshi al-Sabi (476-544 H.); kitab ini sangat terkenal pasca al-Baghdadi;


B. KLASIFIKASI ‘ULUM AL-HADITS
Secara umum ilmu hadits bermuara pada dua hal, yaitu sanad dan matan. Keduanya akan diketahui dan diteliti dari berbagai aspek hingga melahirkan beberapa ilmu seperti ilmu Rijal al-Hadits, Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, Ilmu Gharib al-Hadits, Ilmu Asbab Wurud, ilmu Tawarikh Mutun, ilmu al-Nasikh wa Mansukhuhu, ilmu Mukhtalif al-Hadits, dan ilmu ‘Ilal al-Hadits.
Maka para ‘ulama hadits mengklasifikasi ‘ulum al-hadits menjadi dua, yaitu ‘ilmu al-hadits bi al-riwayah dan ‘ilmu al-hadits bi al-dirayah.
1. Ilmu Hadits Riwayat
Kata riwayat (رواية) atau yang ditulis dengan kata riwayah berasal dari kata rawa (روى) yang mempunyai bentuk mudlari’ yarwi (يروي) dengan arti menceritakan, menyampaikan, mengantarkan. Maka ilmu ini mengkaji proses atau bentuk periwayatan dari awal hingga akhir, lalu diketahui apakah suatu hadits memiliki sanad yang terhubung hingga sumbernya, atau memiliki sanad yang terputus, hingga dapat diketahui sifat hadits, apakah valid atau invalid.
Para ahli hadits (Muhadditsun, محدّثون)mendefinisikan Ilmu Hadits Riwayah secara terminologis sebagai berikut:
علم الحديث رواية هو علم يبحث فيه عن كيفية اتصال الحديث بالرسول صلى الله عليه وسلم من حيث أحوال رواته ضبطا وعدالة ومن حيث كيفية السند اتصالا وانقطاعا ونحو ذلك
(Ilmu Hadits Riwayah: ilmu yang di dalamnya dibahas tentang cara persambungan hadits dengan Rasul saw., yaitu mengenai keadaan para perawinya, baik kedlabitannya maupun keadilannya, dan tentang bagaimana mekanisme sanad, baik secara muttashi maupun munqathi’, dan sebagainya)


Atau secara singkat Ilmu Hadits Riwayah didefinisikan sebagai berikut:
علم الحديث رواية هو علم يعرف به أقوال النبي صلى الله عليه وسلم وأفعاله وتقريراته وصفاته صلى الله عليه وسلم [6]
(Ilmu Hadits Riwayah: ilmu yang digunakan untuk mengetahui ucapan-ucapan nabi saw., perbuatannya, ketetapannya, dan sifat-sifatnya)

Atau dengan formulasi definisi yang lain sebagai berikut:
علم يشتمل على نقل ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه وسلم قولا أو فعلا أو تقريرا أو صفة
(Ilmu yang meliputi proses pemindahan apa-apa yang disandarkan pada Nabi saw., baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat)
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ilmu hadits riwayat adalah ilmu hadits yang berobyek pada pribadi Rasul saw. dari aspek ucapan, perbuatan, sifat dan ketetapannya, dan sistem periwayatan, atau tentang isnad. Dengan ilmu ini seseorang diharapkan mampu mengetahui apakah sebuah hadits adalah shahih atau lainnya jika telah diketahui apakah sanadnya muttashil atau tidak, apakah sanadnya dlabit atau tidak, dan sebagainya.
Orang yang pertama kali menyusun buku tentang ilmu ini berupa kumpulan hadits adalah Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhri ra.[7] yang memperoleh mandat dari Khalifah Umar ibn Abdul Aziz.[8] Berikut inilah amanat beliau kepadanya:
انظروا ما كان من حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم أو سنّته فاكتبوه فإني خفت دروس العلم وذهاب العلماء
(Perhatikan segala hal yang merupakan hadits Rasul Allâh saw. atau yang menjadi sunnahnya lalu bukukanlah, karena aku khawatir kehilangan ilmu dan dan lenyapnya ‘ulama)


2. Ilmu Hadits Dirayah
Kata dirayat atau yang ditulis dengan dirayah (دراية) berasal dari kata dara (درى) yang memiliki bentuk mudlari’ yadri (يدري) yang berarti mengerti, mengetahui, memahami, dan mengenal. Dengan demikian, ilmu dirayat ini merupakan alat untuk mengetahui hadits berdasarkan hasil pengetahuan, pemahaman, persepsi, atau penelitian. Oleh karena itu ilmu ini berkenaan dengan lafadh atau redaksi hadits (matan) yang harus diketahui maknanya, kondisi sanad, dan para pembawa hadits.
Secara terminologis sebagian ahli hadits mendefinisikan ilmu hadits dirayah sebagai berikut:
علم الحديث دراية هو علم يبحث فيه عن المعنى المفهوم من ألفاظ الحديث والمراد منها مبنيّا على قواعد اللغة العربية وضوابط الشريعة ومطابقا لأحوال النبي
(Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang di dalamnya dikaji makna logis dari teks-teks hadits dan maksudnya yang terbentuk melalui kaidah-kaidah bahasa Arab, dan pokok-pokok syari’ah dan yang sesuai dengan perilaku Nabi saw.)
Atau secara singkat Ilmu Hadits Dirayah didefinisikan sebagai berikut:
علم الحديث دراية هو علم يعرف به أحوال السند والمتن من حيث القبول والردّ وما يتصل بذلك [9]
(Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui hal-ihwal sanad dan matan, baik dari segi diterima dan ditolaknya maupun hal-hal yang terkait dengannya)
atau dengan definisi sebagi berikut:
علم يعرف به أحوال السند والمتن وكيفية التحمل والأداء وصفات الرجال وغير ذلك [10]
(Ilmu yang digunakan untuk mengetahui hal-ihwal sanad dan matan, proses penerimaan dan penyampaian, sifat-sifat para pembawa hadits, dan sebagainya)

Beberapa definisi tersebut memberi isyarat pada kita bahwa obyek Ilmu Hadits Dirayah adalah teks atau redaksi hadits (matan) ditinjau dari segi kondisi teks dan makna yang terkandung di dalamnya (redaksi dan isi), dan bagaimana proses periwayatan, serta sifat-sifat para pembawanya. Dengan ilmu ini sebuah hadits dapat diketahui statusnya, apakah diterima atau ditolak setelah diketemukan para perawinya. Dan dengan demikian Ilmu Hadits Dirayah disebut pula dengan Ilmu Mushthalah al-Hadits (علم مصطلح الحديث).[11]

C. CABANG ILMU HADITS
Berdasarkan klasifikasi ilmu hadits dan definisinya di atas maka cabang-cabangnya diketahui melalui dua ilmu tersebut. Dari dua ilmu ini muncul banyak cabang ilmu hadits.

1. Ilmu Hadits Riwayah
Sesuai dengan definisinya di atas ilmu ini mempunyai obyek kajian berupa sanad. Sedangkan sanad hadits terkait dengan nama para perawinya. Maka melalui Ilmu Hadits Riwayah kajian ‘ulum al-hadits dikembangkan menjadi dua cabang ilmu, yaitu:
a. ilmu Rijal al-Hadits (علم رجال الحديث)
b. ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil (علم الجرح والتعديل)
Kedua cabang ilmu tersebut merupakan ilmu pokok yang harus diketahui oleh orang yang hendak melakukan penelusuran sebuah hadits, baik dari segi kwantitas sanad maupun dari segi kwalitasnya. Ilmu Rijal akan dibahas sekilas dalam bab ini, sedangkan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil dibahas tersendiri dalam suatu bab. Namun demikian dalam bab ini penulis hendak memperkenalkan keduanya sekilas agar diperoleh pengetahuan tentangnya walau sedikit.
a. Ilmu Rijal al-Hadits
Kata Rijal (رجال) adalah bentuk kata jamak yang berasal kata rajul (رجل), artinya orang lelaki atau pemuda. Rijal al-Hadits berarti para pemuda hadits, atau para perawi hadits. Meskipun demikian tidak semua penerima dan pembawa hadits adalah kaum lelaki, tetapi juga ada dari kaum wanita, seperti para isteri Nabi Muhammad saw. Dengan demikian ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu yang membicarakan para perawi hadits yang tertera dalam daftar sanad hadits, mulai dari kelompok Shahabat hingga orang-orang yang hidup setelah Tabi’in. Ilmu ini akan membahas siapa sanad hadits, bagaimana keadaan masing-masing secara akademik dan moral-sosial, apakah masing-masing bertemu dalam sistem riwayat (kapan dan di mana mereka lahir dan wafat), hingga ditemukan keadaan sebuah hadits apakah ia shahih atau lainnya.
Berikut ini definisi Ilmu Rijal al-Hadits yang populer:
علم رجال الحديث هو علم يبحث فيه عن رواة الحديث من الصحابة والتابعين ومن بعدهم
(Ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu yang didalamnya dibahas mengenai (keadaan) para perawi hadits, yakni para shahabat, kelompok tabi’in, maupun orang-orang setelah mereka)

Ilmu Rijal terkadang dinamakan sebagai Riwayat Hidup para perawi hadits (Tarikh al-Ruwah, تاريخ الرواة). Maka terkait dengan Ilmu Rijal al-Hadits ini dikenal banyak istilah yang antara lain adalah sebagai berikut:
Mu’talif dan Mukhtalif : (مؤتلف ومختلف) yakni tulisan yang mengkhususkan riwayat nama-nama yang sama dengan sebutan yang berbeda;
Muttafiq dan Muftariq : (متفق ومفترق) yakni tulisan yang hanya berupa daftar nama-nama yang sama, tetapi orangnya berbeda dengan riwayatnya;
Musytabah : (مشتبه) yakni tulisan tentang riwayat perawi yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan beserta sebutannya tetapi berlainan keturunan dalam sebutan.

