Jumat, 16 Mei 2008

mengenal al-Qur`an

AL-QUR`ÂN
(Terminologi dan Fungsi)

oleh: MS2F
(Dosen FAI Universitas Wahid Hasyim Semarang, mahasiswa Program Doktor Tafsir-Hadith IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengabdi Pontren Darus Sa’adah Ngembalrejo Kudus)


A. AL-QUR’AN DAN BEBERAPA NAMANYA

1. Pengertian a1-Qur`ân
Ditinjau dari segi bahasa, secara umum diketahui bahwa kata al-Qur’án (القران) berasal dari kata Qara`a (قرأ) yang merupakan isim musytaq dengan bentuk fi’il mudlari’nya adalah yaqra`u (يَقْرأ) dan mashdarnya adalah qirâ`ah (قِراءة) dan qur`ân (قُرْآن) yang dipahami sebagai kata dengan arti bacaan. Kata tersebut juga disinyalir bersinonim dengan kata al-jam’u (اْلجَمْع) dan al-dlammu (الضَمّ) yang berarti “mengumpulkan” atau “kumpulan”. Maka dengan demikian menurut Manna’ al-Qathan, kata qur’ãn pada dasarnya bisa diartikan sebagai mengumpulkan huruf-huruf (ahruf, أَحْرُف) dan kata-kata (alfâdh, أَلْفَاظ) dalam suatu bacaan secara baik. Sedangkan kata al-Qur’ân yang dipakai sebagai nama bagi wahyu terakhir, menurut asalnya adalah searti dengan kata al-qirâ`ah (الْقِراءة), yang merupakan salah satu bentuk mashdar dari kata qara`a (قرأ) yang searti dengan kata tilâwah (تِلاوة).

Di samping itu masih ada lagi bentuk mashdar dari lafadh qara`a ini, yaitu qur` (قُرْءٌ) yang ditulis tanpa alif dan nun yang mengikuti bentuk standar (wazan fi’il) fi’il madli fa’ala (فعل). Dengan demikian kata qara`a mempunyai tiga wazan (bentuk/ shighat) mashdar, yakni Qur`ân (قُرْآن), qirâ`ah (قِراءة) dan qur` (قُرْء). Ketiga wazan tersebut tetap memiliki satu makna, yakni “bacaan”. Lebih lanjut beliau menyatakan. bahwa kata al-Qur’ân merupakan bentuk mashdar yang mempunyai fungsi makna isim maf’ul (yang di ...), sehingga maknanya menjadi “yang dibaca”, “terbaca” atau “bacaan”.