Kecuali istilah-istilah di atas sebagian ada penulis yang menyusun riwayat hidup para shahabat saja, seperti yang dilakukan oleh al-Bukhari (256 H.), Muhammad ibn Sa’ad (230 H.), dan ibn Abdil Barr (463 H.) yang sama-sama menulis buku berjudul al-Isti’âb (الاستعاب). Ada yang menulis riwayat para perawi secara umum. Sebagian lagi hanya menulis buku tentang para perawi yang dapat dipercaya saja, dan sebagainya.
Jadi, yang terpenting dalam Ilmu Rijâl al-Hadits adalah riwayat hidup dan kehidupan para tokoh hadits yang meliputi masa kelahiran dan tahun wafatnya, negeri/ kota asal dan negeri/ kota tempat tinggal, kota/ negeri mana saja yang dikunjungi untuk mencari hadits dan berapa lama tinggal di sana, siapa gurunya dan siapa pula muridnya, dan sebagainya. Oleh karena ilmu ini juga dikenal dengan sebutan Sejarah para Perawi (Târikh al-Ruwâh, تاريح الرواة). Terma tersebut juga terkadang disebut dengan tawârikh al-ruwâh (تواريخ الرواة). Kata tawârikh (تواريخ) sendiri merupakan bentuk jama’ dari kata tarikh yang berarti sejarah atau penanggalan, kalender. Ilmu ini timbul dalam kerangka selektifitas hadits, terutama pasca timbulnya hadits palsu (hadits mawdlu’, حديث موضوع). Menurut Sufyan al-Tsauri, salah satu urgensi ilmu ini adalah untuk mengetahui ketersambungan sanad (ittishal al-sanad, اتتصال السند) ataupun keterputusan sanad (inqitha’ al-sanad, انقطاع السند).[12] Buku yang dianggap paling representatif di bidang ini adalah karya ibn Zubair Muhammad ibn ‘Ubaidillah (w. 379 H.), seorang muhaddits Damascus, dengan judul al-Wafayât (الوفيات).
Usaha para ‘Ulama dalam menulis riwayat rijal hadits ketika itu sangat serius, indikatornya adalah mereka menelusuri identitas nama-nama para perawi hadits kemudian ditulis dalam buku catatan. Hasil catatan mereka beraneka ragam bentuknya sebagaimana berikut.
1) Thabaqat (طبقات); yaitu bentuk kitab atau catatan yang disusun berdasarkan generasi tokoh. Contohnya adalah buku-buku berikut ini:
a. Al-Thabaqat al-Kubra (الطبقات الكبرى) karya Abu Abdullah Muhammad ibn Sa’id Katib al-Waqidi (168-230 H.). Buku ini disusun atas delapan jilid.
b. Thabaqat al-Ruwah (طبقات الرواة) karya Khalifah ibn Khayyath al-‘Ushfuri (w. 240 H.)
c. Thabaqat al-Qurra` (طبقات القرّآء) karya Abu ‘Amr al-Dani.
d. Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra (طبقات الشافعيّة الكبرى) karya Abdul Wahhab al-Subki.
e. Tadzkirah al-Huffadh (تذكرة الحفاظ) karya al-Dzahabi.

2) Catatan yang disusun berdasarkan abjad, seperti buku yang berjudul al-Tarikh al-Kabir (التاريح الكبير) karya al-Imam Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari (194-256 H.). Meskipun disusun berdasarkan abjad, namun buku ini dimulai dengan nama Muhammad, karena pengarangnya bernama Muhammad.
3) Catatan yang secara khusus memuat biografi para Shahabat, seperti buku-buku berikut ini:
a. al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah (الإصابة في تمييز الصحابة) karya ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H./ 1449 M.).
b. Usd al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah (أسد الغابة في معرفة الصحابة) karya ‘Izzuddin ibn al-Atsir (630 H.). Buku ini memuat catatan biografi dari 7554 Shahabat.[13]
c. Al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashhab (الإستعاب في معرفة الأصحاب) karya penulis terkenal ibn Abdil Barr (w. 463 H./ 1071 M.).
4) Catatan tentang riwayat perawi pemilik enam buku hadits (al-Kutub al-Sittah, الكتب الستة), yakni buku Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa`i, dan Sunan ibn Majah. Buku-buku dalam jenis ini antara lain berjudul sebagai berikut:
a. al-Kamal fi Asma` al-Rijal (الكمال في أسماء الرجال) karya Abdul Ghani al-Maqdisi (w. 600 H./1202 M.).
b. Tahdzib al-Kamal (تهذيب الكمال) karya Abu al-Hajjaj Yusuf ibn al-Zaki al-Mizzi (w. 742 H.). Buku ini merupakan ringkasan dari buku al-Kamal fi Asma` al-Rijal karya Abdul Ghani al-Maqdisi.
c. Tahdzib al-Tahdzib (تهذيب التهذيب). Ada dua nama yang menulis buku berbeda dengan judul yang sama seperti ini, yaitu ibn Hajar al-Asqalani di satu pihak, dan Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi (w. 748 H./1348 M.) di pihak lainya. Ibn Hajar kemudian meringkasnya dengan judul Taqrib al-Tahdzib (تقريب التهذيب) yang tentunya dharapkan lebih praktis karena lebih ringkas.
5) Catatan tentang nama samaran (laqab, لقب) para perawi, adalah seperti buku yang ditulis dengan judul Nuzhah al-Albab fi al-Alqab (نزهة الألباب في الألقاب).[14]

b. Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil
Kata al-jarh (الجرح) secara bahasa berarti “luka”, “cacat”, “cela”, atau “melukai”, “mencacat”, dan “mencela”. Sedangkan kata ta’dil (تعديل) berasal dari kata ‘addala (عدّل) dan berarti “mengadilkan” atau “menganggap adil”. Ilmu ini membantu seseorang untuk mengetahui dan sekaligus menilai pribadi masing-masing Rijal Hadits yang tercantum dalam daftar sanad.
Secara sederhana definisi terminologisnya dirumuskan sebagai berikut:
علم الجرح والتعديل هو علم يبحث فيه عن جرح الرواة وتعديلهم بألفاظ مخصوصة وعن مراتب تلك الألفاظ
(Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang membahas hal mencacat prilaku para perawi dan menganggapnya adil dengan kata-kata tertentu, dan tentang tingkatan ungkapan-ungkapannya)
Ilmu ini akan diuarikan dalam bab tersendiri, insya Allâh. Dan demikian uraian tentang ‘Ulum al-Hadits ditinjau dari aspek riwawah dengan berbagai cabangnya, yang mengacu pada sumber-sumber tekstual. Berikut ini adalah penjabaran ‘Ulum al-Hadits ditinjau dari aspek dirayah dengan bermacam-macam cabangnya.

2. Ilmu Hadits Dirayah
Jika Ilmu Hadits Riwayah berobyek pada sanad sebagai pusat pembahasan, maka Ilmu Hadits Dirayah mempunyai obyek bahasan berupa teks hadits (matan). Matan hadits itulah yang menjadi perhatian para Muhadditsun untuk dicermati dan diteliti agar memperoleh validitas hadits. Oleh karena itu ilmu hadits dikembangkan menjadi beberapa cabang ilmu sebagai berikut:
a. Iilmu Gharib al-Hadits (علم غريب الحديث)
b. Ilmu Asbab al-Wurud (علم أسباب الورود)
c. Ilmu Tawarikh al-Mutun (علم تواريخ المتون)
d. Ilmu Nasikh al-Hadits wa Mansukhuhu (علم ناسخ الحديث ومنسوخه)
e. Ilmu Mukhtalif al-Hadits (علم مختلف الحديث)
f. Ilmu ‘Ilal al-Hadits (علم علل الحديث)

Cabang-cabang ilmu tersebut merupakan metode penelitian hadits dengan memperhatikan aspek yang khusus, karena hadits, termasuk matannya, bisa dipandang dari berbagai aspek. Perhatikan aspek hadits yang tersirat dalam nama-nama cabang ‘Ulum al-Hadits tersebut sebagai akan dijelaskan dalam uraian berikut ini.
a. Ilmu Gharib al-Hadits
Secara harfiah, kata gharib (غريب) berarti “asing”, “aneh”. Menurut para ahli hadits ilmu ini menyingkap apa yang tersembunyi dalam kosa kata (lafadh) hadits. Dengan mengetahui makna dan maksud kosa katanya seseorang akan terbantu dalam memahami isi dan maksud hadits itu sendiri. Jadi dengan ilmu ini seseorang memperhatikan dan meneliti teks atau bahkan lafadh yang mengandung makna yang sulit, tersembunyi di balik teks.
Pada prinsipnya kata-kata yang dipergunakan oleh Nabi saw. dalam setiap hadits bukan hal yang asing bagi para shahabat meski dengan kata kiasan. Tetapi perlu disadari bahwa bahasa Arab berkembang sesuai dengan pengalamannya, berdialog dengan masyarakat luar Arab (‘ajam) dan generasi sesudahnya. Dalam perkembangannya yang demikian bahasa Arab tidak menutup diri dimasuki terma-terma asing hingga menambah kosa kata (vocaburaly). Pada sisi lain ada kosa kata yang di kemudian hari secara berangsur tidak digunakan sehingga menjadi asing bagi penggunanya, terutama orang asing (‘ajam). Implikasi dari kondisi yang demikian adalah munculnya usaha menjelaskan teks hadits (matan) yang dilakukan oleh para ahlinya dengan sebutan Komentar atas Hadits (Syarh al- Hadits, شرح الحديث).
Jika ada hadits yang pesannya sulit diterima oleh akal pada umumnya, maka menurut Yusuf Qardlawi, hadits tersebut tidak bisa mendatangkan makna yang dipahami secara harfiah, tetapi harus ditakwil berdasarkan prinsip (qa’idah) penggunaan bahasa ketika hadits tersebut disampaikan. Berikut ini contoh hadits yang sulit dipahami secara harfiah:
الحمى من فيح جهنم فأبردوها بالماء (رواه البخاري ومسلم عن ابن عمر وعائشة وابن عباس)
(Suhu panas itu berasal dari Keganasan Jahannam. Maka dinginkanlah ia dengan air). HR. al-Bukhari dan Muslim dari ibn Umar, Aisyah, dan ibn Abbas

Menurut Yusuf Qardlawi, sebenarnya panas tidak ada kaitannya dengan api Jahannam. Oleh karena itu hadits tersebut harus dipahami secara majazi, dengan takwil, karena hadits tersebut hanya mengandung makna kiasan, bukan makna yang sebenarnya.

Perhatikan pula contoh lainnya berikut ini:
النيل والفرات وسيحون وجيحون من أنهار الجنة (رواه البخاري)
(Nil, Efrot, Saihun, dan Jaihun adalah bagian dari sungai surga) HR. al-Bukhari
Hadits tersebut memberikan isyarat tentang lambang kemakmuran bagai laiknya kehidupan di surga. Demikian pula hadits-hadits berikut ini.
بين بيتي ومنبري روضة من رياض الجنة (رواه البخاري ومسلم)
(Di antara rumahku dan mimbarku terdapat sebuah taman dari taman surga) HR. al-Bukhari dan Muslim

الجنة تحت أقدام الأمهات
(Surga berada di bawah telapak kaki para ibu)

Jadi, makna-makna yang seharusnya di balik hadits-hadits di atas adalah meerupakan keasingan hadits (gharib al-hadits, غريب الحديث) yang harus disingkap dengan metode khusus.
Adapun ‘ulama yang mula-mula menyusun kitab tentang Gharib al-Hadits adalah Abu al-Hasan al-Nadhr al-Mazini (wf. 203 H.) seorang guru bagi Ishaq ibn Rahawaih guru Imam al-Bukhari.[15] Jejak beliau ra. kemudian diikuti oleh generasi berikutnya seperti:
1) Abu Ubaid al-Qasim ibn Sallam (157-223 H.) dengan judul buku Gharib al-Hadits (غريب الحديث);
2) Abu al-Qasim Mahmud ibn ‘Amr al-Zamakhsyari (467-538 H.) denngan judul buku al-Faiq fi Gharib al-hadits (الفائق في غريب الحديث);
3) Ibn al-Atsir (467-538 H.) dengan judul buku al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar (النهاية في غريب الحديث والأثر) sebagai karya terbaik di bidang ini;
4) al-Suyuthi dengan judul buku al-Durr al-Natsir (الدرّ النثير) sebagai komentar terhadap Kitab al-nihayah

b. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
Cabang kedua dari Ilmu Hadits Dirayah yang sekaligus merupakan metode penelitian hadits adalah ‘Ilm Asbab Wurud al-Hadits. Secara harfiah kata asbab (أسباب) merupakan bentuk jamak dari kata sabab (سبب) yang berarti “sebab”, “alasan” atau “faktor”. Sedangkan kata wurud (ورود) merupakan bentuk mashdar dari kata warada (ورد) yang berarti “datang”, “muncul”, “berjalan”, dan “berlaku”. Maka yang dimaksud dengan Ilmu Asbab Wurud al-Hadits adalah ilmu yang membahas sebab-sebab munculnya hadits. T.M. Hasbi as-Shiddiqi menjelaskannya sebagai berikut:
علم يعرف به السبب الذي ورد لأجله الحديث والزمان الذي جاء فيه [16]
(Ilmu yang dipergunakan untuk mengetahui sebab yang mendatangkan hadits, dan masa di mana hadits tersebut muncul)
Ilmu ini perlu diketahui untuk membantu seseorang memahami maksud yang dikandung dalam sebuah hadits. Terkadang orang salah memahami maksud hadits ketika ia tidak menemukan asbab wurudnya, misalnya terhadap matan berikut ini:
من تشبه بقوم فهو منهم [17]
(Siapa yang menyerupai suatu kelompok maka ia adalah bagian dari mereka)
Bisa jadi hadits tersebut terucap di kala perang sedang berkecamuk. Hal mana pasukan musuh membawa senjata yang tidak dimiliki oleh para shahabat, atau menggunakan kostum dan atributnya yang telah jelas berbeda dengan pakaian seragam perang yang dikenakan oleh para Shahabat. Maka nabi saw. memberikan instruksi agar para shahabat menggunakan kostum yang berbeda, dan jika ada di antara Shahabat ada yang mengenakan kostum mirip dengan kostum yang dikenakan musuh dikhawatirkan terjadi salah sasaran oleh para Shahabat, sehingga resiko harus ditanggung sendiri karena keserupaan kostumnya dengan kostum musuh. Dengan demikian hadits tersebut tidak bisa digeneralisir pemberlakuannya untuk semua kasus, tetapi harus terlebih dahulu dipahami apakah kasusnya mirip dengan apa yang terkait dengan hadits.
Konon, hadits di atas pernah dipahami sebagai hadits yang mengandung larangan sikap seseorang dalam menyerupai sikap orang kafir, sehingga seseorang bisa dianggap kafir manakala ia memakai dasi, atau celana, karena memakai dasi dan celana ketika itu merupakan kebiasaan kaum penjajah, yakni orang-orang kafir. Menurut saya, penggunaan hadits di atas sebagaiman pemahaman tersebut kurang tepat, karena ternyata orang-orang kafir pada masa Nabi saw. tidak memiliki kebiasaan memakai dasi maupun celana.
c. Ilmu Tawarikh al-Mutun
Ilmu tawarikh al-mutun (علم تواريخ المتن) ini merupakan metode penelitian hadits dari segi waktu diundangkannya sebuah hadits. Ilmu ini sangat berhubungan erat dengan ‘Ilm Asbab al-Wurud. Bedanya adalah terletak pada kalender/ waktu dan sebabnya. Perhatikan lagi penjelasan di atas!
d. Ilmu Nasikh al-Hadits wa Mansukhuhu
Jika ada hadits maqbul terbebas dari perlawanan (mu’aradlah), maka ia berstatus sebagai hadits muhkam, jika hadits maqbul dihadapkan pada persamaan dan mungkin dikompromikan, maka dinamakan mukhtalif hadits, dan jika terjadi pertentangan atau perbedaan dua hadits dan keduanya tidak dapat dipertemuan maka salah satunya dinamakan Hadits Nasikh dan lainnya disebut dengan Hadits Mansukh.
Kondisi hadits yang mansukh diketahui melalui tiga hal, yaitu:
1) diketahui adanya sikap perubahan yang dilakukan oleh Nabi saw., seperti sabdanya berikut ini:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ، ألا فزوروها (أخرجه مسلم)
Dan hadits:
كنت نهيتكم عن لحوم الأضاحى فوق ثلاث فكلوا ما بدا لكم (أخرجه مسلم)

2) diketahui adanya keterangan dari seorang Shahabat, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Nasa`i ra. dari Jabir ibn Abdullah ra. berirkut ini:
كان اخر الأمرين من رسول الله ترك الوضوء مما مسّت النار
(Terakhir dari dua hal yang dikerjakan oleh Rasul adalah meninggalkan wudlu` dari sengatan panas)

Karya-karya tentang Nasikh al-Hadits
Telah banyak karya ilmiah tentang ilmu Nasikh-Mansukh dalam hal hadits, di antaranya adalah sebagai berikut:
1) al-I’tibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar (الإعتبار في الناسخ والمنسوخ من الاثار) karya Abu Bakar Muhammad ibn Musa al-Hazimi;
2) al-Nasikh wa al-Mansukh (الناسخ والمنسوخ) karya al-Imam Ahmad;
3) Tajrid al-Ahadits al-Mansukhah (تجريد الأحاديث المنسوخة) karya ibn al-Jauzi.

Ilmu tentang nasikh al-hadits ini dianggap sangat penting terkait dengan seleksi hadits. Tokoh hadits yang disebut-sebut sebagai ‘ulama` yang paling intens dalam ilmu ini adalah al-Imam al-Syafi’i. Dalam konteks ini didapati dialog antara al-Imam Ahmad dan ibn Warah. Beliau kepada ibn Warah: “Apakah Anda mencatat kitab-kitabnya al-Syafi’i?” Ibn Warah menjawab: “Tidak.” Maka beliau berkata: “Anda sia-sia, (karena) kita tidak akan mengetahui keterangan yang global (mujmal) dari yang terurai (mufassar), maupun mengenai hadits yang menasakh (nasikh al-hadits) dari hadits yang dinasakh (mansukh al-hadits) hingga kita berkomunikasi dengan al-Syafi’i.[18]

e. Ilmu Mukhtalif al-Hadits
Ilmu ini difungsikan sebagai alat untuk mengetahui dua hadits atau lebih yang memiliki perbedaan isi, bahkan (terkesan) saling bertentangan. Dengan ilmu ini hadits-hadits yang berindikasi demikian akan lebih mudah diketahui dan diupayakan titik temunya agar tidak berjalan sendiri-sendiri. Bisa jadi hadits-hadits yang lahiriahnya berbeda bahkan bertentangan tersebut memiliki sumber yang berbeda; satu hadits berasal dari nabi dan lainnya dari lainnya. Maka jika demikian akan lebih memudahkan mukharrij untuk meletakkan keduanya pada posisi yang berbeda karena keadaannya yang memang berbeda.
Perhatikan dua hadits yang dijadikan contoh oleh Mahmud Thahhan[19] berikut ini!
1. Hadits riwayat Muslim ra.:
... لا عدوى ولا طيرة ...
2. Hadit riwayat al-Bukhari ra.:
.... فرّ من المجذوم فرارك من الأسد
Kedua hadits tersebut adalah shahih, tetapi menunjukkan kesan fenomena yang berbeda karena secara lafdhi memang terjadi perbedaan, hingga makna berlawanan hadits pertama menafikan ’adwa sedangkan hadits kedua menetapkan adanya. Dalam menghadapi kasus yang demikian didapati banyak cara. Di antaranya seperti yang dilakukan oleh al-Hafidh ibn Hajar al-‘Asqalani dengan mencari titik temu dari keduanya, bahwa hadits pertama menganjurkan agar manusia menerima taqdir jika tidak lagi mampu menghadapi persoalan, sedangkan hadits kedua berisi anjuran berusha keras menghindari taqdir berupa majdzum. Jadi kedua hadits tersebut tidak bertentangan, tetapi berbicara tentang kondisi yang berbeda.
Selebihnya dewan pembaca dapat membaca buku-buku yang membahas masalah ilmu yang satu ini sebagai berikut:
1) Ikhtilaf al-Hadits (اختلاف الحديث) karya al-Imam al-Syafi’i ra.;[20]
2) Ta`wil Mukhtalif al-Hadits (تأويل مختلف الحديث) karya ibn Qutaibah Abdullah ibn Muslim;
3) Musykil al-Atsar (مشكل الاثر) karya al-Thahawi Abu Ja’far Ahmad ibn Salamah.

f. Ilmu ‘Ilal al-Hadits
Yang dimaksud dengan ilmu ‘Ilal al-Hadits adalah ilmu yang mebicarakan sebab-sebab yang tersembunyi di balik kesahehan hadits. Definisinya bisa disimak sebagai berikut:
علم علل الحديث هو علم يبحث فيه عن أسباب غامضة خفيّة قادجة في صحّة الحديث
(ilmu ‘ilalil hadits adalah ilmu yang mengkaji sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang (akan) dapat merusak kesahehan hadits)

Biasanya ‘illat hadits terdapat pada diri para rijal hadits. ‘illat tersebut dapat menurunkan derajat hadits, bahkan merusak validitasnya. Dan hanya dengan ketelitian dan pengetahuan tentang derajat perawi dan sifat-sifat para sanad seseorang mampu mengetahuinya dengan baik.[21] Dan secara teoretik dan praktik ilmu ini dapat dikaji melalui buku-buku berikut ini.
1) Kitab al-‘Ilal (كتاب العلل) karya ibn al-Madini;
2) al-‘Ilal wa Ma’rifah al-Rijal (العلل ومعرفة الرجال) karya al-Imam Ahmad ibn Hanbal ra.;
3) al-‘Ilal al-Kabir (العلل الكبير) dan al-‘Ilal al-Shaghir (العلل الصغير) karya al-Tirmidzi;
4) al’Ilal al-Waridah fi al-Ahadits al-Nabawiyyah (العلل الواردة في الأجاديث النبويّة) kitab terlengkap sebagai karya al-Darquthni.


Menurut al-Imam Abu Syamah, fungsi ‘Ulum al-Hadits dibedakan menjadi kategori utama, yaitu:
1) memelihara redaksinya, mengetahui gharibnya, dan fiqhnya;
2) memelihara sanad-sanadnya, mengenal rijalnya, dan memilah kesahehannya dari cacatnya;
3) mengumpulkan hadits, menuliskannya, mendengarkannya, menyampaikannya, dan mencari keluhurannya.