a. Al-Syafi’i; yang berpendapat bahwa kata al-Qur`ân bukan bentuk isim mahmuz dari kata qara`a (قرأ) sebagai kata-kata lainnya, tetapi merupakan isim ‘âlam yang dikhususkan (spesialisasi) sebagai nama bagi Kalam Allâh yang terakhir untuk nabi sekaligus rasul terakhir. Nama tersebut hanya diperuntukkan bagi al-Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Sehingga dengan demikian kata al-Qur`ân tidak perlu diartikan atau dicari maknanya secara hermeneutik sebagaimana kata Injil yang dijadikan nama bagi Kitab Nabi Isa as. dan Taurat sebagai nama bagi Kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa as. Pendapat ini sesuai dengan riwayat al-Baihaqi dan al-Khathib dalam beberapa keterangan.
b. Al-Farra` (wft. 207 H.) menyatakan, bahwa kata al-Qur’ân yang tidak memakai hamzah itu merupakan kata musytaq (pecahan) dari kata qarã-in (قَرَائِن) yang merupakan bentuk jama’ dari kata qarinah (قَرينة) yang berarti “alasan” atau “bukti” (indikator). Dikatakan demikian karena ayat-ayat dalam al-Qur`ân adalah saling mendukung dan atau saling menjelaskan satu sama lain.
c. Al-Zajjaj (wft 311 H.) menyatakan, bahwa kata al-Qur`ân yang ditulis dan dibaca tanpa hamzah itu hanya karena alasan untuk meringankan bacaan bagi bangsa Arab (ketika itu) atau yang dikenal dengan terma takhfif (خفيف).
d. Al-Lihyani menyatakan, bahwa kata a1-Qurãn merupakan bentuk mashdar dari kata qara`a (قرأ) sebagaimana bentuk kata rujhãn (رُجْحان) dan ghufrân (غُفْران) yang berfungsi sebagai kata isim dengan fungsi makna sebagai isim maf’ul (اسم مفعول). Maka dengan demikian kata al-Qur`ân mempunyai arti “yang dibaca”, yakni sesuatu yang senantiasa menjadi bacaan bagi siapa pun yang mencintainya, baik dalam shalat maupun lainnya.
e. Al-Asy’ari (wft. 324 H.), seorang ahli dan perintis ilmu Kalam memberikan pandangan bahwa kata al-Qur`ân itu tidak berhamzah, karena kata tersebut merupakan bentuk kata yang musytaq (kata bentukan atau pecahan) dari kata qarana (قَرَن) yang berarti “menggabungkan” atau “membersamakan”. Hal mana al-Qur`ân memang merupakan rangkaian ayat-ayat dan atau surat-surat yang terhimpun dalam satu mushhaf.
f. al-Zarkasyi juga tidak ketinggalan dalam hal mi. Beliau menyatakan bahwa kata al-Qur’ân adalah lafadh musytaq dari kata al-Qar`u (الْقَرْء) yang searti dengan kata al-Jam’u (الجمع), yang berarti “himpunan” atau “kumpulan”. Pengertian ini beliau angkat dari kenyataan, bahwa kebiasaan orang Arab adalah mengucapkan ungkapan قَرَأْتُ اْلمَاءَ ِفي اْلحَوْضِ (Saya mengumpulkan air dalam telaga). Demikian pula halnya yang ada pada kata al-Qur`ân, yang memang merupakan kumpulan isi dan buah dari kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Kecuali itu al-Qurãn juga menghimpun berbagai macam ilmu. Kiranya pemikiran ini sejalan dengan firman Allâh SWT.:
(.… Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan)

g. Shubhi al-Shalih dalam hal ml hanya memberikan penilalan, bawa pendapat yang paling kuat adalah yang menyatakan bawa kata al-Qur’ân merupakan bentuk mashdar sebagai sinoim dari kata qirâ-`ah (قِراءة) yang berarti bacaan. Beliau menambahkan, bahwa lafadh qara`a (قرأ) yang semakna dengan lafadh talâ - yatlu (تَلَى - يَتْلُو) itu berasal dari bahasa Arami, dan kata tersebut telah dipakai dan menjadi bahasa baku dalam bahasa Arab ketika al-al-Qur`ân diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.. Kemudian kata itu dijadikan nama abadi bagi Kitab Suci umat Islam.

Di samping pendapat-pendapat di atas dalam al-Qur`án sendiri terdapat ayat-ayat yang menyebutkan kata al-Qurân dengan arti “bacaan”. Misalnya pada ayat berikut ini:
فَاِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ ... (القيامة: 18)
(Apabila Kami te!ah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.). (al-Qiyamah:18)

(Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat) (al-A’raf: 204)


Maksud ayat tersebut adalah jika dibacakan al-Qur`ân maka kita diwajibkan mendengar dan memperhatikan sambil berdiam diri, baik dalam sembahyang maupun di luar sembahyang, terkecuali dalam shalat berjamaah ma'mum boleh membaca Al Faatihah sendiri waktu imam membaca ayat-ayat Al Quran. Baca pula ayat berikut ini!
(…. dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur`ân sebelum disempurnakan mewahyukan kepadamu ...).