D. URGENSI ILMU HADITS
Di depan telah diuraikan bahwa al-Qur`ân membutuhkan penjelasan dan pemahaman. Hadits merupakan salah satu alat yang perlu digunakan untuk melakukan pemahaman tersebut. Untuk bisa memilih hadits yang baik, tidak mu’allal, tidak dla’if, tidak mawquf apalagi maqthu’, dan tidak mardud, dan menggunakannya dalam istinbath hukum atau lainnya sangat diperlukan ilmu yang relevan dengannya. Di sinilah ‘ulum al-hadits berperan dan berfungsi untuk meyakinkan bahwa hadits yang diambil adalah benar. Dengan demikian kita bisa mengukti nabi secara benar jika hadits dan sunnahnya kita jumpai sebagai sesuatu yang benar melalui cara yang benar pula. Upaya ini sulit tercapai tanpa memiliki ilmu yang tersimpul dalam ‘Ulum al-Hadits.
Menurut al-Nawawi, ilmu yang paling penting adalah mengetahui hadits-hadits nabi, yang berupa matan, kesahihannya, kehasanannya, kedla’ifannya, dan sebagainya, karena syari’at kita dibangun atas dasar al-Kitab dan al-Sunan yang diriwayatkan, sementara tidak sedikit ayat yang bersifat mujmal.[22] Para ‘ulama telah sepakat bahwa sebagian dari syarat seorang mujtahid adalah mengetahui hadits-hadits, terutama yang konsen hingga menguasai ilmunya. Demikian, semoga tulisan ini, semoga bermanfa’at bagi kita.
Wa Allâh a’lam bi al-shawâb
% % %
[1]Lihat Jamaluddin al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits min Funun Mushthalah al-Hadits, t. penerbit, t.th., h. 75
[2] Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, h. 11.
[3] lihat Mahmud Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadits, Surabaya: Bungkul Indah, t.th., h. 10.
[4] Ibid., h. 41.
[5] Lihat Fakhruddin al-Razi, Manaqib al-Syafi’i, Kairo, 1379, h. 101.
[6] T.M. Hasbi as-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, t.th., h. 129.
[7] Ia adalah Gubernur Madinah, seorang Tabi’i yang menerima hadits dari ibn Umar ra., Sahl ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud ibn al-Rabi’, Sa’id ibn al-Musayyab, dan Abu Umamah ibn Sahl. Ia tokoh terkenal di wilayah Hijaz dan Syam.
[8]Ia dinobatkan sebagai Khalifah pada tahun 99 H. dari Dinasti Amawiyyah yang terkenal adil dan wara’. Ia mendapat julukan Khulafa` Rasyidin kelima. Kekuasaannya berakhir pada tahun 101 H.
[9] Ibid.
[10] Hafidh Hasan al-Mas’udi, Minhah al-Mughits, Surabaya: CV. Ibn Ahmad Nabhan wa Awladih, t.th., h. 3.
[11] M. Yunus, Ilmu Mushthalah al-Hadits, Jakarta: al-Sa’diyah Putra, 1940, h. 3.
[12] M. Thahhan, Op. Cit., h. 225.
[13] Lihat DR. Muh. Zuhri, Hadits Nabi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997, h. 119.
[14]Penulis belum menemukan siapa nama pengarang buku ini, meskipun sangat terkenal karya tulisnya.
[15] Ibn al-Atsir, al-Nihayah fi Gharib al-Hadits, Kairo: t. penerbit, 1963, juz I, h. 5.
[16] T.M. Hasbi as-Shiddiqi, Op. Cit, h. 142.
[17] al-Khathib, Op. Cit., h. 289.
[18] M. Thahhan, Op. Cit., h. 59.
[19] Lihat Mahmud Thhan, Op. Cit., h. 56-57.
[20] Beliau adalah tokoh yang terkenal di bidang ini menurut beberapa sumber.
[21] Hasbi al-Shiddiqi, Op. Cit., h. 140.
[22]Jamaluddin al-Qasimi, Op. Cit.., h. 8.

klasifikasi hadits MS2F


KLASIFIKASI
HADITS
Oleh:Drs. M. Syakur Sf., M.Ag.

(Dosen FAI Universitas Wahid Hasyim Semarang, mahasiswa program Doktor (S3) IAIN Sunan Ampel Surabaya)

Hadits sebagai telah dijelaskan pada bab sebelumnya adalah sumber ajaran Islam, hakikatnya merupakan pendamping bagi al-Qur`ân dengan berbagai fungsinya. Tentu saja dengan posisinya yang demikian menjadikan dirinya tidak memliki status hukum yang sama dengan al-Qur`ân. Jika status hukum bagi al-Qur`ân secara fungsional adalah pasti atau keniscayaan (qath’iyyah al-wurud , قطعيّة الورود), maka status al-Hadits adalah dhanniyyah al-wurud (ظنّيّة الورود), yakni posisi yang masih membutuhkan pertimbangan apakah hadits tersebut telah memenuhi kwalifikasi sebagai hadits mutawatir, shahih, atau belum. Secara umum hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria, yakni atas bermulanya ujung sanad, keutuhan mata rantai sanad, jumlah penutur (periwayat), dan tingkat keaslian hadits (segi dapat diterima atau tidaknya hadits).
Pembahasan pada bab ini difokuskan pada klasifikasi hadits berdasarkan sanad yang mengantarkannya. Untuk me-ngetahui dan menentukan status hadits sekaligus kategorisasi-nya seseorang dapat melakukan identifikasi terhadap sanadnya. Hadits dalam konteks ini dapat dikaji dari dua aspek, yaitu aspek jumlah (kwantitas) sanad dan aspek kwalitasnya sehingga diperoleh pengetahuan tentang status hadits, apakah sebuah hadits dapat diterima sebagai acuan dalam pengambilan keputusan hukum, atau tidak. Kecuali itu pada bab ini akan disajikan pula klasifikasi hadits dari segi lain, yakni apakah ia dapat diterima (maqbul) sebagai dasar pelaksanaan ajaran agama atau harus ditolak (mardud). Segi ini dinamakan dengan terma hadits maqbul dan hadits mardud. Insya Allâh.

A. BERDASARKAN KWANTITAS SANAD
Hadits ditinjau dari segi jumlah perawi yang terdapat dalam sanadnya dapat diklasifikasikan atas dua kategori, yaitu Hadits Mutawatir dan Hadists Ahad.
1. Hadits Mutawatir
Kata Muatawatir pada dasarnya berarti berurutan, berkesinambungan, kontinyu (tatabu’ = تتابع) seperti yang terdapat dalam ungkapan تواتر المطر , maka artinya adalah تتابع نزوله (hujan turun secara kontinyu). Lalu apakah yang dimaksud dengan hadits mutawatir?
Banyak batasan yang diajukan oleh para ahli hadits (muhadditsn) tentang pengertian hadits mutawatir. Namun demikian dapat dipahami bahwa hadits mutawatir (الحديث المتواتر) adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi dalam setiap generasi sanad, mulai awal (shahabat nabi) hingga akhir (perawi, penulis hadits). Ajaj Al-Khathib telah menawarkan definisi tentang hadits mutawatir sebagai berikut:
والخبر المتواتر: ما بلغت رواته في الكثرة مبلغاً أحالت العادة تواطأهم على الكذب، ويدوم هذا فيكون أوله كآخره، ووسطه كطرفيه، كالقرآن، وكالصلوات الخمس.[1]
(Hadits Mutawatir adalah hadits yang oleh para perawinya disampaikan dalam jumlah yang banyak, yang menurut adatnya jumlah tersebut tidak mungkin terjadi kesepakatan untuk berdusta atau pembohongan, antar sesama, dan keadaan ini berlangsung sejak garis sanad pertama hingga garis sanad terakhir, bagian tengahnya seperti bagian akhir, seperti (riwayat tentang) al-Qur`ân dan shalat lima waktu)

Sebagian ahli hadits lainnya juga telah mendefinisikannya dengan ungkapan yang lebih jelas dan lugas, namun mirip definisi al-Khathib di atas, yaitu sebagai berikut:
الحديث المتواتر ما يرويه قوم لا يحصى عددهم ولايتوهّم تواطؤهم على الكذب ويدوم هذا الحدّ فيكون أوله كاخره واخره كأوله ووسطه كطرفيه [2]
(Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak terhitung jumlahnya dan komunitas mereka tidak dimungkinkan atas kedustaan, dan kriteria yang demikian berlangsung terus hingga kondisi generasi awal sama dengan kondisi generasi akhirnya, generasi akhirnya sama dengan generasi awalnya, dan generasi tengahnya sama dengan generasi pinggirnya)
atau dapat dipahami dengan definisi berikut ini.
الحديث المتواتر ما رواه جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكذب عن مثلهم من أول السند إلى منتهاه …
(Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang secara adat tidak mungkin terjadi kesepakatan untuk berdusta antar sesama, sejak garis sanad pertama hingga garis sanad terakhir …)

Dengan memperhatikan beberapa ta’rif tersebut telah jelas bagi kita bahwa Hadits Mutawatir adalah bentuk hadits yang bisa dipertanggungjawabkan keadaannya dari sistem periwayatan karena pada setiap generasi (thabaqat) sanadnya terdapat sejumlah perawi yang tidak mungkin di antara mereka berdusta atau penyelewengan terhadap hadits. Para ahli berbeda pendapat mengenai jumlah minimal para perawi dalam masing-masing level sanad yang meriwatkan hadits mutawatir. Sebagian menetapkan 20 rawi, sebagian lagi menetapkan 40 orang pada setiap generasi sanad.
Para ‘ulama telah sepakat bahwa hadits yang diriwayat-kan secara mutawatir telah dapat meyakinkan penerimanya bahwa haditsnya adalah benar-benar datang dari sumbernya, Rasul Allâh saw. Itulah yang disebut sebagai Qath’iyyah al-Wurud (قطعية الورود). Hadits yang demikian inilah yang memiliki derajat tertinggi dalam proses periwayatan hingga mampu meyakinkan penerimanya. Hadits ini setingkat dalam status dengan al-Qur`ân dari aspek periwayatan, yakni sama-sama secara mutawatir. Namun tetap berada pada urutan kedua setelah al-Qur`ân karena statusnya secara fungsional. Maka para ‘ulama sepakat untuk melaksanakan pesannya; maksudnya adalah jika hadits berisi perintah (amr, أمر) maka harus dikerjakan, dan jika berisi larangan (nahy , نهي) maka ummat Islam harus meninggalkan apa yang dipesankan di dalamnya. Mereka dalam konteks ini memberikan sifat terhadap hadits mutawatir dengan ungkapan Yajibu al-‘amal bihi (يجب العمل به).

a. Klasifikasi Mutawatir
Ditinjau dari segi sifatnya hadits mutawatir dibedakan lagi menjadi dua jenis, yaitu Hadits Mutawatir Lafdhi dan Hadits Mutawatir Ma’nawi sebagai keterangan berikut ini.
1) Mutawatir Lafdhi
Hadits Mutawatir Lafdhi (الحديث المتواتر اللفظيّ) adalah hadits yang secara redaksional adalah mutawatir seperti hadits berikut:
حدثنا علي بن عبد العزيز ، قال : حدثنا خلف بن هشام ، ح وحدثنا محمد بن عبد الله الحضرمي ، قال : حدثنا محمد بن عبيد بن حساب ، قالا : حدثنا أبو عوانة ، عن أبي حصين ، عن أبي صالح عن أبي هريرة غن النبيّ صلى الله عليه وسلم قال: تسمَّوا باسمي ولا تكتنَنوا بكنيتي ومن رآني في المنام فقد رآني فإن الشيطان لايتمثل في صورتي ومن كذب عليّ متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (رواه البخاري)[3]
(…. Riwayat Abu Hurairah ra., nabi saw. bersabda: “Bernamakanlah dirimu dengan namaku dan jangan pakai nama kuniahku. Barangsiapa melihatku dalam mimpi berarti ia (benar-benar) melihatku karena setan tidak mampu meniru bentukku. Barangsiapa mendustakan aku dengan senagaja, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka”)
Hadits tersebut menurut informasi yang kuat diriwayatkan oleh sekitar 200 perawi. Menurut keterangan lain, hadits tersebut mungkin diriwayatkan oleh 40 orang shahabi, mungkin juga oleh 62 orang termasuk 10 orang Shahabat yang dijamin masuk surga,[4] Demikian pula hadits tentang –misalnya-- menyapu Khuffain (mash al-khuffayn, مسح الخفّين) yang diriwayatkan oleh sekitar 70 perawi, dan hadits tentang mengangkat kedua tangan (ketika takbir) dalam shalat yang diriwayatkan oleh sekitar 50 perawi.[5]

2) Mutawatir Ma’nawi
Hadits Mutawatir Ma’nawi (الحديث المتواتر المعنويّ) adalah hadits yang isinya diriwayatkan secara mutawatir dengan bentuk matan yang berbeda-beda. Umumnya hadits mutawatir dalam jenis ini berupa riwayat tentang perilaku nabi terhadap lingkungan, cara nabi saw. mengangkat kedua tangan dalam berdu’a, dan sebagainya.

b. Kriteria Hadits Mutawatir
Sebuah riwayat dikatakan sebagai mutawatir jika telah memenuhi empat kriteria, yaitu:
1) mempunyai jumlah perawi yang banyak;[6]
2) secara umum tidak mungkin terjadi kesepakatan berdusta di antara para perawi;
3) para perawi meriwayatkan hal yang sama dari garis sanad pertama hingga terakhir;
4) hadits yang disampaikan merupakan proses kesaksian dan pendengaran.[7]

Menurut al-Nawawi dalam dalam Syarh Muslim, hadits mutawatir harus merupakan riwayat orang-orang muslim. Riwayat dari orang kafir harus ditolak, kecuali ia telah masuk Islam. Selanjutnya dengan tegas beliau menyatakan:
ولا تقبل رواية كافر وإن عرف بالصدق لعلو منصب الرواية عن الكفار[8]
(Riwayat (dari) orang kafir tidak boleh diterima, meskipun ia diketahui kejujurannya, karena tingginya ring periwayatan melalui orang-orang kafir)

2. Hadits Ahad
Secara harfiah kata âhâd (آحاد) merupakan bentuk jamak dari kata ahad (أحد) yang berarti yang satu, tunggal. Jika dikatakan khabar wahid maka maksudnya adalah khabar atau hadits yang diriwayatkan oleh seorang pribadi (sendiri). Jadi, Hadits Ahad (الحديث الآحاد) adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang saja, atau bahkan oleh sedikit orang, atau seorang saja, dan selanjutnya masing-masing perawi menyampaikan haditsnya kepada seorang, atau dua orang saja. Jumlah perawi yang demikian dalam setiap tahap tidak menjadikan haditsnya terkenal sebagaimana jenis lainnya. Pengertian tentang hadits ahad secara umum dapat diketahui dari definisi sebagai berikut:
الحديث الآحاد هو مالم يجمع شروط المتواتر [9]
(Hadits Ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir)

Hadits Ahad pada umumnya dapat ditemukan dalam kitab-kitab sufistik seperti Ihya` ‘Ulum ad-Din karya al-Ghazali, dan Ta’lim al-Muta’allim karya al-Zarnuji. Kiranya syarat untuk menerima Hadits Ahad tidak cukup bagi kita dengan hanya menggunakan kecerdasan intelektual tetapi juga kecerdasan emosional, bukan saja dengan rasio tetapi juga rasa.
Secara aksiologis, Hadits Ahad bisa diterima dan bisa ditolak adalah tergantung pada kwalitas perawinya dan atau ketersambungan sanadnya, bukan karena jumlah sanad pada setiap generasi. Maka status hadits ini dalam ilmu pengetahuan dikatakan sebagai Dhanniyyah al-Wurud (ظنّيّة الورود) atau sebagai ilmu al-dhan (علم الظنّ), bukan sebagai ilmu al-yaqin (علم اليقين). Meskipun demikian hadits ini tetap bisa dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan ajaran Islam manakala merupakan dhan yang rajih (ظنّ راجح), persangkaan yang kuat, begitu pula sebaliknya. Hadits ini dengan demikian tetap wajib diamalkan isinya jika diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, kredible (tsiqah , ثقة) dan adil.[10]
Oleh karena itu Hadits Ahad tidak digunakan sebagai hujjah dalam hal I’tiqad, keyakinan. Al-Imam Ahmad ra. mempergunakan Hadits Ahad tidak hanya dalam hal ‘amal, tetapi juga hal i'tiqad.[11] Beliau mengimani segala yang diterangkan oleh hadits tanpa memilih dan memilah sebagaimana beliau mengimani segala bentuk keterangan yang ada dalam al-Qur`ân.

a. Klasifikasi Ahad
Hadits Ahad dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu Hadits Masyhur dan Hadits ‘Aziz. Namun demikian menurut madzhab Hanafi, Hadits Masyhur berdiri sendiri, hingga jumlah jenis hadits secara garis besar berdasarkan jumlah sanadnya adalah tiga macam, yaitu Mutawatir, Ahad, dan Masyhur. Baiklah, kita dalam hal ini tidak memperdebatkan jumlah klasifikasi tersebut, tetapi yang lebih penting bagi kita adalah membahas ketiga-tiganya tanpa mengkotak-kotak. Dan pembagian hadits dalam pembahasan ini hanyalah mengikuti persepsi masyarakat pada umumnya.
1) Hadits Masyhur
Secara harfiah kata masyhur berarti terkenal, tersohor. Hadits Masyhur (الحديث المشهور) adalah hadits yang mempunyai dua jalur atau lebih yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap tingkat sanadnya di masing-masing jalur, dan tidak melebihi jumlah sanad untuk periwayatan hadits mutawatir.[12] Hadits Masyhur merupakan jenis Hadits Ahad yang tertinggi derajatnya, kemudian disusul dengan hadits ‘aziz dan hadits gharib.


Klasifikasi Hadits Masyhur
Ditinjau dari segi popularitas hadits masyhur dibedakan menjadi enam kategori, yaitu:
a) Hadits yang masyhur di kalangan para Ahli Hadits (ahl al-hadits, أهل الحديث) secara khusus, yaitu seperti hadits berikut ini yang diriwayatkan melalui salah satu jalur sanad sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا [13]
(…. Sesungguhnya Allâh tidak mengambil ilmu dengan secara langsung dari para hamba, tetapi Dia mengambil ilmu dengan cara mengambil ‘ulama, sehingga jika Dia tidak menyisakan seorang yang berilmu niscaya manusia mengambil pemimpin-pemimpin yang bodoh, sehingga mereka ditanya lalu memberikan fatwa tanpa ilmu. Mereka tersesat dan menyesatkan)

Atau seperti hadits melalui jalur Anas ra. berikut ini:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا بَهْزُ بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ أَخْبَرَنَا أَنَسُ بْنُ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ يَدْعُو عَلَى بَنِي عُصَيَّةَ [14]
(…. Sesungguhnya Rasul Allâh saw. berdo’a qunut selama sebulan setelah ruku’ pada shalat fajar (Shubuh), berdo’a untuk Bani ‘Ushayyah)

b) Hadits yang masyhur di kalangan ahli hadits sendiri dan kalangan lainnya (‘Ulama dan ‘awam), seperti hadits:
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْه [15]
(…. Seorang muslim adalah adalah orang yang berkat lisannya dan tangannya orang-orang Islam (lainnya) merasa selamat, dan seorang muhajir adalah orang yang hijrah dari apa yang telah dilarang oleh Allâh).

c) Hadits yang masyhur di kalangan para Ahli Fiqh (al-Fuqaha`, الفقهاء), seperti hadits:
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ مُعَرِّفِ بْنِ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَبْغَضُ الْحَلالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلاقُ [16]
(…. Sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allâh adalah thalaq)

d) Hadits yang masyhur di kalangan para Ahli Ushul (al-Ushuliyyun, الأصوليّون), misalnya hadits:
رفع عن أمتى الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه [17]
(Kesalahan, lupa, dan apa yang dibenci telah dihilangkan dari umatku)

e) Hadits yang masyhur di kalangan para Ahli Nahwu (al-Nuhah, النحاة), seperti hadits:
عن عمرقال: نِعمَ العبدُ صُهَيبٌ لَولمَ يَخَفِ اللهَ لَمْ يَعصِه [18]
(…. Sebaik-baik seorang hamba adalah Shuhaib. Seandainya ia tidak merasa khawatir kepada Allâh niscaya tidak akan durhaka kepada-Nya)

Hakekat hadits tersebut tidak berasal (tidak jelas) sumbernya, tetapi sangat terkenal di lingkungan para Ahli Nahwu, terutama dalam mencontohkan sebuah ungkapan yang menggunakan kata ni’ma (نعم) dan kata law (لو).

f) Hadits masyhur yang terkenal di kalangan masyarakat umum, yaitu seperti hadits dari jalur Sahl ibn Sa’d ra. berikut ini:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : اَلْعَجَلَةُ مِنَ اَلشَّيْطَانِ (أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَسَنٌ) [19]
(…. Ketergesa-gesaan adalah bagian (dari prilaku) setan). Hadits Riwayat al-Tirmidzi. Katanya: (hadits ini) Hasan.