Adapun secara terminologis, pengertian al-Qur`ân adalah sebagai disebutkan berikut ini.
a. Menurut Ali al-Shabuni (wft. 1390 H.), al-Qur`ân adalah kalam Allâh yang bernilai mu’jizat yang diturunkan kepada nabi terakhir (Khâtam al-anbiyâ` = خاتم الأنبياء) dengan perantara Malaikat Jibril as. yang tertulis pada Mushhaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan bacaannya termasuk ibadah, yang diawali dengan surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nas.
b. Al-Suyuthi menerangkan, bahwa al-Qur`ãn adalah kalam Allâh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang tidak ditandingi oleh penentangnya walau hanya sekadar berupa satu surat.
c. Menurut Manna’ al-Qathan, al-Qur`ân adalah kalam Allâh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang bacaannya dianggap sebagai ibadah.
d. Menurut Kamaluddin Marzuki, al-Qur`än adalah kalam Allâh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang bacaannya adalah bernilai ibadah, yang susunan kata dan isinya merupakan mu’jizat, termaktub dalam suatu Mushhaf dan dinukil secara mutawatir.
e. Drs. H. Basrah Lubis menulis, bahwa ai-Qur`ân adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan perantara Malaikat Jibril as. dan sebagal pedoman hidup bagi umat manusia.
f. Menurut para ahil Ushul Fiqh, al-Qur`ãn adalah nama bagi keseluruhan al-Qur`ân dan nama bagi suku-sukunya. Maka dengan demikian satu ayat pun darinya bisa disebut al-Qur`ãn.
g. Para Ahli Kalam memberikan batasan al-Qur`ân dengan menyatakan, bahwa al-Qur`ãn adalah kalam azali yang menetap pada zat Allâh yang senantiasa bergerak (tak pernah diam) dan tak pernah ditimpa musibah.
h. Para ahli agama (Ahli Ushul) berpendapat, bahwa al-Qur`ãn adalah nama bagi kalam Allâh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang ditulis dalam Mushhaf.
i. Ikhtlshar penulis, al-Qur`ân adalah Kalam Allâh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai rasul terakhir di akhir zaman, (ada yang) melalui Malaikat Jibril as. yang dalam bentuknya sekarang termaktub dengan jelas dalam Mushhaf ‘Utsmani dengan menggunakan bahasa Arab, keseluruhannya merupakan mu’jizat, yang sampai pada kita selaku umatnya dengan jalan mutawatir, jika dibaca maka bacaannya dinilai ibadah, baik dalam shalat maupun lainnya, dan dihukum kafir orang yang mengingkarinya. Dengan demikian secara sederhana dapat dirumuskan bahwa ciri al-Qur`ân adalah:

1) Kalam Allâh (كلام الله)
2) Diturunkan kepada Nabi Muhammad (المنزل على محمد)
3) Dengan (tidak semua) peraritara Jibril as.
4) Menggunakan (sesuai) bahasa Arab (بلسان عربيّ)
5) Merupakan mu’jizat (المعجز)
6) Bacaannya dinilai ibadah (المتعبد بتلاوته)
7) Berdasarkan rlwayat mutawatir (المتواتر)


Dengan memperhatikan beberapa definisi di atas, maka kita pun telah sampai pada pemahaman bahwa kalam Allâh yang diturunkan kepada para nabi selain Nabi Muhammad saw. tidak dapat disebut sebagal al-Qur`ân. Begitu pula firman (kalam) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. tetapi membacanya tidak termasuk kategori ibadah, maka ia bukan al-Qur`ân, tetapi hanya disebut sebagai Hadits Qudsi.


2. Nama-nama Al-Qurân
Wahyu Allâh yang diturunkan sebagai kitab terakhir diberi nama yang termasyhur, yakni al-Qur`ân yang berarti “bacaan” sebagaimana keterangan di atas. Nama-nama lain yang dimllikinya cukup banyak. Antara lain adalah:

a. Al-Kitab (الكتاب) atau Kitab Allâh yang berarti “catatan”.
b. Al-Furqan (الفرقان) yang berarti “pembeda” (antara yang baik dan buruk).
c. Al-Dzikr (الذكر) yang berarti ”peringatan”.
d. Al-Qur`ãn (القران) yang berarti “bacaan” dan merupakan salah satu nama bagi kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Nama lnilah yang paling terkenal dan dikenal baginya, serta paling sering disebut dalam al-Qur`ân itu sendiri. Paling tidak sebanyak limapuluh kali kata ini disebut dalam al-Qur`ân.
e. Al-Tanzil (التنزيل) yang berarti “yang diturunkan”.

Di samping nama-nama di atas masih banyak nama yang diberikan kepada al-Qur`ân, seperti mushhhaf, kalam, dan sebagainya. Menurut al-Zarkasyi, Abu al-Ma’ali al-’Azizi ibn ‘Abd al-Malik bahkan menjelaskan bahwa al-Qur`ãn mempunyai 55 nama.