2) Hadits Aziz
Kata ‘Aziz berarti yang mulia, utama, kuat, dan sangat. Hadits ‘Aziz (الحديث العزيز) adalah hadits yang mempunyai dua jalur sanad, yang masing-masing terdiri atas dua orang rawi pada setiap level sanadnya. Atau dengan kata lain, hadits ‘aziz adalah hadits yang mempunyai dua sistem sanad (isnadan, إسنادان). Demikian ini menurut ibn Hajar.[20] Hadits ini merupakan Hadits Ahad setingkat di bawah derajat Hadits Masyhur dan di atas Hadits Gharib. Contohnya adalah hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ [21]
(…. Tidaklah (sempurna) seseorang di antara kamu beriman hingga aku lebih dicintai daripada orangtuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya)
Hadits tersebut diketahui diriwayatkan oleh Qatadah dan ‘Abdul ‘Aziz ibn Shuhaib melalui jalur Anas ra.. Di sisi lain Syu’bah dan Sa’id juga meriwayatkannya dari Qatadah ra., begitu pula Isma’il ibn ‘Ulayyah dan ‘Abdul Warits meriwayatkannya dari ‘Abdul ‘Aziz, dan dari masing-masing mereka suatu kelompok meriwayatkannya.
Secara rinci sistem isnad hadits tersebut memiliki dua riwayat atau lebih yang tepat dapat digambarkan sebagai berikut:
· Dari Anas hadits diriwayatkan oleh al-Bukhari ra. dan Muslim ra.;
· Dari Anas ra. hadits juga diriwayatkan oleh Qatadah ra. dan ‘Abdul ‘Aziz ibn Shuhaib ra.;
· Dari Qatadah ra. hadits diriwayatkan oleh Syu’bah ra. dan Sa’id ra.;
· Dari ‘Abdul ‘Aziz ibn Shuhaib ra. hadits diriwayatkan oleh Isma’il ibn ‘Ulayyah ra. dan ‘Abdul Warits ra.;
· Dari masing-masing mereka hadits diriwayatkan oleh suatu jama’ah.

3) Hadits Gharib
Gharib berarti asing, lawan dari kata masyhur. Maka Hadits Gharib (الحديث الغريب) adalah hadits yang memiliki dua jalur atau lebih yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada salah satu jalur riwayat, meskipun pada tingkat sanad lainnya terdapat banyak rawi.[22] Inilah jenis Hadits Ahad yang terendah derajatnya. Contohnya adalah hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ [23]
(…. Sesungguhnya segala tindakan itu berdasarkan niat. Dan sesungguhnya masing-masing orang memiliki apa yang telah menjadi niatnya. Barangsiapa hijrahnya bermotif (kebahagiaan) dunia, atau bermotif wanita untuk dinikahinya, niscaya akan mendapati apa yang menjadi niat dalam hijrahnya)

Hadits tersebut diriwayatkan melalui Shahabat ‘Umar ibn al-Khathab ra. seorang diri lalu darinya diriwayatkan haditsnya oleh banyak perawi. Itulah gharib.
Atau bisa jadi hadits gharib adalah hadits yang sanadnya pada level awal terdiri banyak perawi lalu dari mereka haditsnya diriwayatkan oleh perawi seorang diri, seperti hadits berikut ini:
حدثنا محمد بن أبي عمر قال : ثنا معن بن عيسى ، عن مالك بن أنس، عن الزهري ، عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال : إن رسول الله صلى الله عليه وسلم دخل مكة وعلى رأسه المغفر [24]
(…. Sesungguhnya Rasul Allâh memasuki Makkah sementara di atas kepalanya terdapat mighfar)
Mighfar adalah seutas kain yang diikatkan di kepala sebagai dasar surban. Hadits tersebut mula-mula diriwayatkan oleh banyak shahabat, lalu diteruskan oleh orang perorang hingga disebut sebagai hadits gharib.

b. Sifat Hadits Ahad
Ditinjau dari segi sifatntnya sekaligus merupakan tingkatan keabsahannya, bagaimana pun statusnya, maka Hadits Ahad memiliki tiga sifat, yaitu:
1) Shahih
2) Hasan
3) Dla’if.

Uraian tentang ketiga jenis hadits tersebut akan disajikan dalam pembahasan hadits dari aspek kwalitas sanad berikut ini. Namun dalam bab ini perlu diketahui pula bahwa Hadits Ahad mempunyai sisi kekuatan dan kelemahan. Dilihat dari segi ini Hadits Ahad dikategorikan menjadi dua, maqbul dan mardud.
Hadits Ahad yang maqbul (diterima) adalah hadits yang mukhbirnya dapat diandalkan kejujurannya. Hadits ini berhak wajib dijadikan hujjah dan diamalkan. Sedangkan Hadits Ahad yang mardud (ditolak) adalah hadits yang mukhbirnya tidak dapat diandalkan kejujurannya. Hadits yang demikian tidak boleh dijadikan hujjah dan tidak wajib diamalkan.


B. BERDASARKAN KWALITAS SANAD
Klasifikasi hadits sebagaimana uraian di atas belum sepenuhnya menunjukkan apakah haditsnya bisa diterima atau ditolak, tetapi baru terbatas pada kategorisasi awal. Jenis-jenis hadits yang dimaksud di atas akan diterima atau ditolak tergantung pada keadaan sanad dan sifat para rijalnya, bukan karena banyak atau sedikitnya jumlah orang yang berada pada tataran sanad. Dengan kata lain, kwalitas hadits sangat ditentukan oleh kwalitas sanadnya, bukan kwantitasnya.
Ditinjau dari segi kwalitas sanadnya hadits dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dla’if. Ketiga jenis tersebut mungkin sekali berasal dari Hadits Ahad, karena di samping ia masih berstatus dhanni, juga bisa dari jenis lainnya, yaitu Hadits Mutawatir yang telah disepakati oleh para muhadditsun untuk dapat diterima sebagai hujjah secara qath’i . hadits-hadits dalam jenis-jenis tersebut akan dijelaskan pada bab-bab tersendiri, maka dalam bab ini hanya diperkenalkan secara singkat sebagai pengantar.


1. Hadits Shahih
Kata shahih (صحيح) berasal dari kata shahha (صحّ) dan shihhah (صحّة) yang berarti sehat, tidak cacat, lawan kata dari sakit (saqim, سقيم). Dari segi terminologi, Hadits Shahih akan dijelaskan dalam bab tersendiri bersama hadits dla’if dan hadits maudlu’, insya Allâh. Namun sebagai pengenalan awal akan disampaikan secara singkat mengenai Hadits Shahih (الحديث الصحيح) dalam bab ini dengan definisi sebagai berikut:
الحديث الصحيح ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله وسلم من شذوذ وعلّة
(Hadits Shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung proses periwayatan oleh orang yang adil, dan kuat daya ingatnya dari orang yang serupa sifatnya, serta terbebas dari keganjilan dan cacat)


2. Hadits Hasan
Secara harfiah kata hasan berarti bagus. Maka Hadits Hasan (الحديث الحسن) secara istilah didefinisikan sebagai berikut:
الحديث الحسن ما اتصل سنده يرويه غير كامل الثقة
(Hadits Hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang kurang sempurna kredilitasnya)
Definisi tersebut menunjukkan bahwa Hadits Hasan merupakan hadits yang berada pada titik tengah antara Hadits Shahih dan Hadits Dla’if. Status penggunaannya seperti Hadits Shahih meskipun tidak sekuat dia.
Mengingat bab ini hanya mengedepankan klasifikasi hadits dari beberpa aspeknya, maka pembahasan tentang Hadits Hasan selengkapnya akan dituangkan secara khusus dalam bab tersendiri, insya Allâh.
3. Hadits Dla’if
Dla’if (ضعيف) secara harfiah berarti lemah sebagai lawan dari kata kuat (quwwah, قوّة). Adapun yang dimaksud dengan Hadits Dla’if (الحديث الضعيف) adalah sebagaimana rumusan berikut ini:
الحديث الضعيف ما لم يجمع صفة الحسن بفقد شرط من شروطه
(Hadits Dla’if adalah hadits yang tidak memiliki syarat sebagi hadits hasan karena hilangnya sebagian syarat)
Dengan definisi tersebut dapat dipahami bahwa selain hadits shahih dan hadits hasan terdapat hadits dla’if. Tentu saja jumlahnya sebagai bentuk pecahan dari Hadits Dla’if adalah banyak. Dan pembahasan tentangnya selengkapnya akan dituangkan secara khusus dalam bab tersendiri, insya Allâh. Ketiga jenis hadits yang baru saja kita lewati penjelasan definitifnya tadi juga akan dikupas lagi secara detail dalam bab-bab tersendiri ditinjau dari beberapa seginya, insya Allâh.


C. BERDASARKAN MAQBUL DAN MARDUD
Hadits sebagai teks keagamaan yang sampai pada kita telah melewati masa dengan proses yang panjang dengan berbagai ujian, termasuk usaha-usaha pemalsuan dari komunitas tertentu. Oleh karena itu kehadirannya memungkinkan bagi kita untuk bersikap menerima atau menolaknya dengan berbagai alasan. Itulah yang dimaksud dengan hadits diketahui dari segi aksiologi, yakni diterima (maqbul) dan ditolak (mardud). Kata Maqbul (مقبول) secara harfiah berarti “diterima”, dan kata mardud (مردود) berarti “ditolak”. Hadits seluruhnya bisa dilihat dari segi maqbul dan mardud ini. Yang dimaksud dengan Hadits Maqbul (الحديث المقبول) dalam pengertian umum adalah hadits yang berstatus diterima dan disepakati oleh para ahlinya sebagai hujjah. Sedangkan Hadits Mardud (الحديث المردود) adalah hadits yang ditolak, yakni tidak dapat diambil sebagai hujjah dalam penetapan hukum, dan ia wajib diingkari.
1. Hadits Maqbul
Hadits Maqbul adalah hadits yang bisa diterima kehadirannya sebagai landasan beragama, baik dalam hal ibadah maupun mu’amalah. Hadits-hadits yang termasuk dalam jenis ini berdasarkan sifat dan kualitasnya diklasifikasi menjadi empat macam, yaitu:
a. Hadits Shahih;
b. Hadits Hasan;
c. Hadits Shahih li Ghairih;
d. Hadits Hasan li Ghairih;

Hadits Shahih adalah tingkatan hadits maqbul yang tertinggi karena dapat dipertanggungjawabkan validitasnya dari berbagai seginya. Tingkatan kedua adalah Hadits Hasan, yakni hadits yang tidak memiliki syarat sebagai hadits shahih tetapi tidak terlalu rendah derajatnya. Sedangkan Hadits Shahih li Ghairih adalah selaiknya Hadits Hasan tetapi oleh karena sebab lain ia dapat diangkat derajatnya hingga fungsinya seperti Hadits Shahih sebagai sumber hukum karena tidak ditemukannya Hadits Shahih ketika itu. Adapun Hadits Hasan li Ghairih adalah hadits yang semula berstatus sebagai hadits dla’if kemudian naik derajatnya menjadi hadits hasan karena faktor-faktor tertentu yang datang kemudian hingga menjadi-kannya mampu menempati posisi hadits hasan.
Hadits Maqbul mempunyai sifat-sifat yang sekaligus merupakan karakteriktik sebagai berikut, yakni berupa:
a. Hadits Mutawatir;
b. Hadits Ahad yang marfu’, musnad, dan shahih;
c. Hadits Ahad yang marfu’, musnad, dan hasan.
Dengan memperhatikan ciri-ciri di atas maka diketahui bahwa Hadits Maqbul bisa jadi bersifat muhkam (محكم) jika tidak diketahui adanya perselisihan (mukhtalif) dengan hadits lainnya, yakni pesannya wajib diamalkan (wujub al-‘amal bih, وجوب العمل به). Jika terdapat perselisihan di antara hadits-hadits lainnya, maka Hadits Maqbul akan berstatus sebagai Mukhtalif al-Hadits. Dan jika diketahui dalam peselisihan tersebut adanya hadits yang lebih shahih (ashah minhu, أصحّ منه), maka salah satunya dinamakan sebagai Hadits Nasikh dan lainnya dinamakan Hadits Mansukh. Dan jika di antara hadits-hadits tadi tidak diketahui mana yang lebih unggul (arjah) maka ia disebut sebagai Hadits Mutawaqqaf ‘alaih (الحديث المتوقّف عليه), yakni hadits yang ditangguhkan penggunaannya.
Tingkatan Hadits Maqbul
Berdasarkan uraian di atas hadits yang maqbul ditinjau dari segi fungsionalnya dibedakan menjadi dua macam tingkatan, yaitu:
a. Ma’mul Bih (المعمول به), yakni hadits yang seharusnya diamalkan pesan-pesannya (wujub al-‘amal bih, وجوب العمل به), yakni hadits yang mutawatir, shahih, shahih li ghairih, dan hasan;
b. Ghair Ma’mul Bih (غير المعمول به), yaitu hadits yang isinya tidak harus diamalkan, tetapi cukup diambil sebagai sumber informasi, yaitu hadits ahad, dan hadits hasan li ghairih.


2. Hadits Mardud
Dan ditinjau dari segi ditolaknya, maka hadits yang masuk ke dalam jenis ini adalah hadits-hadits yang tidak marfu’, tidak musnad, dan tidak shahih, atau yang bukan hadits marfu’, musnad, dan hasan. Atau dapat dikatakan, bahwa Hadits Mardud adalah hadits yang ditolak karena memiliki ciri-ciri yang sekaligus alasan untuk ditolak antara lain sebagai berikut:
a. sanadnya tidak bersambung, atau munfashil (منفصل);
b. terdapat perawi yang cacat dalam sanad;
c. cacat matannya.

Banyak faktor yang menyebabkan seorang rijal dalam sanad hadits dinyatakan cacat, yaitu sebagai berikut:
a. terlalu lengah;
b. sering salah;
c. menyalahi orang-orang kepercayaan;
d. banyak berprasangka; dan
e. tidak baik hafalnnya.

Hadits Mardud ditinjau dari segi fungsinya tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum karena terdapat banyak kelemahan dan kekurangan di dalamnya. Dan Hadits Dla’if dan berbagai pecahannya secara umum adalah termasuk kategori hadits yang ditolak (hadits mardud). Apa lagi Hadits Palsu (Hadits Maudlu’). Ikutilah pembahasan berikutnya!
Di antara hadits-hadits yang termasuk kategori tidak diterima atau ditolak pada umumnya adalah hadits-hadits yang merupakan cabang hadits dla’if dan hadits maudlu’. Di antaranya sebagai berikut.
a. hadits Mursal
Secara harfiah, mursal berarti diutus, dikirim, dilepaskan. Hadits Mursal (الحديث المرسل) yaitu hadits yang hadits yang disampaikan oleh seorang tabi’in, baik Tabi’in Besar maupun Tabi’in Kecil, tanpa menyebut nama shahabat. Atau dengan definisi sebagai berikut:
ما سقط من آخر إسناده مَن بعدَ التابعيّ
(Yakni hadits yang gugur sanad setelah Tabi’i pada akhir isnad)

Contohnya adalah hadits ibn al-Musayyab yang dapat dilihat dalam bab Hadits Dla’if, insya Allâh.

b. hadits Mu’allaq
secara harfiah, mu’allaq berarti digantung. Hadits Mu’allaq (الحديث المعلّق) yaitu hadits yang perawinya gugur pada awal sistem sanad, baik seorang, dua orang, atau semuanya kecuali seorang shahabi. Contohnya adalah hadits riwayat al-bukhari tentang menutup lutut yang dapat disimak dalam bab Hadits Dla’if.

c. hadits Munqathi’
Munqathi’ secara harfiah berarti terputus. Hadits Munqathi’ (الحديث المنقطع) adalah hadits yang dalam sistem sanadnya terdapat sanad yang terputus di dua fase secara tidak berurutan, misalnya terputusnya sanad pada titik sanad ketiga dan pada titik kelima.
Contoh selengkapnya adalah riwayat ‘Abdur Razzaq yang dapat disimak dalam bab Hadits Dla’if.

d. hadits Mu’dlal
Secara harfiah, kata mu’dlal berarti yang dicelakakan. Maka secara terminologis Hadits Mu’dlal (الحديث المعضل) adalah hadits yang dalam sistem sanadnya terdapat sanad yang terputus di dua fase secara berurutan, misalnya terputus pada titik sanad ketiga dan pada titik keempat. Para muhadditsun mendefinisi-kannya sebagai berikut:
ما سقط من إسناده اثنان فأكثر على التوالي [25]
(Yaitu hadits yang terjadi keguguran dua sanad atau lebih secara berurutan)
Secara jelas contohnya adalah hadits Abu Hurairah ra. yang dapat diperhatikan dalam bab Hadits Dla’if.

e. hadits Matruk
Secara harfiah, kata matruk (متروك) berarti yang ditinggal atau ditinggalkan. Sedangkan yang dimaksud dengannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang tertuduh sebagai pendusta, baik terkait dengan masalah hadits maupun lainnya, atau tertuduh sebagai seorang fasiq, atau karena sering lalai ataupun banyak sangka. Contohnya adalah hadits ‘Amr ibn Syamir al-Kufi al-Syi’i yang dapat disimak dalam bab Hadits Dla’if, insya Allâh.

f. hadits Munkar
Munkar (منكر) secara harfiah berarti diingkari. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang lemah, yang menyalahi riwayat rawi yang tsiqah, atau riwayat yang lebih lemah lagi. Contohnya akan ditampilkan dalam bab Hadits Dla’if.
g. hadits Mu’allal
Secara harfiah, mu’allal (معلّل) berarti yang dicacat. Hadits Mu’allal yaitu hadits yang di dalamnya terdapat sebab-sebab (‘illat) tersembunyi, hal mana sebab-sebab tersebut baru diketahui setelah dilakukan penelitian yang mendalam, dan secara lahiriah hadits tersebut mempunyai cacat. Cacat dalam sanad lebih sering terjadi karena mauquf daripada pada matan. Cacat pada matan adalah seperti hadits tentang tidak adanya bacaan basmalah dalam shalat.
Contohnya dapat disimak dalam bab Hadits Dla’if.

h. hadits Mudltharib
Mudltharrib (مضطرب) secara harfiah berarti tercipta. Dan secara terminologis, Hadits Mudltharrib (الحديث المضطرب) adalah hadits yang riwayatnya atau matannya berlawan-lawanan, baik dilakukan oleh seseorang atau banyak rawi, dengan cara menambah, mengurangi ataupun mengganti. Riwyatnya tidak dapat dianggap kuat salah satunya, demikian pula matannya. Hadits jenis ini dapat diamalkan jika dapat dikompromikan. Dan jika tidak, maka tidak.
Hadits Mudltharib dibedakan menjadi dua, yaitu:
(1) mudltharrib pada sanad;
(2) mudltharrib pada matan.


i. hadits Maqlub
Hadits Maqlub (الحدبث المقلوب) adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang di dalamnya terjadi keterbalikan, yakni mendahulukan bagian belakang, atau membelakangkan yang terdahulu, baik berkenaan dengan sanad maupun matan. Secara harfiah, kata maqlub (مقلوب) berarti dibalik atau terbalikkan. Contohnya akan disajikan dalam bab Hadits Dla’if dengan memperhatikan aspek-aspeknya, insya Allâh, yaitu:
(1) Maqlub pada segi sanad;
(2) Maqlub pada segi matan;

j. hadits Mudraj
Mudraj (مدرج) berarti dimasukkan atau dilesapkan (mudkhal, مدخل). Maka hadits mudraj adalah hadits urutan isnadnya diubah, atau hadits yang telah disisipkan perkataan orang lain ke dalam matannya, baik dari kelompok Shahabi maupun tabi’in, untuk keperluan penjelasan terhadap makna yang dikandungnya. Jika hadits yang demikian masih bisa dideteksi unsur penglesapannya kemudian disingkirkan maka menjadi shahih, tetapi jika sulit disortir maka menjadi dla’if status haditsnya.
Perhatikan contohnya pada bab Hadits Dla’if, insya Allâh!

k. hadits Mudallas
Secara harfiah kata mudallas (مدلّس) berarti menyembunyikan sesuatu yang cacat. Maka secara terminologis hadits mudallas adalah hadits yang disamarkan (ditutupi) unsur cacatnya dalam sanad, dan ditampilkan baiknya. Misalnya seorang rawi menerima banyak hadits dari seorang gurunya lalu ia meriwayatkan sebuah hadits yang tidak diambil dari gurunya tersebut tetapi dinyatakan darinya (demi kebaikan) padahal diambilnya dari gurunya yang lain. Biasanya digunakan kata qala (قال) atau ‘an (عن), bukan kata sami’tu (سمعت) atau haddatsani (حدّثني) hingga –agar terkesan halus, santun-- tidak bisa dikatakan sebagai pendusta (kadzdzab, كذّاب). Contohnya dapat disimak dalam bab Hadits Dla’if.

l. Hadits Maudlu’
Adapun Hadits Maudlu’ (الحديث الموضوع) adalah jelas-jelas ditolak dalam syari’at Islam tanpa syarat. Dengan kata lain, hadits maudlu’ adalah hadits palsu. Pembahasannya secara khusus akan disajikan pada bab tersendiri mendatang, insya Allâh.