B. KEDUDUKAN AL-QUR’AN DAN FUNGSINYA BAGI KEHIDU PAN MAN USIA

Muhammad ibn ‘Abd Allâh saw. diangkat sebagai rasul dilengkapi dengan tugas-tugas yang disertai dengan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaannya. Petunjuk-petunjuk tersebut secara lengkap termuat dalam al-Qur`ân. sebagai alat untuk memahami dan menerima ajaran Islam. Agama Islam mengajak manusia agar menjadi umat pilihan, yakni umat yang sempurna lahir-batin, mampu berrkomunikasi dengan Tuhannya dan dengan sesamanya, juga dirinya sendiri. Oleh karena itu manusia berhajat kepada hal-hal yang sangat bermanfa’at bagi kehidupannya. Dan sebagai umat Islam, al-Qur`ânlah yang perlu mendapat perhatian dalam kehidupan mereka.


1. Kedudukan al-Qur’án
Sebagai wahyu terakhir al-Qur`ân mempunyai banyak kedudukan bagi kehidupah manusia. Antara lain adalah:

a. Sebagai sumber dari segala sumber hukum Islam; bahwa al-Qur`ân merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama.
b. Sebagai pedoman dan petunjuk bagi kehidupan manusia.
c. Sebagai nasehat, obat, hidayah dan rahmat bagi orang-orang beriman.
d. Sebagai penyampai berita gembira bagi orang-orang beriman. Baca surat al-Naml ayat 2, al-Nahl ayat 89 dan 102, al-Ahqaf ayat 12, Yunus ayat 64, al-Zumar ayat 17, dan sebagainya.
e. Sebagai penawar hati (Syifa’ = شفاء) bagi orang yang membaca dan mempelajarl isinya hingga mendapat ketenangan dan ketenteraman. Skala rasionalnya adalah bahwa orang yang membaca ayat-ayat berarti ia mengadakan komunikasi dengan Allâh. Berkomunikasi dengan Allâh SWT. disebut dengan terma dzikr. Dan selalu berdzikir kepada Allâh SWT. telah dijanjikan akan mendapat ketenangan hati, insya Allâh. Keterangan selanjutnya dapat dibaca surat al-Ra’d ayat 28.

2. Fungsi al-Qur`ân
Keberadaan al-Qur`ân sebagai wahyu terakhir mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai berikut:
a. untuk membenarkan atau menjadi saksi kebenaran (mushaddiq = مصدّق) bagi kitab-kitab sebelumnya. Misalnya dalam keterangan firman Allah surat al-Nisa: 105.
b. untuk menjadi tuntunan (imam) bagi umat yang beriman sebagai layaknya Taurat menjadi imam sekaligus rahmat bagi pengikut Nabi Musa as. Keterangan ini tersebut dalam firman Allâh pada surat Hud ayat 17.
c. untuk menjadi cahaya (nur) yang mampu menerangi kegelapan alam pikir manusia hingga mereka mampu melihat kebenaran dan menyingkirkan kebatilan. Fungsi ini tersurat dalam surat al-Nisa` ayat 174.
d. untuk menegur dan memperingatkan manusia agar senantiasa berada pada jalan yang tidak sesat demi menggapai kebahagiaan yang haqiqi, yaitu surga. Fungsi ini sesuai dengan salah satu nama al-Qur`ân, yakni al-Dzikr (الذكر). Bacalah surat al-Ra’d ayat 28, atau surat al-Hijr ayat 9.
e. Untuk memberi dan menyampaikan berita kepada manusia, bahwa setelah kematian ada kehidupan yang abadi. Siapa pun yang berbuat kebajikan di dunia, maka ia niscaya akan memperoleh kesenangan di akhirat, dan barangsiapa berlaku jahat di dunia, niscaya ia akan memperoleh kesengsaraan di akhirat kelak. Fungsi ini dikenal dengan istilah basyir dan nadzir (بشير ونذير). Baca Surat Fushilat ayat 3 dan 4!

Wa Allâhu a’lam bi al-shawâb

1 komentar:

Unknown mengatakan...

ndak nyangka ternyata pak syakur yang dekan FAI sempet juga buat Blog. bisa dong pak syakur sama saya tukar informasi. kan sama2 wahid hasyim community. kalo sempet bisa buka http://uwhmaksum.blogspot.com