D. BERDASARKAN SUMBER HADITS
Hadits yang sampai pada kita memiliki dua kemungkinan jika dilihat dari segi sumbernya. Hadits ada yang disandarkan langsung pada nabi saw. sebagai sumber utamanya, dan ada kemungkinannya hanya berhenti pada seorang shahabat sebagai penyampai informasi pertama, bahkan terkadang hanya bersumber dari seseorang dari generasi tabi’in. Dengan demikian dilihat dari segi ini hadits diklasifikasi menjadi tiga macam, yaitu hadits marfu’, hadits mauquf, dan hadits maqthu’.
1. Hadits Marfu’
Kata marfu’ (مرفوع) secara harfiah berarti diangkat atau terangkat hingga pada posisi yang tinggi. Maka hadits marfu’ (الحديث المرفوع) adalah hadits yang oleh para muhadditsun dinyatakan sebagai hadits yang disandarkan langsung pada nabi saw., baik sanadnya bersambung secara utuh (muttashil) ataupun tidak secara utuh (ghair muttashil), yaikni terdapat sanad yang terputus di dalamnya. Jika kterputusan terjadi pada dua titik atau lebih secara tidak berurutan maka dinamakan hadits munqathi’ (منقطع), dan jika putusnya di dua titik secara berurutan maka disebut dengan istilah hadits mu’dlal (معضل).
Hadits marfu’ biasanya mempunyai ciri adanya pernyataan “Nabi bersabda (قال النبيّ)” atau “Rasul bersabda (قال الرسول)” atau “Rasul berbuat (فعل الرسول)” atau yang serupa. Hadits yang demikian dikatakan sebagai marfu’ karena memiliki sumber pengambilan dari posisi yang tertinggi, yaitu Nabi saw.
Berdasarkan keterangan di atas, maka hadits marfu’ dapat jabarkan menjadi empat kategori hadits, yaitu:
a) Hadits Marfu’ Qawli
Contohnya adalah pernyataan seorang Shahabi atau lainnya bahwa rasul bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كذا ...
(Rasul Allâh saw. bersabda demikian …)

b) Hadits Marfu’ Fi’li
Contohnya adalah pernyataan seorang Shahabi tentang apa yang dikerjakan nabi saw.:
فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم كذا ...
(Rasul Allâh saw. berbuat demikian …)

c) Hadits Marfu’ Taqriri
Contohnya adalah pernyataan seorang Shahabi atau lainnya:
فُعِل بحضرة الرسول صلى الله عليه وسلم كذا ... ولا يروي انكاره لذلك الفعل
(Ada perbuatan yang dilakukan di hadapan (masa) Rasul Allâh saw. demikian … tetapi seorang Shahabi tidak meriwayatkan ketidaksetujuan beliau terhadap perbuatan tersebut)

d) Hadits Marfu’ Washfi
Contohnya adalah pernyataan seorang Shahabi atau lainnya:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس خلقا
(Rasul Allâh saw. adalah sebaik-baik manusia dari segi akhlaq)

2. Hadits Mauquf
Mawquf (موقوف) secara harfiah berarti berhenti atau dihentikan. Maka yang dimaksud dengan hadits mauquf (الحديث الموقوف) adalah hadits yang yang dinyatakan oleh seorang shahabi, baik dengan sistem sanad yang muttashil pada nabi maupun munqathi’. Jadi hadits ini hanya berhenti pada level shahabi sebagai sandaran informasi. Misalnya hadits yang secara umum di dalamnya terdapat pernyataan “’Umar ra. berkata (قال عمر)”.
Contohnya adalah seperti pernyataan seorang perawi:
قال عليّ بن أبي طالب كرّم الله وجهه : حدّثوا الناس بما يعرفون. أتحبون أن يكذَّب اللهُ ورسولُه (رواه البخاري)[26]
(Ali ibn Abi Thalib berkata: “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka mengerti. Apakah kamu mau Allâh dan Rasul-Nya saw. didustakan?”) H.R. al-Bukhari.
Contoh lainnya adalah hadits Abu Hurairah ra.:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا عَمْرٌو قَالَ أَخْبَرَنِي وَهْبُ بْنُ مُنَبِّهٍ عَنْ أَخِيهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّي إِلاّ مَا كَانَ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلا أَكْتُبُ (رواه البخاري) [27]
(….AbHurairah ra. berkata: “Tak seorang pun dari shahabat Nabi saw. yang lebih banyak haditsnya daripada aku kecuali hadits yang dimiliki oleh Abdullah ibn ‘Amr, karena ia menulis sedangkan aku tidak menulis”) H.R. al-Bukhari.

Para ‘Ulama bersilang pendapat dalam penggunaan hadits mauquf. Menurut al-Imam al-Syafi’i dalam Qaul Jadidnya, hadits jenis ini tidak dapat dijadikan hujjah. Jika dijadikan hujjah maka hadits mauquf harus didahulukan atas qiyas dan lazim kita amalkan pesannya, dan kita sekali-kali tidak boleh menyalahinya. Dan jika tidak dinyatakan sebagai hujjah maka boleh mendahulukan qiyas atasnya, dan kita diperbolehkan menyalahinya.[28]

3. Hadits Maqthu’
Kata maqthu’ (مقطوع) berasal dari kata qatha’a (قطع) yang secara harfiah berarti terputus atau diputuskan, yang berlawan kata washala (وصل) dengan arti sampai atau bersambung. Maka yang dimaksud dengan hadits maqthu’ (الحديث المقطوع) adalah hadits yang disandarkan kepada seorang tabi’in atau pengikut tabi’in, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Dikatakan terputus karena sanadnya tidak bersandar langsung pada nabi atau bahkan tidak pada shahabat. Jadi, hadits maqthu’ bisa dikatakan merupakan pernyataan dari generasi tabi’in. Misalanya adalah hadits yang umumnya dinyatakan dengan “ibn al-Musayyab berkata (قال ابن المسيّب)”.
Contohnya adalah seperti pernyataan al-Hasan al-Bashri sebagai seorang tabi’in mengenai pelaksanaan shalat di belakanag (sebagai makmum pada) orang berkebiasaan bid’ah (al-mubtadi’, المبتدع):
صلّ وعليه بدعتُه (رواه البخاري) [29]
(Kerjakanlah shalat, dan menjadi tanggungjawabnya (sikap) bid’ahnya) H.R. al-Bukhari.

Hadits tersebut dilihat dari segi redaksinya dinamakan hadits maqthu’ karena diucapkan oleh seorang tabi’in, yaitu al-Hasan al-Bahsri.

Maqthu’ dan Munqathi’
Secara harfiah dua kata tersebut mempunyai arti yang sama, yakniterputus atau diputus. Tetapi secara terminologis relasional keduanya dapat dibedakan. Terma maqthu’ (مقطوع) dipakai berkenaan dengan matan hadits, apakah materinya bersandar pada nabi atau lainnya, sedangkan terma munqathi’ (منقطع) erat hubungannya dengan sistem sanad atau isnad, yakni keterputusan jalur yang menuju pada nabi saw.. Jika dikatakan sebagai hadits munqathi’ maka maksudnya adalah bahwa sistem sanad hadits tersebut tidak muttashil, tetapi tidak terkait dengan matan.[30] Penjelasan selengkapnya akan dijumpai dalam bab hadits Dla’if, insya Allâh. Sekian, semoga bermanfa’at .
Wa Allâh a’lam bi al-shawâb
[1]Lihat Al-Mukhtashar fi Ushul al-Hadits, dalam al-Maktabah al-Syamilah, h. 1.
[2] Lihat Hasbi as-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Rizki Putera, 1999, h. 177. Bandingkan dengan Mahmud Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadits, Surabaya: al-Haramain, t.th., h. 19.
[3] Lihat Shahih al-Bukhari, bab al-‘Ilm, h. 189, hadits nomor 107.
[4] Lihat Al-Mukhtashar fi Ushul al-Hadits, bab Aqsam al-Hadits.
[5] Jamaluddin al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits, t. penerbit, t.th., h 146.
[6] Kriteria mengenai jumlah ini bervariasi. Yakni berkisar antara angka 5 dan 10.
[7]Mahmud Yunus, Ilmu Mushthalah al-Hadits, Jakarta: Sa’diyah Putera, t.th., h. 23.
[8] Lihat Jalaluddin al-Qasimi, Op. Cit., juz, h. 123.
[9] Lihat al-Hafidh ibn Hajar, Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th., Nuzhah al-Nadhar, h. 26.
[10] Lihat Al-Ghazali, al-Mushtasyfa, jilid I, h. 93-99.
[11] Hasbi as-Shiddiqi, Op. Cit., h. 182.
[12] Mahmud Thahhan, Op. Cit., h. 23.
[13] Shahih al-Bukhari, juz 1, h. 176. Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, ibn Majah, Ahmad, al-Baihaqi, al-Nasa`i, al-Thabrani, al-Darimi, dan ibn Hibban yang secara umum bersumber riwayat dari ibn ‘Amr ra. sebanyakkan 30 kali, dan juga diriwayatkan melalui jalur ibn ‘Umar, Abu Hurairah, dan ‘Aisyah.
[14] Lihat Shahih Muslim, juz 3, h. 439. Hadits ini juga diriwayatkan oleh banyak perawi seperti al-Bukhari, Abu Dawud, al-Nasa`i, dan Ahmad ra. meski dengan redaksi yang berbeda-beda. Bahkan al-Imam Ahmad menulis hadits tersebut dalam Musnadnya hingga 12 kali.
[15] Shahih al-Bukhari, juz 1, h. 15 dan juz 20, h. 128. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa`i, Imam Ahmad (13 kali riwayat), al-Baihaqi, al-Thabrani (sebanyak 16 kali riwayat), al-Darimi, dan ibn Hibban.
[16] Hadits riwayat Abu Dawud. Lihat Sunan Abu Dawud, juz 2, h. 255, nomor 2178. Dalam sumber lain disebutkan, hadits ini juga diriwayatkan oleh ibn Majah (juz 1, h. 650, nomor 2018), al-Hakim (juz 2, h. 214, nomor 2794), ibn ‘Adi (juz 6, h. 461), al-Thabrani, dan al-Baihaqi (juz 7, h. 322, nomor 14671) melalui jalur ibn ‘Umar. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, dan diakui oleh al-Dzahabi tetapi dengan redaksi yang berbeda, yaitu ما أحَلَّ اللَّهُ تَعَالَىشيئا أَبْغَضُ إِلَيه من الطَّلَاقُ
[17]Hadits ini diriwayatkan oleh al-Thabrani melalui Tsauban (juz 2, h. 97, nomor 1430), dan melalui Umar ra., dan dinilai shahih oleh ibn Hibban dan al-Hakim, tetapi dinilai dla’if oleh al-Haytsami.
[18] Lihat Jami’ al-Ahadits, bab Musnan ‘Umar ibn al-Khatab, h. 491, hadits nomor 31558. Hadits ini dilihat dari segi sumbernya juga dinamakan hadits mawquf karena ‘Umar tidak menyandarkannya pada nabi saw.
[19] Lihat Bulugh al-Maram, h. 76. Hadits ditakhrij oleh al-Tirmidzi, dan dinilai sebagai hadits hasan.
[20] Ibn Hajar, Nukhbah al-Fikr wa Syarhiha, Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th., h. 21 dan 24.
[21]Hadits Riwayat al-Bukhari dan Muslim. Al-Bukhari meriwayatkan-nya dari jalur Abu Hurairah ra. dan Anas ra., sedangkan Imam Muslim ra. dari Anas ra. saja.
[22] Lihat Mahmud Tahhan, Op. Cit., h. 28.
[23] Hadits Riwayat al-Bukhari. Lihat Shahih al-Bukhari, juz 1, h. 3. hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, ibn Majah, ibn al-Jarud, ibn Jarir, al-Thahawi, ibn Hibban, dan al-Dar Quthni.
[24] Hadits Riwayat al-Syaikhan.
[25] Lihat Mahmud Thahhan, Op. Cit., h. 75.
[26]Shahih al-Bukhari, juz I, h. 217, hadits nomor 124. Sanad hadits tersebut adalah al-Bukhari dari ‘Ubaidullah ibn Musa dari Ma’ruf ibn Kharrabudz dari Abu al-Thufail dari Ali kw.
[27]Ibid., hadits nomor 110.
[28] T.M. Hasbi as-Shiddiqie, Op. Cit., h. 172.
[29] Shahih al-Bukhari, juz I, h. 157.
[30] Mahmud Thahhan, Op. Cit., h. 134.